Oleh: Faizunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan
Ada rasa getir, melihat perkembangan kampung halaman saat ini. Dulu tempat-tempat yang rimbun oleh bambu, sekarang padang tanpa pepohonan. Kebanyakan berubah menjadi tempat berteduh anak-anak zaman. Ya, memang dibutuhkan sebagai tempat bertumbuh dan berkembang. Mau dikata apalagi. Dan rumpun bambu menjadi pililhan mudah untuk dilenyapkan. Tanpa perlawanan, paling sedikit pengorbanan.
Mengenang bambu, saya teringat dialog imajiner antara bambu dengan seruling. Sama-sama trah bambu, seruling menjadi pembeda. Ia berkeliling dari satu tempat ke tempat lain yang indah. Bertahta di panggung bersama orang-orang beken. Suaranya dikagumi banyak orang. Mendengar itu, seruling pun memberikan penjelasan, “Hai bambu dulunya saya juga seperti kalian. Sebelum menjadi seruling, kakiku dipotong parang. Bagian tubuhku yang lain digergaji. Seluruh tubuhku dijemur, dikeringkan. Badanku dihaluskan dengan pisau tajam dan amplas. Dan yang paling menyakitkan dadaku dilubangi berkali-kali. Hai bambu, jangan lihat hasil akhirnya, tengoklah prosesnya.”
Serupa dengan semangat seruling itu, pada zaman sekarang banyak anak muda yang demikian bersemangat dan berambisi. Sekolah, kursus, berorganisasi, mencari bea siswa dan segudang aktivitas bertenaga lainnya. Intinya satu: perbaikan hidup. Bila orang lain bisa kenapa saya tidak. Premis orang di jalan ini jelas sekali. Pertama, tidak ada istilah tidak bisa. Sama-sama makan nasi. Kalau orang lain bisa, saya juga harus bisa. Kedua, kemampuan di dalam diri sini tidak terbatas. Tinggal menggali dan menggali. Kalau perlu, ketika yang lain kerja delapan jam, kita bisa kerja 10 jam atau lebih. Kenapa tidak?
Ketiga, lebih tinggi kehidupan yang bisa diraih itu lebih baik. Impian kehidupan selalu menanjak dan menaik tanpa batas. Urusan dunia tiada habisnya. Sampai di sini, melarang anak muda berusaha keras tentu bukan pilihan yang bijaksana. Sebagaimana cemara yang sejuk di gunung, kelapa yang kokoh di pantai, biarkanlah mereka bertumbuh sesuai dengan tingkatannya. Agar tak salah arah dalam mengarungi masa muda ini, ingatlah nasehat Sang Guru Bijak yang dinukil dari ulama salaf Ibnu Rajab:
فَإِنَّ الشَّبَابَ شُعْبَةٌ مِنَ الْجُنُوْنِ، وَهُوَ دَاعٍ لِلنَّفْسِ إِلَى اسْتِيْفَاءِ الْغَرضِ مِنْ شَهوَاتِ الدُّنْيَا وَلَذَّاتِهَا الْمَحْظُوْرَةِ، فَمَنْ سَلِمَ مِنْهُ فَقَدْ سَلِم
“Sesungguhnya masa muda adalah cabang dari kegilaan, karena masa muda menyeru jiwa untuk memuaskan kehendaknya berupa syahwat dunia keledzatannya yang terlarang. Maka barangsiapa yang selamat darinya, maka sungguh ia telah selamat.” (Fathul Baari 6/46-47).
Lain lagi bagi yang sudah menua. Bambu memberi pelajaran yang epik juga. Seiring usia, perlu menyadari bahwa dalam kehidupan ini, ada yang bisa dicapai, ada yang hanya layak disyukuri. Ada wilayah kehidupan yang bisa digedor dengan kerja keras dan usaha. Ada juga wilayah kehidupan yang hanya menjadi milik misteri. Ada syarat kehidupan yang harus diterima tanpa bisa memilih. Ada jalan kehidupan yang harus diterima tapi bisa memilih. Dan sambil menikmati aroma tubuh yang berganti dari parfum ke bau minyak angin, mungkin ada gunanya mulai mendengar nyanyian-nyanyian sunyi. Bukan dari seruling yang merdu indah, tetapi nyanyian sunyi dari induknya seruling yaitu bambu yang tidak pernah bicara.
Mari perhatikan baik-baik. Biasanya bambu itu kuat dan kokoh tanpa pernah bisa dicabut angin. Inilah jenis nyanyian pertama. Dan alasan utama kenapa bambu kokoh adalah karena berakar kuat ke dalam. Walau serabut akarnya. Ini berbeda dengan manusia yang hidupnya lemah dan keropos, terutama karena berakar keluar (pangkat, kekayaan). Dari sini memberi inspirasi, belajarlah bertumbuh dengan berakar kuat ke dalam. Ke dalam diri, persahabatan, kedamaian dan rasa syukur atas berkah kehidupan. Niscaya hidup akan tenang, istiqomah, walau angin menggoyang.
Nyanyian kedua, bambu senantiasa segar di segala musim. Ini berbeda dengan kebanyakan manusia yang hanya segar bila kehidupan sesuai keinginannya. Hidup segar jika musim punya uang, naik pangkat, dipuji dan dihormati. Dan karena tidak ada kehidupan yang selalu kaya dan bahagia, maka layak direnungkan untuk belajar indah di setiap langkah. Kaya indah karena banyak yang bisa dibantu dengan kekayaan. Miskin juga indah, karena melalui kemiskinan manusia tidak perlu takut kehilangan. Naik pangkat indah karena penuh pujian. Pensiun juga indah. Berlimpah waktu yang tersedia untuk mengejar ketertinggalan dalam beramal kebajikan.
Nyanyian ketiga, bambu selalu hidup rukun dalam satu rumpun. Jarang bambu hidup sendirian, sebisa mungkin mereka hidup bersatu. Selalu. Mereka mengajarkan pentingnya kebersatuan dalam kehidupan untuk urusan dunia maupun ibadah. Berjamaah itu rohmat, berpecah belah itu penderitaan. Nyanyian bambu yang keempat, setelah tinggi bambu merunduk rendah hati. Siapa saja yang setelah tinggi kemudian tinggi hati, ia sedang menabung untuk keruntuhannya. Semakin tinggi semakin besar godaan dan terpaan. Dengan merunduk, menjadikan aman dan terlindungi. Bahkan kemudian bersahabat dan bermanfaat bagi lingkungan. Ini adalah simbol pencerahan diri.
Dan puncaknya, yang kelima, dari nyanyian bambu ini adalah ketika dibelah di dalamnya kosong. Bila boleh jujur, kenapa banyak kehidupan mudah stres, marah, tersinggung, karena di dalamnya penuh berisi. Dari harga diri, kekayaan sampai status sosial. Akibatnya, jika ada yang berperilaku berbeda dari yang diharapkan, godaan untuk marah, murka akan mudah muncul. Dan bambu mengajarkan bahwa semua yang hebat-hebat yang membuat manusia mudah marah suatu hari akan berakhir dengan kekosongan. Suwung, tanpa isi kecuali kebaikan.
Menyisik nyanyian bambu ini, mari simak “nyanyian bambu” yang sepi menerangi dari Rasulullah ﷺ berikut ini. Rasulullah ﷺ berkata kepada Abu Hurairah:
يَا أَبَا هُرَيْرَةَ كُنْ وَرِعًا تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ وَكُنْ قَنِعًا تَكُنْ أَشْكَرَ النَّاسِ وَأَحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ تَكُنْ مُؤْمِنًا وَأَحَسِنْ جِوَارَ مَنْ جَاوَرَكَ تَكُنْ مُسْلِمًا وَأَقِلَّ الضَّحِكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ
“Wahai Abu Hurairah, jadilah orang yang wara (hati-hati), maka engkau akan menjadi sebaik-baiknya manusia ahli ibadah. Jadilah orang yang qonaah (selalu merasa cukup dengan pemberian Allah), maka engkau akan menjadi manusia yang benar-benar bersyukur. Sukailah sesuatu pada manusia sebagaimana engkau suka jika ia ada pada dirimu sendiri, maka engkau akan menjadi seorang mukmin yang baik. Berbuat baiklah pada tetanggamu, maka engkau akan menjadi muslim sejati. Kurangilah banyak tertawa karena banyak tertawa dapat mematikan hati.” (HR. Ibnu Majah).
Nah, mengakhiri tulisan ini izinkan kami sampaikan salah satu falsafah bambu, warisan para leluhur. Bunyinya; Pring Petung, urip iku suwung, senajan suwung nanging ojo podo nganti bingung. Hidup itu kosong/suwung. Namun, meskipun kosong jangan sampai bingung. Isilah dengan hal-hal yang baik, sebagaimana yang diuraikan di atas.
Subhanallah. Banyak yg bisa kita petik hikmah dari alam ciptaan Allah swt. Dari yg terkecil,lalat sampai gunung dan seterusnya..
Alhamdulillahijazahumullohukhoiro
Alhamdulillah jaza kallohu khoiro untuk falsafah bambunya n smua nya
Alhamdulillah jazakumullohukhoiron
Menginspirasi lur, amalsholeh jangan lelah kasih nasehat
Hikmah yg begitu mendalam dari falsafah bambu,luar biasa.
Alkhamdulillahijazakaullohu khoiro
Alhamdulillahi jazakumullohu khoiro…. Sangat. Bermanfaat sekali…. Alhamdulillah semoga kita semua bisa mengamal kan nya
Semoga LDII lebih meningkatkan peran serta dalam membanguna ukhuwa sesama umat….aamiiiin ya robb
Alhamdulillah dapat nasehat lagi…
Semoga Allah memberikan kefahaman agama yang barokah…
Aamiin 🤲
Alhamdulillahi jaza kaullohu khoiro pak🙏
Bagus, menginspirasi . Terimakasih
Alhamdulillahi jazakumullohu khoiro…. Sangat. Bermanfaat sekali…. Alhamdulillah semoga kita semua bisa mengamal kan nya
Untuk tanda baca titik komanya msh harus diperbaiki spy mudah dimengerti baca nya, ga harus dipulangkan, Aljkzh