Jakarta (12/10). Hari Museum Nasional jatuh pada 12 Oktober setiap tahunnya, memasuki tahun ke-9 yang dirayakan seluruh rakyat Indonesia. Cikal bakal Hari museum itu bermula dari Musyawarah Museum se-Indonesia (MMI) yang kedua, yang dihelat pada 26 – 28 Mei 2015 bertempat di Malang, Jawa Timur.
Pertemuan tersebut atas inisiasi Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman yang menghasilkan penetapan peringatan Hari Museum Nasional. Pemilihan tanggal 12 didasari atas pertemuan MMI pertama yang dilaksanakan di Yogyakarta pada tanggal 12 – 14 Oktober 1962. Musyawarah tersebut menghasilkan 10 resolusi penting yang dijadikan acuan kerja pemerintah dalam pengembangan museum di Indonesia.
Peringatan Museum Nasional tahun ini bertajuk “Museum untuk Pendidikan dan Penelitian”, pemerintah mengajak untuk lebih mendalami bagaimana institusi budaya ini menjadi pusat pembelajaran dan penemuan baru. Museum telah berevolusi dari sekadar tempat menyimpan benda-benda kuno menjadi ruang interaktif yang merangsang pikiran dan imajinasi. Melalui pameran yang dirancang dengan baik, museum menawarkan pengalaman belajar yang tak terlupakan. Peringatan Hari Museum Nasional ini menjadi momentum perenungan peran penting museum dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
“Peringatan Hari Museum Nasional ini bertujuan untuk mengenalkan sekaligus mengajak masyarakat Indonesia menyadari berbagai peran museum yang sangat strategis. Bahkan sejak tahun 2020, peringatan hari museum di tingkat internasional diupayakan untuk mendukung pula tujuan – tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals),” ujar Atus Syahbudin, Pengurus Barahmus DIY, 2023-2028.
Ia menjelaskan, saat ini Barahmus (Badan Musyawarah Musea) DIY yang merupakan sebuah organisasi sosial nirlaba sebagai wadah museum-museum negeri dan swasta di wilayah Yogyakarta, berkomitmen meningkatkan jumlah museum yang ada beserta kualitasnya. Komitmen tersebut terwujud dengan bersinergi bersama Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY, Pariwisata serta Dinas Koperasi dan UMKM. Harapanya museum bisa berkembang bersama industri pariwisata dan industri kreatif.
“Museum mengampu fungsi kebudayaan mengingat sebagian koleksi museum merupakan benda-benda cagar budaya yang harus dilestarikan. Museum ini menjadi salah satu ekosistem kebudayaan. Museum mendukung pula fungsi pendidikan, pariwisata, dan kesatuan bangsa,” kata Atus.
Museum diharapkan juga dapat menyajikan sesuatu yang berkesan mendalam dan memberikan pengalaman tersendiri bagi pengunjung. Pengalaman pendidikan yang holistik. Museum memberikan kesempatan belajar seumur hidup yang berkualitas bagi semua pengunjungnya.
Atus yang juga Ketua DPW LDII daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menjelaskan peran LDII dalam pelestarian dan peningkatan kualitas museum di Indonesia. LDII bersama masyarakat Kampung Sangurejo sejak 2023 mulai merintis Living Museum melalui Program Kampung Iklim (ProKlim) bertempat di Sangurejo, Sleman, Yogyakarta. Rintisan museum tersebut diresmikan pada saat LDII menggelar Deklarasi dan Training of Trainer (ToT) bertajuk “Menuju Program Kampung Iklim (ProKlim) Lestari”, pada Senin (16/09),” jelasnya.
“Living Museum ProKlim Sangurejo sejalan dengan peringatan Hari Museum Internasional pada tahun 1992 yang pernah mengangkat tema Museum dan Lingkungan (Museums and Environment). Isu-isu perubahan iklim dijadikan sebagai tema sentral yang membedakan dengan museum lainnya yang telah ada. Di saat yang bersamaan, Sekolah Lansia ProKlim diluncurkan pula bekerja sama dengan BKKBN DIY, serta peluncuran 29 Karakter Luhur Bidang Lingkungan Hidup oleh DPP LDII,” terang Atus.
Ia menjelaskan Living Museum ProKlim Sangurejo mengumpulkan artefak-artefak dan berbagai koleksi terkait upaya penyelamatan lingkungan hidup. Living Museums ingin menunjukkan pula bahwa local wisdom masyarakat Indonesia pada masa lampau masih relevan untuk melestarikan lingkungan hingga saat ini. Museum tersebut menggabungkan fungsi pendidikan lingkungan sembari berwisata alam terbuka di Kampung ProKlim Utama Sangurejo.
“Sebagai Kampung Pramuka, berbagai fasilitas outbond mudah dijumpai pula di sepanjang rute kunjungan Living Museums Sangurejo. Pengunjung dapat menikmati jugangan, biopori, pemanenan air hujan, rumah magot, kebun pangan mandiri, healing spot, ecoprint limbah kulit salak dan manggis, serta hamparan salak, agroforestri, dan lainnya,” tutup Atus. (Nabil)