Oleh Faizunal A. Abdillah, Pemerhati lingkungan – Warga LDII Kabupaten Tangerang
Allah berfirman:
كُلُّ نَفْسٍۢ ذَآئِقَةُ ٱلْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُم بِٱلشَّرِّ وَٱلْخَيْرِ فِتْنَةًۭ ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Tiap-tiap diri akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” [al-Anbiyâ’:35]
Sulit, sedih, susah orang ogah. Gampang, bahagia, gembira orang doyan. Walau keduanya sama, pada hakekatnya, penggemar kebahagiaan lebih banyak pengikutnya dibanding pengikut kesedihan. Orang banyak gagal mengelola riak kesedihan dibanding mengelola ombak kebahagiaan. Sebagian orang yang tertimpa kesediahan malah lari ke miras, narkoba dan tempat-tempat berbahaya lainnya sebagai pelampiasan. Kebanyakan manusia menganggap kesedihan itu belenggu kehidupan. Padahal, bagi jiwa yang tercerahkan, di dalamnya terselip hikmah indah sesuai ayat di atas; keburukan, kesedihan dan kebaikan serupa seorang ibu yang membimbing (nurturing mother) jiwa agar kembali pulang.
Para nabi dan orang suci melewati tangga-tangga kesedihan yang lama, dalam bahkan panjang. Demikian dalamnya kesedihan, ada yang berteriak histeris menunggu datangnya pertolongan. Sebagian bahkan ada yang kehilangan nyawa. Banyak juga yang berhasil melewatinya. Dan sebagaimana diketahui banyak orang, di balik kesedihan mendalam ini kemudian terbit cahaya indah kehidupan. Kesedihan tidak diniatkan untuk melukai jiwa. Kesedihan ibarat kepompong. Sakit, sedih memang, tapi begitu keluar dari kepompong, ulat menjadi kupu-kupu indah yang terbang ke sana ke mari menghiasi dunia ini. Lebih dari sekadar berkah, kesedihan bisa berubah wajah menjadi air suci yang membersihkan (dosa) sekaligus memurnikan (jiwa). Dalam bahasa Sang Guru Bijak, air mata kesedihan membasuh bersih luka jiwa. Kemudian dari jiwa yang bersih lahir bayi suci belas kasih.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم “ مَا يَزَالُ الْبَلاَءُ بِالْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنَةِ فِي نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَمَالِهِ حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ وَمَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ ” . قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Dari Abi Hurairah, dia berkata; Rasulullah ﷺ bersabda; “Bencana akan senantiasa menimpa orang iman lelaki dan orang iman perempuan pada dirinya, anaknya, dan hartanya sehingga ia berjumpa dengan Allâh dalam keadaan tidak ada kesalahan pun pada dirinya.” Abu Isa berkata; Ini hadits hasan shahih. (Rowahut-Tirmidzi)
Bayi suci belas kasih seperti inilah yang pernah lahir dari rahim kesedihan yang pernah dilalui oleh para nabi dan orang suci. Dan sebagaimana dicatat sejarah, bayi ini masih bercahaya ribuan tahun ke depan, melewati jarak dan waktu. Menerangi banyak sekali kegelapan jiwa di seantero dunia. Bayi belas kasih terakhir ini tidak lahir dari rahim kebahagiaan yang dicari kebanyakan orang, tapi ia lahir dari rahim kesedihan yang sangat ditakuti kebanyakan orang. Dan siapa saja yang tekun dan tulus di depan kesedihan, bukannya lari, maka hanya persoalan waktu, ia juga akan dibimbing pulang.
عَنْ جَدِّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا سَبَقَتْ لَهُ مِنَ اللَّهِ مَنْزِلَةٌ لَمْ يَبْلُغْهَا بِعَمَلِهِ ابتلاه الله فِي جسده أَفِي مَالِهِ أَوْ فِي وَلَدِهِ ثُمَّ صَبَّرَهُ عَلَى ذَلِكَ يُبَلِّغُهُ الْمَنْزِلَةَ الَّتِي سَبَقَتْ لَهُ مِنَ الله» . رَوَاهُ َأَبُو دَاوُد
Dari Jaddih dia berkata; Rasulullah ﷺ bersabda; “Sesungguhnya seorang hamba Jika mendahului suatu kedudukan mulia dari Allah baginya di mana ia belum pantas mencapainya dengan amalannya, maka Allah akan memberinya musibah pada dirinya atau hartanya atau anaknya, lalu Allah memberi kesabaran kepadanya, hingga kesabaran tersebut menghantarkannya kepada kedudukan yang diperuntukkan baginya dari Allah.” (Rowahu Abu Dawud)
Seorang sahabat yang sudah lama dibimbing kesedihan pernah menemukan pesan indah seperti ini: “menyadari sebuah kesalahan pada diri sendiri lebih bermakna, dibandingkan melihat ribuan kekeliruan pada orang lain.” Inilah jiwa indah yang sudah menemukan kembali jalan pulang. Kesedihan membimbing seseorang membuka dirinya selapis demi selapis. Menuntun selangkah demi selangkah. Dari waktu ke waktu. Menyapa setiap tetesan air mata. Mendekap setiap rasa sakit. Memerciki setiap luka jiwa. Hasilnya sangat mengagumkan.
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، عَنِ النَّبِيِّ ـ صلى الله عليه وسلم ـ قَالَ “ يَقُولُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ ابْنَ آدَمَ إِنْ صَبَرْتَ وَاحْتَسَبْتَ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الأُولَى لَمْ أَرْضَ لَكَ ثَوَابًا دُونَ الْجَنَّةِ
Dari Abi Umamah, dari Nabi ﷺ bersabda; berfirman Allah Yang Maha Suci; “Wahai anak Adam, jika engkau sabar dan mencari ganjaran pada saat awal musibah (yang menimpa), maka Aku tidak meridhai pahala bagimu selain surga.” (Rowahu Ibnu Majah)
Dan di puncak penemuan akan diri, muncul cahaya pencerahan indah. Ternyata tatkala diri ini berubah dunia juga berubah. Tatkala di dalam semuanya dalam tatanan, maka dunia juga dalam tatanan. Bagi jiwa-jiwa yang sudah menemukan jalan pulang dengan cara seperti ini akan mengalami transformasi besar dari ketakutan menuju cinta kasih. Hingga kita bisa mengerti cuplikan syair WS Rendra yang indah, yang menyapa: “Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja.” Karena semua, tak lain, jalan pulang kembali ke surga.
Nasehatnya bagus, sangat membimbing dan mendidik