Perjalanan darat selama 3,5 jam dari Kota Ho Chi Minh (dulu: Saigon) menghantarkan saya pada kampung Champa di Provinsi Tay Ninh, Vietnam Selatan. Luar biasa, selama 1,5 jam terakhir kami disuguhi pemandangan kebun karet yang berjajar rapi, tanaman palawija dan sebuah gunung tanggung yang banyak ditumbuhi jati. Hampir mirip perkampungan di Indonesia. Setengah jam lagi jalan aspal yang kami lalui akan sampai di perbatasan antara Kamboja dan Vietnam. Namun kamipun berbelok meninggalkan jalan aspal nan lebar itu dan menapaki jalan kampung bertanah merah. Gerbang Tay Ninh menyambut kami di ujung jalan, lalu puluhan meter perkampungan Vietnam dan disambung perkampungan Champa setelahnya. Terlihat beberapa rumah panggung di sana. Juga muslimah berjilbab duduk-duduk di depan rumah
Sekilas Kerajaan Champa
Urang Champa, sebutan bagi keturunan Kerajaan Champa (192 M – 1832 M) dalam bahasa mereka sendiri, kini telah tersebar di delapan negara, yakni Kamboja, Vietnam, Thailand, Laos, Malaysia, Indonesia, Perancis, dan USA. Sekarang mereka tidak lagi memiliki tanah air akibat serbuan Bangsa Vietnam, Bangsa Khmer dan Bangsa Mongol silih berganti dalam ribuan tahun. Sejak abad X agama Islam mulai memasuki Kerajaan Champa, menyebar melalui jalur perdagangan dan menggeser penganut Hindu Shiwa. Menurut sejarah, seorang putri Champa yang beragama Islam, Putri Darawati, adalah istri Kertawijaya, Raja Majapahit VII, sehingga pada akhirnya keluarga kerajaan Majapahit memeluk agama Islam
“Saya berharap kamu terus bersama kami selama bulan Ramadhan di sini,” pinta seorang muslim Champa malam itu selepas sholat tarawih. Wajahnya nampak telah berusia lanjut bagaikan bapak dan anak saja. Pakaiannya gamis coklat tua dan mengenakan peci haji berwarna putih.
“Saya senang sekali, walaupun baru pertama kali bertemu kita sudah sangat dekat dan akrab,” lanjutnya kemudian.
“Alhamdulillah, saya pun demikian,” jawab saya setelah mendengarkan terjemahan Bahasa Champa ke Bahasa Indonesia dari seorang mubaligh urang Champa yang pernah mondok di Pondok Pesantren Wali Barokah, Jawa Timur. Dia pun sedikit mahir berbahasa Jawa. Maklumlah lima tahun sudah dia belajar agama di Indonesia.
“Hanya saja mohon maaf, tanggal 3 Agustus ini saya ada ujian akhir S3, sehingga belum bisa menemani jama’ah di sini. Maafkan saya,” saya pun mengakhirinya sambil berpelukan dan saling mendo’akan dalam kebaikan.
Buka bersama dan Sholat Tarawih Berjama’a
Deretan sajian berbuka puasa telah siap di emperan masjid saat saya tiba sore itu (Senin/22 Juli 2013). Di atas terpal biru yang menutupi lantai keramik masjid, tertata saling berhadapan gelas berisi minuman lemon manis, beberapa piring roti dan piring buah-buahan tropika. Sebut saja rambutan, kelengkeng dan pisang. Setelah turun dari boncengan motor honda ala Indonesia, saya pun menyalami para jama’ah putra satu persatu. Sekilas di ruang sebelah terlihat juga jama’ah putri yang sesekali melongok-longok mencari tahu.
Sungguh di luar dugaan saya, jumlahnya lumayan banyak. Beberapa jama’ah terlihat sudah udzur, sebagian lagi sepantaran saya atau beberapa tahun di atas atau di bawah umur saya. Alhamdulillah Kami segera berkenalan dan berbincang-bincang dalam Bahasa Champa-Bahasa Indonesia. Sesaat kemudian, buka bersamapun dimulai. Tak ada suara sirine atau bunyi-bunyian lain sebagai tanda buka puasa. Hanyalah seorang tua yang memberikan aba-aba sederhana.
Suguhan buka puasa urang Champa sungguh menggoda hati, karena jarang-jarang saya menikmatinya saat berada di Jepang. Kalaupun ada pastilah harga berlipat-lipat hasil impor dari negeri Thailand. Minuman lemon manis, rambutan dan kelengkeng menjadi kesukaan saya. Sampai-sampai hampir lupa jatah perut untuk makan malam nanti.
Saat adzan mulai berkumandang, kamipun berhenti sejenak dan mengambil air wudhu di halaman masjid atau di dekat dua kamar mandi yang berada di selatan masjid. Dapur dan satu kamar lain seperti kamar mubaligh dibangun berdampingan di utara kamar mandi tersebut. Seorang kyai paruh baya memimpin sholat maghrib kami. Dahulu beliau pernah belajar Islam mirip-mirip ajaran NU di Champa. Setelah kami menyelesaikan sholat maghrib, kamipun kembali dengan santapan berat mirip nasi soto plus roti berukuran panjang. Untuk memakan roti tersebut cukup dipotong kecil-kecil dengan tangan sesuai porsi kita sambil dicelupkan ke dalam nasi soto. Kami terus berbagi cerita di sela-sela makan mengenai perkembangan Islam di manca negara, khususnya Jepang, Hongkong, Korea Selatan, dan Taiwan. Raut bahagia nampak di wajah mereka kala itu. Merekapun bercerita banyak tentang nasib urang Champa yang tersebar di beberapa negara berumpun Melayu, seperti: Indonesia dan Malaysia. Tukar menukar beberapa kosakata Bahasa Champa dan Bahasa Indonesia juga menghiasi makan malam kami.
Pasca makan malam dan sholat isya’ berjama’ah, seluruh jama’ah berkumpul, maju merapat guna mendekat imam sholat. Seorang mubaligh Champa mulai menyampaikan nasehat mengenai syukur dan pentingnya beribadah kepada Allah. Kemudian dilanjutkan dengan pengajian hadits dengan cara memaknai kata per kata dalam Bahasa Champa.
Begitu terharu saya menyimaknya: “Masya Allah”. Rasa syukur mendalam saya panjatkan kepada Allah yang telah memberikan kesempatan sangat berharga ini.
“Inikah hasil perjuangan para perantara agama Islam di Vietnam?” batin saya haru biru dibuatnya. Sungguh di luar bayangan saya selama ini. Saat ini muslim Champa pun semakin berkembang di Tay Ninh.
Giliran saat sholat tarawih didirikan, tanpa dinyana, mubaligh Champa itu meminta saya mengimami. Saya menjadi ragu untuk mengiyakannya. Bukankah ini bukan rumah saya? Samakah tata cara ibadah mereka semua? Dua hal itulah yang menghantui saya di dalam mengambil keputusan. Namun demikian, anggukan jama’ah di shaf pertama yang rata-rata telah berusia lanjut segera saja menghilangkan keraguan itu. Mereka semua telah mengijinkan saya.
Oleh : Atus
Bersambung