Di Hari Kemerdekaan itu, rekan saya – hampir tak tergerak hatinya menaikkan bendera Merah-Putih di rumahnya. Hatinya bergemuruh, langkahnya berat. Protes, berontak, geram, lantaran kemerdekaan belum bermakna ”apa-apa” bagi anak bangsa ini seperti yang dicita-citakan. ”Seandainya bendera itu bisa bicara, mungkin sudah menjerit, menggugat, ” kyayalnya. Jeritan pilu! Sebab, sudah 68 tahun merdeka, tapi urusan bangsa ini masih segunung. Seakan jalan di tempat atau bahkan mundur ke belakang.
Perampasan, penipuan, dan pengadalan makin membudaya. Nasionalisme luntur, walau berlagak nasionalisme. Korupsi dilakukan bersama oleh penyelenggara negara. Saling sulih, terus berganti dari satu lembaga ke lembaga lainnya. Muter terus, bergilir kayak arisan. Kesengsaraan, ketakutan, keserakahan, pemasungan, dan pembodohan serta penyelewengan masih akrab. Juga dendam kesumat. Kini, bangsa ini prihatin. Sakit.
Memang, situasi dan kondisi seperti ini membentuk banyak orang bernalar dangkal. Dan, itu sungguh menjengkelkan. Buntutnya, rekan saya yang tinggal di Jakarta itu nyaris tak mengibarkan Sang Saka. ”Tapi, karena saya masih punya pakewuh dengan tetangga, ya, akhirnya bendera itu saya naikkan,” katanya sembari tersenyum kesal. Hatinya bergemuruh ingin menggebrak. Ia jengkel, karena kepentingan orang banyak tergusur oleh segelintir orang yang mengabaikan hak-hak orang lain. Mereka disingkirkan oleh kesewenang-wenangan atas nama pemerintah, padahal kehendak pribadi. Takdirkah itu?
Di Hari Kemerdekaan itu, rekan saya mempertanyakan arti merdeka. Sembari memandangi burungnya yang terkurung di sangkar, ia mencoba merenung: ”Adakah burung itu sudah merdeka? Apakah kemerdekaan itu bakal membuat dia lebih bahagia? Apakah bebas dari sangkar bisa membuatnya bertahan hidup? Atau dia perlu reformasi?”
Di dalam gelombang reformasi yang membawa perubahan politik tahun 1998 yang lalu, lagi-lagi menurut rekan saya, bukan kemajuan dalam memaknai kata merdeka, melainkan mencederai kata merdeka itu sendiri. Bagaimana tidak, sejak saat itu telah terjadi gegar budaya. Reformasi membawa arus besar kelompok permisif dan adiktif menumpang masuk ke tanah air dengan jargon merdeka. Tak ada sosok organisasi resminya, tapi jaringan kerja samanya mendunia, kapital raksasa mendanainya, ideologi gabungan melandasinya, dan banyak media massa jadi pengeras suaranya.
Pertama, praktek sehari-hari kehidupan pribadi dan kelompok dalam perilaku seks bebas hetero dan homo, terang-terangan dan sembunyi-sembunyi dan sebagian anti-pernikahan resmi. Kedua, penerbit majalah dan tabloid mesum, yang telah menikmati tiada perlunya SIUPP. Mereka menjual wajah dan kulit perempuan muda, lalu menawarkan jasa hubungan kelamin pada pembaca pria dan wanita lewat nomor telepon genggamnya.
Ketiga, produser, penulis skrip, dan pengiklan acara televisi syahwat. Seks siswa dengan guru, ayah dengan anak, siswa dengan siswa, siswa dengan pria paruh baya, siswa dengan pekerja seks komersial –ditayangkan pada jam prime time, kalau pemainnya terkenal. Setiap tayangan televisi, rata-rata 170 juta orang yang memirsa.
Keempat, 4,200,000 (empat koma dua juta) situs porno dunia, 100,000 (seratus ribu) situs porno Indonesia di internet. Dengan empat kali klik di komputer, anatomi tubuh perempuan dan laki-laki, sekaligus cara berfungsinya, dapat diakses gratis. Sama mudahnya dilakukan baik dari San Francisco, Timbuktu, Rotterdam, maupun Cipanas – Garut.
Kelima, penulis, penerbit, dan propagandis buku syahwat 1/4 sastra dan 1/2 sastra. Di Malaysia, penulis yang mencabul-cabulkan karyanya biasanya penulis pria. Di Indonesia, penulis yang asyik dengan wilayah selangkang dan sekitarnya mayoritas penulis perempuan. Ada kritikus sastra Malaysia berkata: “Wah, pengarang wanita Indonesia berani-berani. Kok, mereka tidak malu, ya?” Memang begitulah, rasa malu itu yang sudah terkikis, bukan saja pada penulis-penulis perempuan aliran s.m.s. (sastra mazhab selangkang) itu, melainkan juga pada banyak bagian dari bangsa ini.
Keenam, penerbit dan pengedar komik cabul. Komik yang kebanyakan terbitan Jepang yang diterjemahkan itu tampak di kulit luar biasa saja, tapi di dalamnya banyak gambar hubungan badannya, misalnya (bukan main) antara siswa dan Bu Guru. Harganya hanya 5.000 saja.
Ketujuh, produsen, pengganda, pembajak, pengecer, dan penonton VCD/DVD biru. Indonesia kini jadi surga besar pornografi paling murah di dunia. Angka resmi produksi dan bajakan 2 juta-20 juta keping setahun. Harga yang dulu Rp 30.000 sekeping, kini turun menjadi Rp 5.000. Luar biasa murah. Anak-anak SMA, SMP, bahkan SD kita bisa membelinya tanpa risi karena tak ada larangan peraturan pemerintah. Sesudah menonton, mereka ingin mencobakannya, dan akhirnya bisa terlibat prostitusi dan/atau aborsi.
Kedelapan, pabrikan dan konsumen alkohol. Minuman keras dari berbagai merek dengan mudah bisa diperoleh di pasaran. Kemasan botol kecil diproduksi, mudah masuk kantong celana, harga murah, dijual di kios tukang rokok di depan sekolah, remaja dengan bebas bisa membelinya. Di Amerika dan Eropa, batas umur larangan di bawah 18 tahun.
Kesembilan, produsen, pengedar, dan pengguna narkoba. Tingkat keterlibatan Indonesia bukan pada pengedar dan pengguna saja, bahkan kini sampai pada derajat produsen dunia. Enam juta anak muda Indonesia terperangkap dan ratusan ribu menjadi korbannya.
Kesepuluh, germo dan pelanggan prostitusi atau pengiklan perempuan dan laki-laki panggilan. Dalam masyarakat permisif, iklan semacam ini menjadi jembatan komunikasi yang diperlukan. Apabila hubungan syahwat suka-sama-suka yang gratis tidak tersedia, hubungan dalam bentuk perjanjian bayaran merupakan jalan keluarnya. Dalam hal ini, prostitusi berfungsi.
Kesebelas, dokter dan dukun praktisi aborsi. Akibat kombinasi berbagai faktor di atas, kasus pemerkosaan dan kehamilan di luar pernikahan meningkat drastis. Seorang peneliti dari sebuah universitas di Jakarta menyebutkan bahwa angka aborsi di Indonesia 2,2 juta setahun. Maknanya setiap 15 detik seorang calon bayi di suatu tempat di negeri kita meninggal akibat dari salah satu atau gabungan faktor-faktor di atas. Inilah produk akhirnya. Apakah seperti itu arti merdeka?
Kembali dari reformasi, rekan saya terus mencermati sejumlah pertanyaan yang memenuhi benaknya. Pada ujungnya dijawab sendiri: ”Belum tentu!” Sebab, siapa tahu, begitu bebas dari sangkar –lantaran tak gesit terbang– diterkam kucing. Atau, jangan-jangan malah mati kelaparan karena tak memperoleh butir juwawut dan ketan hitam. ”Sementara itu, jika di dalam sangkar, makanan itu pasti tersedia,” ujarnya. Atau, jangan-jangan, burung itu pantas disebut pahlawan, karena tiap pagi bisa menghibur manusia dan alam. ”Suara cicitannya itu memberi keriangan dan kesejukan di hati saya,” katanya. Jadi, apa arti merdeka jika hanya membuat burung itu sengsara, lalu berubah menjadi petaka? Bangkai pun bisa?
Akhirnya, ia merangkum dengan senyuman. Senyum itu bisa jadi hanya sebuah pembenaran agar dia tak dituding memasung kemerdekaan si burung. Yang pasti, burung yang nyaris mati diterkam kucing itu setiap pagi selalu berkicau. Ia dengan lapang bersiul tanpa peduli tuannya sedang sedih, kesal, bersungut, atau sumringah. Dan, hari itu, burung tersebut seakan ”menantang” rekan saya untuk berpikir, menjelajah, bersikap, serta memahami arti merdeka. Kalau saja penghuni Bumi Pertiwi ini bukan hanya berpikir ”mengalikan”, melainkan juga sudi ”membagi” –berbagi harta dan cinta kasihnya– insya Allah, merdeka itu bukan cuma pepesan kosong belaka. Dan, kita pun bisa tersenyum ikhlas, ikhlas merdeka. Apalagi jika mampu mengoreksi diri dalam memaknai kemerdekaan ini seperti Yusuf a.s.
Dan aku tidak membiarkan bebas hawa nafsuku, karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang. (QS Yusuf:53)
Betapa indahnya.