Oleh: Faizunal A. Abdillah
Pemerhati lingkungan – Warga LDII Kabupaten Tangerang.
Tanpa mempengaruhi apa yang ada dalam pandangan pembaca sekalian, izinkan saya mengutarakan apa yang ada dalam pikiran di hari kemerdekaan kali ini. Barangkali berguna, atau setidaknya menjadi sebab mengalirnya pahala untuk ketulusan dan keberanian diri ini dalam berbagi. Tidak bermaksud menggurui atau mencederai, sebab saya yakin banyak orang yang lebih mumpuni dan hebat di luar sana.
Perayaan kemerdekaan dari dulu sampai sekarang, dari gedung sampai kampung bahkan ke puncak-puncak gunung selalu meriah. Tidak di kota, tidak di desa, selalu mendapat tempat dan marwah yang indah. Tetapi itulah yang membuat saya tambah gelisah. Selalu saja berisi lomba yang itu-itu saja dan kegiatan yang juga begitu-begitu terus dari waktu ke waktu. Tidak ada yang salah dengan pengibaran bendera, tidak ada yang salah dengan upacaranya, tidak ada yang salah dengan lomba-lombanya, jika dimaksudkan sebagai pengingat dan penghormatan terhadap jasa-jasa para pahlawan bangsa. Tetapi lebih jauh dari itu semua, sudahkah bangsa yang sudah menyatakan diri 75 tahun merdeka ini, berisi orang-orang yang juga merdeka?
Boleh jadi, kita terperangah dengan pertanyaan dan pernyataan semacam ini. Tentu saja, karena pada umumnya beranggapan bahwa merdeka itu bisa melakukan apa saja sesuai kemauan kita. Dan itu memang sepertinya benar melihat kondisi bangsa tercinta sampai detik ini. Korupsi tidak pernah tuntas, karena merasa mereka bebas melakukannya. Dalam berpolitik hilang tata kramanya, karena merasa bebas melaksanakan maksud dan tujuannya. Nepotisme itu biasa. Mumpung masih berkuasa, dan alasan-alasan lain dengan dalih merdeka. Di bidang ekonomi, kita masih separo nafas dengan himpitan hutang yang terus mengganas. Namun sesuai dengan kapasitas saya sebagai wong cilik, mari kita berkontribusi terhadap permasalahan bangsa ini dengan memaknai kemerdekaan dengan sebenar-benarnya dimulai dari diri sendiri.
Seorang kawan mengirimkan pesan indah di hari berbahagia ini. Katanya; “Merdeka itu, ketika saya mampu melakukan apa yang tidak ingin saya lakukan.” Saya jadi teringat Immanuel Kant yang mendefiniskan kebebasan yang mutlak adalah kebuasan, karena kebebasan sesungguhnya memiliki definisi yang bersifat mengikat dan terbatas. Allah misalnya, di dalam kekuasaan dan kekuatan-Nya yang mutlak dan tidak terbatas, tetap membatasi diri untuk tidak melakukan segala sesuatu yang bertentangan dengan natur-Nya. Berbeda dengan kita semua yang berpotensi untuk menjadi diktator, tiran, atau monster mengerikan jika saja tidak ada hukum, aturan, atau hal yang membatasi kita. Apa lagi dengan natur lupa, salah dan berdosa, manusia cenderung akan melakukan banyak keputusan, pilihan, dan perbuatan yang akan merugikan sesamanya, alam, dan makhluk ciptaan lainnya. Karena itu, kita baru dapat menjadi manusia merdeka ketika mampu untuk melakukan apa yang sesungguhnya tidak mau kita lakukan, seperti berbuat yang jahat, merugikan, menyakiti dan berdosa.
Berawal dari sini, saya memulai menyusun kembali arti kemerdekaan bagi diri ini dengan hal-hal sederhana dan kecil. Ketika saya merasa banyak omong di suatu hari, maka segera saya membaca Al-quran sebagai ganti. Ketika saya merasa kekenyangan pada suatu kali, maka segera saya berpuasa di hari berikutnya. Ketika saya merasa tidak berarti dalam hidup ini, maka segera saya menyendiri di 1/3 malam yang sunyi. Karena dari 3 kegiatan kecil inilah bisa berdialog langsung dengan Sang Pencipta. Dan di sanalah letak kemerdekaan sejati yang banyak orang cari. Sebagaimana pesan tua Rasulullah SAW berikut ini;
“Barangsiapa ingin dijauhkan dari neraka dan masuk ke dalam surga, maka hendaknya ia mati dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hendaknya ia berperilaku kepada orang lain sebagaimana ia senang diperlakukan oleh orang lain.” (Rowahu Muslim)
Merdeka!