BAGI jamaah haji, tak lengkap rasanya pergi ke Makah dan Madinah tanpa menyempatkan diri berziarah ke Syuhada Uhud, makam para pejuang muslim di lembah Gunung Uhud, sekitar tujuh kilometer dari Masjid Nabawi Madinah. Di lembah Uhud inilah 70 sahabat gugur di tangan kaum kafir Makah dalam pertempuran paling brutal dalam sejarah Islam.
Ketika itu, 23 Maret 625, sekitar 1.000 tentara muslim yang langsung berada di bawah komando Rasulullah bergerak meninggalkan Madinah untuk menyongsong musuh di pinggiran kota.
Di tengah jalan, sekitar 300 orang di bawah pimpinan Abdullah bin Ubay –tentara dari suku Khazraj– menarik diri dari pasukan Muslim. Bin Ubay menolak ikut berperang. Maka tentara Nabi hanya tersisa 700-an orang. Mereka pun cuma memiliki dua ekor kuda, salah satunya dinaiki oleh Rasulullah. Ada 14 wanita yang menjadi penyuplai air minum bagi pasukan muslim, salah satunya adalah Fatimah binti Rasulullah.
Sementara kafir Makah membawa lebih dari 3.000 pasukan yang didukung 300 onta, 200 kuda, dan 700-an keledai. Pasukan kafir juga disokong langsung oleh istri, janda, dan wanita yang suaminya tewas di Perang Badar setahun sebelumnya. Perang Uhud adalah usaha balas dendam kafir Makah yang kalah menyedihkan dalam Perang Badar.
Ide menyongsong musuh di pinggiran kota ini lahir dari anak-anak muda yang tak suka membiarkan kaum kafir menginjak-injak kota Madinah. Namun usul tersebut ditentang oleh kelompok tua, terutama Abdullah bin Ubay. Tapi, Nabi memilih ide kaum muda.Oleh Nabi, disusunlah taktik perang model sayap di lembah bagian barat Uhud, gunung gersang dengan tinggi 1.077 meter di atas permukaan laut (mdpl). Rasulullah menempatkan pasukan dalam formasi memanjang. Sayap kanan berada di kaki Uhud, sayap kiri di kaki Bukit Ar-Rumat yang kira-kira bertinggi 120 mdpl.
Sayap kanan Muslim aman karena terlindung gunung. Namun sayap kiri amat rawan. Jika musuh menyerang dari balik Ar-Rumat, tentara Muslim bisa berantakan. Untuk melindungi titik lemah inilah Nabi kemudian menempatkan 51 pemanah di puncak bukit Ar-Rumat. Pasukan pemanah ini dipimpin oleh Abdullah bin Jubair.
Kepada para pemanah, Nabi dengan sangat tegas berpesan, ”Gunakan panahmu terhadap pasukan (berkuda) musuh. Jauhkan mereka dari kami. Selama kalian tetap (di tempat), bagian belakang kita aman. Jangan sekali-sekali kalian meninggalkan posisi ini. Jika kalian melihat kami menang, jangan bergabung. Jika kalian melihat kami kalah, jangan pernah turun untuk menolong kami.” (HR Bukhari)
Taktik ini membuat kaum kafir Makah kesulitan. Mereka tidak bisa memaksimalkan jumlah pasukan. Tentara pimpinan Abu Sufyan bin Harb itu tidak bisa melakukan manuver. Mereka, mau tak mau, harus bertempur di front terbuka yang sangat sempit, hanya seluas 820 m2. Dengan model ini, jumlah pasukan tak berpengaruh signifikan.
Padahal, pasukan Abu Sofwan ini dikomandani oleh tiga pejuang muda yang hebat; Khalid bin Walid memimpin sayap kanan, Ikrimah bin Abu Jahl di sektor kiri, dan Amr bin Aas menjadi panglima. Tiga anak muda ini kelak insyaf dan masuk Islam, kemudian menjadi panglima perang yang membawa pasukan gagah berani dan menaklukkan hampir seperempat dunia. Singkatnya, setelah dibuka dengan beberapa duel satu lawan satu, perang terbuka di Uhud pun dimulai. Pasukan muslim akhirnya menang. Kaum kafir Makah kocar-kacir dan lari lintang pukang.
Situasi itu menggoda pasukan pemanah di Bukit Ar-Rumat. Mereka turun, melupakan pesan Rasulullah, dan membiarkan puncak bukit kosong melompong karena ingin ikut berebut harta yang ditinggalkan pasukan kafir. Khalid bin Walid melihat kejadian itu. Dengan cepat, dia menyusun lagi kekuatan dan memerintahkan pasukannya memukul balik Muslim dari balik bukit yang kosong tersebut.
SYUHADA UHUD: Para jamaah haji mendaki Bukit Ar-Rumat, tempat pasukan pemanah bersembunyi, saat berziarah di kawasan Syuhada Uhud. |
Runtuhlah pasukan Nabi. Sebanyak 70 sahabat, termasuk paman Nabi, Hamzah bin Abdul Mutholib, gugur. Jantung Hamzah bahkan dibelah oleh istri Abu Sufyan, Hindun, dan dikunyah mentah-mentah. Nabi terluka parah di pipi, bibir, dan kaki. Oleh para sahabat, Nabi dibawa lari mendaki bukit dan bersembunyi di sebuah gua kecil di bekas aliran banjir.
Pasukan Abu Sufyan sempat ingin mengejar naik ke bukit, namun dihalangi oleh Umar bin Khattab. Mereka mengurunkan niat dan memilih kembali ke Makah seraya mengumumkan kemenangan.
Perang Uhud sangat penting bagi kaum muslim. Perang ini menegaskan pesan akan pentingnya ketaatan terhadap Allah dan Nabi. Berziarah ke Syuhada Uhud juga mengingatkan kaum muslim akan getirnya sejarah perjuangan saat Nabi dan para sahabat mati-matian membangun pondasi Islam.
“Saya senang bisa ziarah ke sini. Bisa melihat dari dekat makam para sahabat yang gugur dalam Perang Uhud. Tapi saya tidak menyangka kalau makamnya cuma kayak gitu,” kata Ny Tasrifatun, warga Semarang Tengah, yang datang bersama rombongan Kloter Solo 31.
Makam 70 sahabat ini memang hanya berupa tanah lapang, tanpa ada batu nisan atau penanda apa pun. Kompleks makam dipagar bumi setinggi sekitar tiga meter. Di depan makam, dipasang enam papan pengumuman dalam enam bahasa –termasuk Bahasa Indonesia– yang isinya sama; berziarahlah karena berziarah akan mengingatkan kita pada kematian, dan ingat pada kematian akan mengingatkan kita akan pentingnya beribadah.
Tak boleh berdoa di depan makam. Tapi, tetap saja banyak yang secara sembunyi-sembunyi melakukannya, terutama jamaah asal India dan Indonesia. (Dep. KIM DPP LDII, dari Madinah)