Oleh Ardito Bhinadi*
Setiap 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh Internasional atau yang lebih dikenal sebagai May Day. Peringatan Hari Buruh memiliki sejarah panjang perjuangan buruh untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Bermula dari demonstrasi besar-besaran di Chicago, Amerika Serikat pada 1886, ketika para buruh menuntut pembatasan jam kerja menjadi delapan jam sehari. Aksi ini kemudian berujung pada bentrokan dengan polisi yang menewaskan sejumlah buruh.
Peristiwa berdarah di Chicago ini mengilhami gerakan buruh di seluruh dunia, untuk memperingati pengorbanan mereka dalam memperjuangkan hak-hak pekerja. Pada 1889, Kongres Buruh Internasional di Paris menetapkan tanggal 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional. Sejak saat itu, peringatan ini menjadi tradisi tahunan di berbagai negara sebagai simbol solidaritas dan perjuangan buruh.
Di Indonesia, gerakan buruh dan serikat buruh memiliki peran penting dalam memperjuangkan hak-hak pekerja. Serikat buruh bertindak sebagai wadah bagi para buruh untuk menyuarakan aspirasi mereka secara kolektif. Fungsi utama serikat buruh adalah melindungi hak-hak pekerja, seperti upah yang layak, jam kerja yang manusiawi, jaminan keselamatan kerja, dan perlindungan dari pemutusan hubungan kerja yang tidak adil.
Selain itu, serikat buruh juga berperan dalam memperjuangkan kesejahteraan buruh secara luas, termasuk akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan tunjangan lainnya. Mereka seringkali terlibat dalam perundingan dengan pengusaha dan pemerintah untuk mencapai kesepakatan yang menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Perjalanan gerakan buruh di Indonesia tidak selalu mulus. Ada banyak tantangan yang dihadapi oleh buruh dan serikat buruh. Salah satu tantangan utama adalah kurangnya perlindungan hukum yang memadai. Meskipun undang-undang ketenagakerjaan telah disusun, implementasinya seringkali lemah dan rawan pelanggaran.
Tantangan lain adalah resistensi dari pengusaha yang enggan memberikan hak-hak pekerja secara utuh. Kasus-kasus pelanggaran hak buruh, seperti upah di bawah standar, jam kerja berlebihan, dan pemutusan hubungan kerja sepihak, masih sering terjadi. Serikat buruh seringkali harus berjuang keras untuk memperjuangkan hak-hak anggotanya.
Penentuan upah minimum pekerja/buruh bukan sekadar rumus matematika dan data statistik, namun berdasarkan penilaian besarnya pendapatan minimum untuk memenuhi kehidupan yang layak bagi kemanusiaan atau kesejahteraan pekerja/buruh.
Tantangan yang dihadapi oleh buruh dan seribat pekerja/buruh masih banyak. Ironisnya gerakan serikat buruh di Indonesia kadang berbeda jalan karena banyaknya organisasi buruh yang ada. Semestinya serikat pekerja atau serikat buruh bersatu untuk memperjuangkan kesejahteraan anggotanya.
Gerakan buruh kadang dimanfaatkan untuk kepentingan politis. Sudah saatnya gerakan buruh di Indonesia kembali ke tujuan awal didirikannya serikat pekerja/buruh, yaitu untuk memperjuangkan hak-hak buruh untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana amanat konstitusi UUD 1945.
Peringatan Hari Buruh Internasional setiap tahunnya hendaknya menjadi momentum bagi buruh dan serikat buruh untuk mengingatkan masyarakat akan pentingnya memperjuangkan hak-hak pekerja.
Perbaikan regulasi dan penegakan hukum yang tegas, dialog yang konstruktif antara buruh, pengusaha, dan pemerintah, serta peningkatan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya hak-hak pekerja menjadi kunci untuk mewujudkan kondisi kerja yang lebih baik bagi seluruh buruh di Indonesia.
*Dr. Ardito Bhinadi, M.Si adalah Ketua DPP LDII Koordinator Bidang Ekonomi dan Pemberdayaan Masyarakat sekaligus pakar ekonomi syariah dan Ekonom UPN Veteran Yogyakarta.