Ketika terbang bersama pesawat di udara, saya suka memperhatikan kumpulan awan yang berada di balik jendela. Awan – awan itu begitu indah menyapa. Kalau selama ini hanya sering melihat kondisinya dari bawah, dimana awan terlihat menggantung seakan mau runtuh, maka terlihat berbeda ketika kita menembus dan berada di atasnya. Awan itu terhampar luas bagai permadani. Kadang rata berlapis – lapis, serasa ingin sekali berlari menginjak – injaknya. Ada yang bergerombol besar. Ada yang berkumpul kecil. Seperti salju. Ada yang lembut seperti kapas.
Kadang bertumpuk dan bertingkat. Seribu kesan yang berbeda setiap kali berada di balik awan. Bahkan kadang menakutkan, ketika tiba – tiba pesawat menembus gerombolan awan tebal dan hitam.Berangkat dari ketaktahuan, lama – kelamaan menjadi sedikit tahu salah satu misteri Ilahi. Dulu yang hanya bisa memandang awan dengan mendongakkan kepala, sekarang bisa berlama – lama menunduk melihatnya. Kemajuan telah membawa manusia kepada tingkat peradaban yang lebih tinggi. Seakan banyak hal yang terkuak, sebagai buah dari usaha dan perkenan Yang Kuasa. Namun dari semua itu jangan pernah kehilangan hikmah dari setiap perkembangan yang ada. Sebab rugi ketika kita hanya mendapatkan kesenangan, tetapi kehilangan hal penting: hikmah dan pelajaran di dalamnya.Kegiatan bolak – balik naik pesawat ini mengingatkan saya sebuah dalil di dalam surat Al-An’am ayat 125 ;
Allah berfirman;Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.
Awal – awal saya mengaji di LDII, dalil ini sering didengungkan sebagai parameter awal kesungguhan dalam beribadah. Barangsiapa yang entengan, ringan kaki, senang, semangat, ringan tangan dalam melaksanakan amal sholih beribadah, insya Allah itu sebagian tanda Allah berkenan memberikan pertolongan dan petunjukNya. Namun sebaliknya, jika ada tanda – tanda malas, sempit, rupek, aras-arasan, itu adalah tanda yang perlu digarisbawahi agar jangan sampai menjadi tanda kejelasan akan hilangnya hidayah itu dari kita. Disuruh datang mengaji terasa berat. Ada yang nggandoli. Beribu alasan seperti diajak naik ke langit. Mendaki langit ke tujuh. Dingin dan beku. Masih terngiang rasanya nasehat para ustadz penyampai itu di telinga. Tak lekang oleh waktu.
Sekarang orang mulai bisa mendaki langit, walau hanya sebatas dalam pesawat. Gunung – gunung yang tinggi pun telah dijelajahi. Umumnya sampai ketinggian 10 km di atas permukaan laut. Bahkan sudah ada yang mendarat di bulan. Dan ada juga yang berada di luar angkasa untuk beberapa saat kemudian. Hal itu tidak serta merta menggugurkan dalil di atas. Sebab walau mereka bisa mendakinya, tetapi hanya terbatas. Limited persons. Banyak yang belum mampu, kenyataannya. Dan satu hal lagi bahwa pendakian langit itu dilakukan dengan resiko yang tinggi. Kesulitan yang besar. Bahaya yang setiap saat mengancam. Sudah banyak korban yang menjadi taruhannya. Dalam catatan penerbangan, tercatat bahwa banyak terjadi kecelakaan pesawat itu saat lepas landas – take off. Terbelah kala gagal mendaki. Meledak saat meluncur ke udara. Jadi masih menjadi sebuah kesulitan besar ketika seseorang akan meninggalkan bumi, naik ke tingkat yang lebih tinggi.
Ini catatan penting, bahwa ada bahaya dan resiko yang tinggi yang harus kita hadapi agar mendapat hidayah dengan memeluk islam. Lebih dari sekedar bahaya naik ke langit, tetapi terhindar dari bahaya siksa neraka. Hal ini perlu diketahui agar kita benar – benar paham, berhati – hati agar selamat melewati semua hadangan dan rintangan, cobaan dan mushibah, sehingga hati kita benar- benar lapang – ngeplong – dalam menjalankan syariat agama. Berlapang dada. Gembira – ria. Meniti setiap jengkal peribadatan sebagai bagian dari mensyukuri petunjukNya.. Semangat, seperti kegembiraan saya di atas awan menikmati barisan mega di balik jendela pesawat “garuda”.
Oleh: Ustazd Faizunal Abdillah