Lupakan dulu covid. Sudah 2 kali lebaran, tapi belum ada tanda-tanda mereda. Bahkan pemerintah menetapkan larangan mudik, untuk meredam gejolaknya. Kita sisihkan sebentar berita Palestina. Yang tiba-tiba mengemuka seusai hari raya. Mari kontemplasi sejenak, menelisik hikmah untuk kemajuan spiritualitas kita, setelah sebulan berpuasa.
Walau tidak terucap, kebanyakan orang sepakat bulan puasa adalah bulan penuh rahmat dan pengampunan. Bahkan Allah obral pahala. Hal ini ditandai dengan berebutnya orang meminta maaf, baik menjelang, saat dan sesudah Ramadhan. Orang berlomba beramal baik, berhenti maksiat dan menjadi dermawan. Doa dan ucapan baik pun silih berganti, membuat dunia seolah banjir kedamaian dan kesejahteraan. Dipenuhi kata-kata bijak, diwarnai laku indah dan dihiasi budi kemuliaan. Sampai akhirnya kita dikagetkan dengan ledakan amarah orang-orang yang kena penyekatan mudik dan konflik Palestina. Lalu dimanakah orang-orang baik yang ada beberapa waktu lalu itu? Begitu cepatkah menghilang?
Ternyata, sekian lama menjumpai bulan puasa belum mampu mengajarkan kepada manusia untuk satu hal: menjadi pemaaf, sebagai salah satu sifat manusia bertakwa. Walaupun diguyuri kata maaf. Mungkin kita perlu mengenang lagi pesan para tetua dulu. Dengan arif mereka mengingatkan; “Teruslah belajar memaafkan. Bukan karena orang lain penting. Tapi karena kedamaian Anda sangatlah penting.” Pas rasanya dan mengana. Sebab faktanya, memaafkan jadi barang mahal dan teramat sulit dimiliki. Apabila bagi seseorang yang dicengkeram secara berlebihan oleh keakuan egonya. Semakin besar ego, semakin berat memaafkan. Ego inilah penyebab mudah kecewa bila mendapati sesuatu yang tidak sesuai harapannya. Selain itu, ego juga membuat seseorang mudah terlukai dan sulit tersembuhkan. Dan, jika sudah terluka, ujung-ujungnya sulit memaafkan. Padahal kita sudah berdoa banyak di sepuluh malam terakhir bulan ramadan dengan doa ini:
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, mencintai maaf, maka maafkanlah kesalahanku” (HR. At-Tirmidzi)
Hikmah pertama puasa yang pas kali ini mungkin adalah pengajaran kepada kita untuk memaafkan, terutama memaafkan diri sendiri, sebelum bisa memaafkan orang lain. Pandemic menjadikan kita lebih mandiri, dan mengurangi keterhubungan sosial. Selalu menjaga jarak, mobilitas dibatasi bahkan mudik dilarang. Ini mempertegas kondisi bahwa manusia sebenarnya lebih sering bertempur dengan tubuh, pikiran, dan spirit yang menghuni dalam dirinya sendiri, dibanding dengan orang lain. Bertempur dengan tubuhnya, misalnya merasa kurang cantik, merasa kurang sehat, dan lain sebagainya. Berperang dengan pikirannya, banyak mengeluh atau menyalahkan dan keinginan lain yang meraja. Ditambah lagi, ia tidak mengenal spirit yang menghuni di dalamnya seperti mau apa atau selalu merasa salah, mungkin juga sakit hati dan kandasnya cita-cita. Puasa adalah jawabannya, menuntun setiap orang menemukan keseimbangan – wellbeing dalam dirinya, sehingga tidak mudah terluka, bisa menerima, sekaligus bisa bertumbuh dalam cuaca kehidupan mana pun.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ
“Puasa adalah perisai, jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa janganlah berkata keji dan berteriak-teriak, jika ada orang yang mencercanya atau memeranginya, maka ucapkanlah, ‘Aku sedang berpuasa” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Untuk itu, layak direnungkan. Kenapa ketika berpuasa, diajak bertengkar memilih menghindar. Setiap berucap diharap bijak, santun tidak memancing emosi lawan bicara. Dalam berbuat tidak norak, sembrono apalagi jahil. Dalam bertutur selalu jujur, lahir dan batin. Inilah bibit-bibit yang akan melahirkan bayi memaafkan dalam diri. Ia akan menjadi sebentuk energi pengimbang yang bisa menetralisasi energi kemarahan. Di jalan ini, sedikit demi sedikit, energi pengimbang berupa praktek kesadaran dalam menjaga diri, dipupuk dan ditumbuhkan dengan berpuasa penuh sebulan, sehingga hasilnya mampu memaafkan diri sendiri dan tumbuh seimbang penuh penerimaan menuju kesejahteraan.
Hikmah kedua, layak direnungkan untuk belajar menang dari pengkondisian yang telah menahun dan menua. Semua orang tidak mau kejahatan, tapi kejahatan terus bertumbuh di sepanjang waktu. Semua agama melarang kekerasan, tapi kekerasan selalu hadir di setiap zaman. Dengan berpuasa, membebaskan diri dari segala bentuk pengkondisian agar hidup ini tidak mirip pesawat TV yang remote controle-nya dipegang oleh orang lain. Hal ini dituntun dengan indah kala berpuasa, dimana syaitan-syaitan dibelenggu. Pengaruh jelek ditiadakan untuk melihat seberapa jauh jiwa terbebas dari pengkondisian ini. Pengkondisian yang berhasil, melahirkan anak melupakan. Di jalan berpuasa ini manusia sangat disarankan untuk memiliki keberanian spiritual buat melupakan. Persisnya, menghapus banyak pengetahuan yang pernah dikumpulkan. Layaknya obat, obat ampuh yang bisa menyembuhkan luka jiwa adalah memaafkan kemudian melupakan kejadian buruk yang pernah melukai.
Tanpa keberanian memaafkan dan melupakan, maka mata rantai penderitaan akan terus berlanjut dari satu generasi ke generasi yang lain. Lebih dari sekadar memutuskan mata rantai penderitaan, memaafkan dan melupakan juga membuat seseorang berevolusi dari pihak yang kalah (baca: kalah melawan kemarahan), menjadi pihak yang menang (baca menang melawan pengkondisian) dengan melupakan. Begitu seseorang bisa menjadi pemenang, di sana ia bisa membebaskan diri dari pengkondisian yang jauh lebih dalam. Menjadi manusia yang penuh kesyukuran, kebijaksanaan, kebebasan dan penuh pemaafan kepada orang lain.
وَسارِعُوا إِلى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّماواتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (133) الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (134) وَالَّذِينَ إِذا فَعَلُوا فاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ (135) أُولئِكَ جَزاؤُهُمْ مَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَجَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهارُ خالِدِينَ فِيها وَنِعْمَ أَجْرُ الْعامِلِينَ (136)
Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Tuhan kalian dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengumpuni dosa selain dari Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedangkan mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedangkan mereka kekal di dalamnya, dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal. (QS Ali Imron 133-136)
Harapannya, dalam terangnya pemahaman dan pandangan seperti inilah, jiwa-jiwa terus bertumbuh dan berkembang setelah melewati ramadhan untuk menjadi pribadi yang bertakwa. Bukan hanya menjadi ramadhaniyyin. Dan pada akhirnya bisa menghadapi pandemic ini dengan sabar dan ikhlas serta bisa melihat konflik Palestina dengan penuh kepastian dan keyakinan.
Selamat Hari Raya – Taqabbalallahu minna waminkum – Mohon Maaf lahir dan batin.
nice article
Subhanalloh…
Na’am.