Jauh sebelumnya, 13 tahun setelah wahyu pertama turun, Allah mengingatkan dengan sebuah pertanyaan yang menyergap, sebagaimana tertulis di dalam Surat Al-Hadid ayat 16. Allah berfirman; “Belumkah tiba saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk khusyuk hati mereka mematuhi peringatan dan pengajaran Allah serta mematuhi kebenaran (Al-Quran) yang diturunkan (kepada mereka)? Dan hendaklah mereka tidak menjadi seperti orang- orang yang diberikan al-Kitab sebelum mereka, setelah berlalu waktu yang panjang lantas membuat hati mereka keras, dan banyak di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Yang menarik kemudian (bagi kita sekarang) adalah pertanyaan kenapa ayat ini diturunkan padahal saat itu masih turun ayat – ayat Allah sebagai ilmu dan penguat keimanan? Jawabnya (lagi –lagi menurut saya) adalah memang ilmu dapat bertambah seiring ayat – ayat yang turun; satu ayat, dua ayat dan seterusnya, namun satu hal yang lekas hilang dari orang iman ialah rasa khusyu’nya kepada Allah SWT. Oleh karena itu di tengah – tengah perjalanan, Allah mengingatkannya agar tidak kebablasan. Di tengah kemenangan – kemenangan yang dibuka laksana membuka kran. Di tengah semakin kuat dan kokohnya orang iman. Allah menskak orang yang mengaku beriman dengan kekhusyu’an ini. Seiring dengan ayat ini, Qatadah ra meriwayatkan dari Syaddad bin Aus ra dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Sesungguhnya yang pertama kali diangkat dari manusia adalah khusyu’.” (HR. Thabrani dalam Musnad as-Syamiyin, 2570 . Disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya, 4 /323).
Ath Thabrani dan selainnya meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Yang pertama kali diangkat dari umatku adalah khusyu’, sehingga engkau tidak akan melihat seorang pun yang khusyu’”.
Sahabat Hudzaifah ra menambahkan : “Yang pertama kali hilang dari agama kalian adalah khusyu’, dan yang terakhir kali hilang dari agama kalian adalah shalat. Kadang-kadang seseorang yang shalat tidak ada kebaikannya, dan hampir-hampir engkau masuk masjid tanpa menjumpai di dalamnya seorang pun yang khusyu’”.
Bahkan kemudian sahabat Abu Darda’ ra menjelaskan, “Berlindungah kalian kepada Allah dari khusyu’nya orang munafiq!”. Maka ada orang yang bertanya, “Apakah yang dimaksud dengan khusyu’nya orang munafiq?”. Beliau menjawab, “Yaitu kamu melihat tubuh seseorang tampak khusyu’ namun sebenarnya hatinya tidak khusyu’.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya no. 190 dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman no 6713).
Berkaca dari dalil – dalil di atas, saya semakin terpojok. Jangankan khusyu selayaknya khusyu’nya orang iman, khusyu’ kayak orang munafik saja tidak. Di banyak tempat, di banyak waktu, saya belum melihat kekhusyu’an yang nyata pada diri ini. Ini jujur. Kecuali satu, ya satu kesempatan di banyak waktu, walau memalukan. Yaitu ketika ngantuk dan tertidur saat pengajian. Badan terlihat tenang, suasana tampak nyaman dan khusyu’ hadir melepas kepenatan. Sayangnya, hati pun terbuai dalam rimba kekhusyu’an yang tidak pada tempatnya. Ilmu padi, orang bilang. Sedangkan kalam diangkat karenanya. Lantas dimana kita mencari kekhusyu’an yang hilang itu?
Betapa bahagianya. Petunjuk itu ada di dalam Surat Al-Mu’minun. Allah SWT berfirman; “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman. Yaitu, orang-orang yang khusyu’ dalam sholat mereka” (Al Mu’minun : 1-2).
Ayat ini berkorelasi erat dengan ayat 2 Surah an-Anfal “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu (yang sempurna imannya) ialah mereka yang apabila disebut nama Allah maka gementarlah hati mereka; dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menjadikan mereka bertambah iman, dan kepada Tuhan mereka jualah mereka berserah.”
Namun saya lebih memilih ayat yang atas, ketimbang yang bawah. Menurut hemat saya, ayat 2 surat Al-Mu’minun lebih mencukupi, gampang dipraktikkan dan multi fungsi dibanding surat al-Anfal ayat 2. Tak lain karena sholat. Setiap muslim pasti sholat. Minimal 17 kali membaca kalam Allah dalam sholat wajibnya. Belum sholat sunnahnya. Nama dan ayat – ayat Allah selalu dibaca dan disebut setiap rekaatnya. Ada jalan, peluang dan sarana yang tersedia. Jadi mari kita mulai mengembalikan lagi kekhusyu’an dari sholat ini. Uukhkh,,,!!! Tapi sayang, walau sudah ketemu cloenya, bukan berarti tanpa kendala. Walau begitu harus dicoba. Kenapa tidak?
Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya seseorang selesai (dari shalat) dan tidaklah ditulis (pahala) baginya, kecuali sepersepuluh shalatnya, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya, sepertiganya, setengahnya”.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, bahwa Hasan bin ‘Athiah ra berkata: “Sesungguhnya ada dua orang berada dalam satu shalat, akan tetapi perbedaan keutamaan (pahala) antara keduanya bagaikan langit dan bumi”.
Ibnu ‘Abbas ra mengatakan, khusyu’ dalam sholat adalah merasa tenang dalam sholat dan merasa takut (kepada Allah) dalam sholatnya tersebut. (Tafsir Ibnu Katsir, Darut Thayibah, Asy Syamilah).
Syaikh As Sa’diy rahimahullahu menerangkan makna ‘khusyu’ di dalam sholat’, yaitu seseorang menghadirkan hati di hadapan Allah, merasakan dekatnya (ilmu dan pengawasan) Allah, yang dengan semua itu hati bisa merasa tenang, jiwa merasa damai. Hal ini akan terpancar dalam gerakan tubuh yang tenang, tidak lalai dalam sholat, menghayati setiap bacaan yang dibaca dalam sholatnya, dari awal takbir hingga akhir sholat. Semua ini dalam rangka tunduk dan taat kepada Allah. (Lihat Taisir Karimirrahman, Maktabah Ar Rusyd, hal. 547)
Shalat menjadi penyejuk hati, kenikmatan jiwa dan surga hati bagi seorang muslim di dunia ini. Seolah-olah ia senantiasa berada di dalam penjara dan kesempitan, sampai akhirnya masuk ke dalam shalat, sehingga baru bisa beristirahat dari beban dunia dengan shalat. Dia meninggalkan dunia dan kesenangannya di depan pintu masjid, dia meninggalkan di sana harta dunia dan kesibukannya untuk membuka lembaran yang dia sebutkan di dalam hatinya. Masuk masjid dengan hati yang penuh rasa takut karena mengagungkan Allah, mengharapkan pahalaNya.
Abu Bakar ash Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu, apabila sedang dalam keadaan shalat, seolah-olah ia seperti tongkat yang ditancapkan. Apabila mengeraskan bacaannya, isakan tangis menyesaki batang lehernya. Sedangkan ‘Umar al Faruq Radhiyallahu ‘anhu, apabila membaca, orang yang di belakangnya tidak bisa mendengar bacaannya karena tangisannya. Demikian juga ‘Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, apabila dalam keadaan shalat, seolah-olah ia seperti tongkat kayu. Sedangkan ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, apabila datang waktu shalat, bergetarlah ia dan berubah wajahnya. Tatkala ditanya, dia menjawab: “Sungguh sekarang ini adalah waktu amanah yang Allah tawarkan kepada langit, bumi dan gunung, mereka enggan untuk memikulnya dan takut dengan amanah ini, akan tetapi aku memikulnya”.
Kita belum sampai di sana. Kita berusaha ke arah sana. Di waktu yang baru, putaran kehidupan yang baru, ini starting point kita. Semua bisa dipelajari, ditekuni dan dihayati sesuai kemampuan kita. Kalau tak bisa, bertanya kepada ahlinya. Tak tahu, berguru. Tak kuat, harus bersatu. Tak ada kata menyerah. Tak ada putus asa. Yang ada berakit – rakit ke hulu. Sedikit demi sedikit, lama – lama menjadi bukit. Kekhusyu’an memang barang langka, di tengah jaman yang berkelindan. Harus dipilin satu per satu. Helai per helai. Dengan kesadaran penuh. Dengan kesabaran yang tangguh. Hingga berhasil meraihnya. Di sisi lain, di samping kanan saya, tatkala sholat berjamaah didirikan, selalu saja anak lelaki saya berpesan; “Yang cepat pak sholatnya!” Ketika bacaan agak panjang, selalu dia menyundul – nyundul ketiak saya mengisyaratkan jangan panjang – panjang. Jika ruku’ dan sujudnya agak lamaan dikit, dia protes dan berbisik; “Cepetan!” Tak peduli aturan dan syariatnya. Kadang malah mendahului sujud, sebagai bentuk protesnya. Nah, kita yang dewasa butuh lebih dari itu semua. Atau masih seperti itu?
Perkara khusyu’ merupakan perkara yang berat, membutuhkan usaha dan jerih – payah nyata. Setidaknya, seiring usaha meraih kembali hal itu jangan lupa untuk selalu berdoa dan memperbanyak doa berikut: Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hati yang tidak khusyu’, dari jiwa yang tidak pernah merasa puas (kenyang), dari ilmu yang tidak bermanfaat, dan dari doa yang tidak terkabul, dan aku berlindung kepadaMu dari demikian itu empat hal.” (Hadits riwayat Ahmad, Tirmidzi, dan An Nasa’i).
Mari terus mencoba, Kawan!
Oleh : Faizunal Abdillah