Rukyatul hilal merupakan perintah Allah dan Rasul untuk menentukan bulan baru. Selama satu dekade, akhirnya LDII memiliki tim rukyatul hilal di setiap provinsi.
Awan membungkus senja di atas cakrawala Pantai Pelabuhan Ratu, dan hanya meninggalkan warna oranye tipis. Tim Rukyatul Hilal LDII bersama puluhan orang pemantau hilal lainnya, memenuhi Pusat Observasi Bulan (POB) Cibeas, Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat, pada Minggu (10/3).
Mereka mengarahkan moncong-moncong lensa teropong bintang ke arah matahari terbenam. Berharap melihat selarik tipis bulan sabit muda atau hilal. Sebagian lain terlihat sibuk mencatat. Rupanya awan tebal menguapkan harapan mereka.
Salah satu Anggota Tim Rukyatul Hilal DPP LDII, Nanang Ahmad mengatakan sulit melihat hilal pada hari itu. Terlebih, menurut prediksi hisab dan kondisi astronomi, kemungkinan posisi hilal terlihat sangatlah kecil. Hal ini dipengaruhi oleh hubungan rotasi matahari dengan bumi.
“Terutama saat posisi bulan saat matahari tenggelam menurut prediksi hisab, ketinggian bulan hanya berkisar nol koma sekian derajat, sehingga menurut prediksi kemunculan hilal akan sangat kecil terlihat,” ungkapnya.
Sementara, cuaca menjadi variabel kedua yang mempengaruhi pemantauan hilal. Pusat Observasi Bulan (POB) Cibeas Sukabumi adalah salah satu dari 73 titik pemantauan hilal oleh Tim Rukyatul Hilal LDII yang tersebar di seluruh Indonesia, “Kondisinya cerah berawan, dan berkabut memenuhi arah tenggelamnya matahari, sehingga kemungkinan ketika matahari mulai terbenam akan lebih sulit melihat hilal,” ujarnya.
Meski sejumlah lembaga riset seperti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sudah memprediksi tanggal jatuhnya awal bulan Ramadan, namun LDII memandang pemantauan hilal tetap perlu dilakukan untuk memastikan hasil perhitungan metode hisab.
“Ini sebagai ikhtiar kita untuk memastikan apakah benar-benar bulan atau hilal tidak terlihat atau tidak memenuhi syarat pada hari ini, sebagaimana perintah Allah dalam Al-Qur’an, dan Al-Hadits untuk melakukan rukyatul hilal,” lanjutnya.
Setiap awal bulan Ramadan maupun Syawal, kegiatan merukyat hilal menjadi perhatian umat Islam untuk memastikan kapan awal memulai dan mengakhiri ibadah puasa. Itulah sebabnya tradisi melihat hilal dan menghitungnya berdasarkan ilmu falak atau astronomi menjadi perhatian khusus bagi DPP LDII dalam menentukan awal Bulan Hijriyah.
Bahkan, dua minggu sebelumnya, pada Selasa (27/2) Departemen Pendidikan Keagamaan dan Dakwah (PKD) DPP LDII menyelenggarakan latihan teori dan praktik melihat hilal. Pelatihan tersebut diikuti anggota Tim Rukyatul Hilal LDII di seluruh Indonesia.
Ketua Departemen PKD DPP LDII, KH Aceng Karimullah menyampaikan pelatihan itu rutin diselenggarakan LDII untuk mempersiapkan tim yang terlatih untuk mewakili DPW dan DPD LDII dari seluruh Indonesia, “Dengan diselenggarakannya pelatihan ini, diharapkan setiap provinsi akan memiliki perwakilan tim hisab rukyat, yang dapat memberikan laporan yang akurat terkait penglihatan hilal,” harap KH Aceng.
Tim Rukyatul Hilal DPP LDII yang mulai terbentuk sejak 2012, pada awalnya hanya memiliki modal 5 unit teropong, lalu mengalami loncatan 12 tahun kemudian. Alat yang lebih lengkap, canggih, dan tim yang tersebar di seluruh Indonesia.
DPP LDII berharap bahwa tim hisab rukyat yang terbentuk di setiap provinsi di Indonesia bisa berkolaborasi dengan lembaga atau ormas lainnya. “Kami optimis bahwa angkatan ketiga ini akan mencapai semua provinsi, dan kami berharap setiap tim dapat berkontribusi dalam pengembangan ilmu ini di tingkat lokal,” tambahnya.
sementara itu, anggota Departemen PKD DPP LDII, Wilnan Fatahillah, menjelaskan mengenai tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) tim rukyatul hilal. Menurutnya, Tim Rukyatul Hilal DPP LDII terdiri dari pengurus DPP yang telah mendapatkan pelatihan hisab-rukyat serta pengurus atau guru pondok pesantren yang telah mengikuti pelatihan serupa, “Mereka menjadi ujung tombak dalam melakukan pengamatan dan perhitungan posisi hilal,” ujar Wilnan.
Salah satu tugas utama tim ini adalah membuat perhitungan jatuhnya awal Ramadan, Syawwal, dan Dzuhijjah, serta melaporkannya kepada Ketua Umum dan Dewan Penasihat Pusat DPP LDII, “Mereka juga bertanggung jawab melaksanakan pengamatan hilal di lokasi yang telah ditentukan, baik secara mandiri maupun bersama pemerintah dan organisasi Islam lainnya, sebagai konfirmasi atas hisab yang telah dilakukan.
Mereka juga bertugas untuk menggali lebih dalam pengetahuan tentang ilmu falak melalui pelatihan hisab-rukyat serta membuat laporan kegiatan dan memonitor tim rukyat hilal di wilayah DPD Kota/Kabupaten.
Usai mengikuti pelatihan, mereka kemudian menyebar melakukan rukyatul hilal di 73 titik pemantauan di seluruh Indonesia. Dengan jeli, mereka mengintip angkasa dari balik lubang teleskop dan binocular. Hasil pemantauan tersebut kemudian dilaporkan sebagai bahan rujukan penentuan awal Ramadan yang akan dibahas pada sidang isbat.
Sidang Isbat Penetapan 1 Ramadan
Kementerian Agama (Kemenag) menerima laporan rukyatul hilal di 134 titik berbagai daerah untuk menentukan awal Ramadan 2024. Hasil liputan atau observasi terhadap hilal di beberapa titik itu, menjadi dasar dalam musyawarah sidang isbat.
Sidang yang diikuti oleh perwakilan ormas Islam, perwakilan duta besar negara sahabat, serta jajaran Kemenag ini diawali dengan seminar pemaparan posisi hilal yang disampaikan anggota Tim Hisab Rukyat Kemenag H. Cecep Nurwendaya.
Dalam paparannya, ia mengungkapkan, secara astronomis, posisi hilal di Indonesia pada saat maghrib di tanggal 10 Maret 2024 atau 29 Sya’ban 1445 H masih berada di bawah kriteria baru MABIMS (Menteri Agama Brunei Indonesia Malaysia Singapura), yang ditetapkan pada 2021, sehingga kemungkinan tidak dapat teramati.
“Di seluruh wilayah Indonesia, posisi hilal pada 29 Sya’ban 1445 H sudah berada di atas ufuk. Namun demikian, masih berada di bawah kriteria imkanur rukyat MABIMS,” ungkap Cecep
Kriteria baru MABIMS menetapkan bahwa secara astronomis, hilal dapat teramati jika bulan memiliki ketinggian minimal 3 derajat dengan sudut elongasi minimal 6,4 derajat. Sementara menurut Cecep, pada saat Magrib 10 Maret 2024, tinggi hilal di seluruh wilayah Indonesia berada antara: – 0° 20‘ 01“ (-0,33°) s.d. 0° 50‘ 01“ (0,83°) dan elongasi antara: 2° 15‘ 53“ (2,26°) s.d. 2° 35‘ 15“ (2,59°).
“Bila melihat angka tersebut, hilal menjelang awal Ramadan 1445 H pada hari rukyat ini secara teoritis dapat diprediksi tidak akan terukyat, karena posisinya berada di bawah kriteria Imkan Rukyat tersebut,” jelas Cecep.
Menanggapi hal tersebut, Anggota Departemen PKD DPP LDII, Wilnan Fatahillah yang juga hadir pada sidang isbat di Kemenag mengungkapkan, berdasarkan laporan dari Tim Rukyatul LDII, posisi hilal pada saat itu sangat rendah. Artinya, dari sekujur nusantara pada sore itu, hilal akan sulit untuk diamati.
“Sebenarnya sebelum kesepakatan MABIMS yang menyatakan standar minimal posisi hilal akan terlihat, dari pengalaman kami saja jika hilal ada di ketingian dua derajat saja memang sudah sulit untuk dilihat. Apalagi ini di hanya ada di nol derajat, maka bisa dipastikan mustahil bisa melihat hilal,” ungkapnya.
Meski secara teoritis hilal dapat diprediksi tidak akan terukyat berdasarkan metode hisab, namun ia memandang rukyatul hilal tetap perlu dilakukan sebagai nilai ibadah.
“Kita menganut hisab dan rukyat, rukyat dilakukan untuk mengkonfrmasi hasil perhitungan atau hisab yang sudah dilakukan jauh-jauh hari. Sehingga baik hisab maupun rukyat itu kita laksanakan untuk menetapi perintah Al-Qur’an maupun Al-Hadits,” tutupnya. (FU/LINES)
Alhamdulillah..
Tim rukyatul hilal di LDII sudah ada…
Semoga barokah