By Ranie Dewiyanti
Saya ingat pertama kali membaca buku ini dulu kelas 3 SMP. Pinjam dari Irna, temen SMP yang gila baca buku-buku ‘aneh’ …
Tapi sepintas lalu, sejak awal saya membacanya… saya menyimpan baik-baik di otak saya bahwa mau tidak mau otorisasi seorang pimpinan menentukan establishment-nya. Tidak ada kawan yang abadi dan tidak ada juga musuh yang abadi …
Dalam konteks pemikiran Machiavelli, itu artinya hancurkan semua yang akan menghalangi, kekuatan seorang pemimpin menentukan kelanggengan sebuah negara…
Machiavelli -penulis buku & ajaran itu- adalah seorang diplomat, perencana, teoritikus militer, ahli pikir, sarjana, sastrawan dan penyair sekaligus pemimpin tentara yang menyerang dan mengalahkan Pisa di tahun 1509.
Machiavellian sekarang adalah istilah yang paling sering digunakan untuk menuding seorang pembicara atau penulis politik yang berani mengetengahkan pandangan-pandangannya yang dinilai tak mengindahkan kaidah-kaidah kesusilaan. Machiavellian juga sering digunakan untuk mengutuk suatu kebijakan atau tindakan politik yang tak bermoral demi mencapai tujuan-tujuan tertentu bagi kepentingan diri sendiri.
Istilah ini sudah demikian popular dengan konotasi negatifnya menurut interpretasi yang mungkin tak disetujui oleh Machiavelli sendiri.
Tak ada seorang yang dipuja demikian tinggi, sekaligus dihujat dan dikutuk di waktu yang bersamaan. Barangkali demikian ia dianggap selaku bajingan tak bermoral sekaligus dipuja oleh banyak orang lainnya selaku realis tulen yang berani memaparkan keadaan dunia dan fakta-fakta menurut apa adanya.
Kesalahpahaman terhadap pemikiran-pemikiran Machiavelli, sebenarnya bukanlah semata-mata kekeliruan pihak penafsir, karena cara Machiavelli mengemukakan padangan/ajarannya memang mengundang tampilan yang berbeda-beda, seperti bukunya yang terkenal Il Principle (The Prince), yang penuh ungkapan-ungkapan dan pernyataan-peryataan yang controversial dan ironis kemudian bandingkan dengan karya tulisnya yang juga monumental: Discorsi.
Negara;
Menurut Machiavelli, ada dua bentuk negara yang paling penting, yaitu republik dan monarki. Ia mengatakan: seluruh negara dan dominion yang menguasai atau yang telah menguasai umat manusia berbentuk republik atau monarkhi.
Menurut salah seorang kawan, Machiavelli menulis ajaran tersebut berdasar kejadian pd saat itu,dimana Italia masih terpecah dlm bentuk city states serta merujuk pd kejadian di tempat-tempat lain seperti Sicillia, sementara di sisi lain negara Perancis mulai bangkit mengancam. Ketika perpecahan dalam negeri meningkat, dan ada ancaman juga dari luar,butuh strong leader yang bila perlu bertangan besi untuk mengendalikan negara.
Dengan demikian, filsafat politik Machiavelli berangkat dari desakan keadaan yang menuntut pemikiran dan tindakan yang praktis serta konkrit. Oleh sebab itu, karya tulisnya menawarkan pemikiran-pemikiran yang praktis dan konkrit. Namun tidak berarti bahwa demi kepraktisan itu, lalu pemikiran-pemikirannya menjadi dangkal. Justru aspek kedalaman yang menopang pemikiran-pemikiran praktisnya itu membuat ia benar-benar pantas disebut filsuf politik.
Bila kita menyimak pemikiran-pemikiran Machiavelli secara menyeluruh, cukup jelas terlihat bahwa negara menduduki tempat yang istimewa dalam pemikiran politiknya. Ketidakcakapan dan kelemahan penguasa mengakibatkan negara terkoyak-koyak dan tercabik-cabik sehingga menimbulkan anarkhi. Lewat nasihat-nasihat praktis, ia ingin membentuk dan melahirkan penguasa yang cakap dan kuat agar negara utuh dan jaya. Machiavelli mengatakan:
..ia (penguasa) tak perlu risau melakukan segala perbuatan yang jahat, yang tanpa tindakan itu akan sukar menyelamatkan negara, sebab apabila dipertimbangkan dengan baik, maka akan dijumpai bahwa ada hal-hal yang kelihatannya baik, tetapi bila ditempuh, akan menuntun seseorang menuju kehancuran, dan ada lagi hal-hal yang tampaknya jahat justru menghasilkan keamanan dan kesejahteraan.
Peng-adopt-an paham ini diantaranya hitler, musolini dan stalin. Tp sayangny sisi sekuler dikedepankan. Sistem monarki seperti Saudi Arabia sebetulnya mirip ini, namun karena based on agama, maka kekuasaan menjadi terkendali.
Well, kalau diterapkan dlm konteks demokrasi kekinian, Pemimpin yg baik bukanlah pemimpin yg cuma bisa membuat kebijakan populis, tp justru pemimpin yg berani membuat keputusan tidak populer tp justru penting utk kemaslahatan negara.
(dari IL Principle; J.H. Rapar, Filsafat Politik; Andri Garnadi; Deni Ridwan; dan dari berbagai sumber lainnya)