Berbagai kekayaan alam melimpah ruah di negara ini. Lahan subur untuk pertanian dan perkebunan, perairan luas yang menyediakan penghasilan bagi para nelayan, hutan lebat yang menyediakan pepohonan, cadangan minyak bumi, gas alam, batubara serta bahan tambang lain yang belum tereksplorasi, dilengkapi dengan iklim tropis yang hangat dan cukup bersahabat .
Bangsa kita terlalu dimanja dengan kondisi yang serba ada. Sedihnya lagi, kita seperti dininabobokan oleh lagu dari Koes Plus seperti berikut ini :
Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Meskipun seperti itu, bangsa Indonesia belum sepenuhnya menguasai kekayaan alam tersebut, bahkan dapat dikatakan masih sedikit yang benar-benar dapat dikelola bangsa ini. Lihat saja berbagai peralatan raksasa pengeboran minyak mentah, batu bara, timah, hampir dipastikan adalah buatan negara lain. Bahkan kontrak PT. Freeport oleh US yang beroperasi di Papua saja baru selesai tahun 2041. Tak perlu terlalu jauh, dari alat-alat sederhana seperti jarum untuk menjahit, benang untuk menyulam, itupun masih harus diimpor dari Cina. Sampai peralatan elektronik yang sudah bukan menjadi barang mewah lagi seperti handphone pun masih dikuasai Jepang. Lalu apakah apa yang bisa bangsa kita lakukan? Sampai kapan kita menjadi tamu di negeri sendiri ?
Mengandalkan kekayaan alam yang terbatas seperti minyak bumi dan gas alam, tidak akan dapat menjadi solusi yang berkepanjangan. Pemanfaatan sumber daya non-migas adalah salah satu alternatif yang perlu dikembangkan. Peningkatan mutu sumber daya manusia Indonesia adalah kunci utama yang dapat menjadi pembuka celah kebangkitan bangsa Indonesia. Dalam buku “Jejak Pemikiran B. J. Habibie”, menurut B. J. Habibie yang merupakan perintis pembangunan ilmu pengetahuan dan teknolgi (IPTEK) di Indonesia, pembangunan negara dalam bidang industri tidak akan berkembang selama perhatian kita hanya tertuju pada pengurangan biaya produksi. Efisiensi memang diperlukan. Namun, jika fokus perhatian hanya berhenti pada penekanan efisiensi jangka pendek, dengan mengabaikan dinamika pengembangan teknologi dalam jangka panjang, hal itu akan menjadi jebakan bagi pembangunan di masa depan, karena dengan demikian, upaya untuk meningkatkan teknologi dan pengembangan sumber daya manusia yang hasilnya bisa dirasakan dalam jangka panjang akan terabaikan.
Upaya menaikan nilai tambah dan menurunkan biaya tambah merupakan cara ideal untuk dapat mengoptimalkan pengolahan sumber daya alam di Indonesia. Pakar bisnis dari Harvard University, Michael Porter mengatakan bahwa perusahaan perlu mengerahkan dua kekuatan daya saingnnya sekaligus untuk berkompetisi di era globalisasi ini. Pertama, keunggulan komparatif yang terletak pada rendahnya biaya-biaya produksi, seperti tenaga kerja, bahan mentah, infarastruktur fisik, dan ukuran skala usaha. Kedua, keunggula kompetitif, yang terdapat pada kemampuan kreativitas, produktivitas, dan inovasi – yang bukan semata-mata teknologi, tapi juga inovasi cara pemasaran dan kualitas pelayanan.
Melalui teknologi yang disesuaikan dengan kebutuhan dan efisiensi proses atau dengan kata lain teknologi tepat guna, bahan mentah yang kita miliki dapat diolah untuk menghasilkan produk yang bernilai ekonomi lebih tinggi. Disinilah peran manusia dapat dikembangkan untuk menjadi manusia profesional yang menguasai IPTEK dan dapat menerapkannya menjadi sebuah solusi atas prermasalahan dan keterbatasan yang menghambat pembangunan. Proses penciptaan SDM berkualitas ini memang tidak sebentar, beberapa dekade bahkan generasi mungkin yang harus dilalui sampai tujuan ini tercapai. Namun SDM yang unggul merupakan aset bangsa yang tidak terbatas dan jauh lebih berharga dari pada waktu dan biaya yang harus dikeluarkan.
Profesor Zuhal, Guru Besar Teknik Elektro ITB dalam bukunya yang berjudul “Knowledge & Innovation” menyoroti India. Di tengah kemiskinan yang membelit, India memiliki man-power bidang IT terbanyak di dunia. Di kota Bangalore di distrik Punjab, ada 150-an ribu profesional IT, mengalahkan Silicon Valey di AS yang hanya sekitar 120-an ribu orang. Hal tersebut diawali ketika General Electric (perusahaan Amerika) mendirikan pusat research and development megah seharga 80 juta dolar AS yang mempekerjakan 1.600 peneliti, nyaris semuanya orang India. Jadilah India, khususnya Bangalore menjadi lokasi favorit bagi Multi National Company untuk melakukan outsourcing. Proses panjang yang dilalui India ini telah dapat kita saksikan hasilnya sekarang. Produk software, elektronik dan kendaran bermotor asal negara produsen industri film terbesar di dunia ini cukup mampu bersaing dengan para pendahulunya. Ini berkat upaya keras untuk meningkatkan SDM yang ada. Bagaimana dengan Indonesia ?
Tak dapat dipungkiri bahwa salah satu penyebab krusial kondisi Indonesia masih terpuruk dibanding negara di Eropa, Amerika maupun Asia Timur adalah karena masih lemahnya sistem pendidikan di Indonesia. Bahkan sampai saat ini pun Indonesia dirasakan seperti masih meraba-raba sistem yang baik yang dapat diterapkan. Pendidikan mengenai pentingnya IPTEK bagi kemajuan bangsa perlu mendapatkan porsi serius dan konsisten. Universitas sebagai produsen kowledge harus terus meningkatkan upaya untuk mengembangkan riset yang menghasilkan teknologi. Akan lebih baik jika riset yang dilakukan merupakan permintaan pasar, bukan hanya kepentingan akademisi semata.
Sebagai generasi muda, kitalah yang harus mampu menjawab dan menghadapi tantangan tersebut. Berjuang dengan yang kita mampu untuk dapat menggali ilmu pengetahuan dan menerapkannya menjadi sebuah teknologi. Generasi muda yang memilki modal utama agama, etika dan moral yang kuat, jika dilengkapi dengan IPTEK yang unggul akan menghasilkan produk teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat manusia. Ilmu pengetahuan yang tidak dibarengi dengan nilai spiritualitas beragama serta etika dan moral dapat menjadi bom atom yang sewaktu-waktu mengancam dan menghambat kemajuan bangsa. Pengembangan IPTEK yang dicetuskan oleh B.J. Habibie, yang telah melahirkan IPTN, BPPT, LAPAN, LIPI, BPIS, PT. PAL, serta PUSPITEK ini perlu dipertahankankan dan di geliatkan kembali. Jika bukan kita, siapa yang akan melanjutkan ?