Suatu malam Ibrahim bin Adham bermimpi. Dia adalah tokoh sufi yang getol beribadah kepada Allah di zamannya. Dalam mimpinya itu, dia melihat malaikat sedang membawa catatan daftar orang-orang yang mencintai dan dicintai Allah. Namun, betapa kagetnya dia, ternyata namanya tidak tercantum dalam buku itu. Padahal, dengan sudah pol-polan menjalankan syariat ibadah siang dan malam, harapannya tak lain adalah agar dicintai Allah. Tetapi, kenapa tercantum saja tidak? Berarti ada yang salah dengan cara ibadahnya yang melulu berurusan dengan Allah selama ini. Maka dia pun mengubah haluannya. Lantas dia berkata, ’Kalau begitu saya akan lebih banyak bermu’amalah mencintai sesama manusia.”
Selang beberapa waktu dia menengok kembali catatan malaikat tentang daftar orang – orang yang mencintai dan dicintai Allah. Sekarang betapa bahagianya dia, ternyata namanya bertengger di urutan teratas orang-orang yang mencintai dan dicintai Allah.
Kisah di atas hanyalah sebuah cerita atau boleh dianggap lelucon saja, tapi kalau mau jujur masih banyak orang yang mengerjakan model ibadah sepertinya. Malahan tak jauh – jauh, mungkin kita juga termasuk di dalamnya. Beribadah senangnya hanya kepada Allah saja. Kadang kalau berurusan dengan makhlukNya, ogah. Bahkan, kalau boleh sekalian menolaknya. Bagaimana hal itu bisa? Simaklah riwayat Imam Muslim berikut ini.
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. Bersabda : “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla akan berfirman pada hari kiamat, ‘Hai anak Adam, Aku sakit, tetapi kamu tidak menjenguk-Ku.’ Orang itu bertanya, ‘Oh Tuhan, bagaimana aku harus menjengukMu sedangkan Engkau adalah Tuhan bagi alam semesta?’, Allah menjawab, ‘Apakah kamu tidak tahu bahwa hamba-Ku si Fulan sedang sakit, tetapi kamu tidak menjenguknya? Apakah kamu tidak tahu bahwa seandainya kamu menjenguknya pasti kamu dapati Aku di sisinya?’. ‘Hai anak Adam, Aku minta makan kepadamu, tetapi tidak kamu beri Aku makan.’ Orang itu menjawab, ‘Ya Rabbi , bagaimana aku memberi makan Engkau, sedangkan Engkau adalah Tuhan bagi alam semesta?’. Allah menjawab, ‘Apakah kamu tidak tahu bahwa hamba-Ku si Fulan meminta makan kepadamu, tetapi tidak kau beri makan ? Apakah kamu tidak tahu bahwa seandainya kamu beri makan dia niscaya kamu dapati hal itu di sisiKu ?’. ‘Wahai anak Adam, Aku minta minum kepadamu, tetapi tidak kamu beri minum.’ Orang itu bertanya, ‘Ya Tuhan, bagaimana aku memberi-Mu minum sedangkan Engkau Tuhan bagi alam semesta ?’. Allah menjawab, ‘Hamba-Ku si Fulan meminta minum kepadamu, tetapi tidak kamu beri minum. Apakah kamu tidak tahu bahwa seandainya kamu memberinya minum niscaya akan kamu dapati (balasannya) itu di sisi-Ku?”
Banyak hal bisa membuat kita salah arah dan tujuan dalam beribadah. Alih – alih memperoleh hasilnya, justru hal tak diharapkanlah yang terjadi. Salah satunya karena keterbatasan pemahaman. Banyak awan penghalang pemahaman yang bergelayut di langit pikiran, sehingga menutupi indahnya cakrawala kehidupan. Atau melihat dengan kaca jendela yang salah. Yang kotor, kusam dan berdebu, sehingga pemandangan yang indah pun jadi kusam terlihatnya. Bukan mata yang salah, pun pemandangan yang rusak. Tapi kaca jendela penglihatan kita yang perlu dibersihkan. Oleh karena itu, bagi pemerhati kehidupan, pencinta kehidupan, penekun kehidupan, mari kita sibak salah satu rahasia yang belum banyak dipahami oleh kalayak berkaitan dengan puasa beberapa bulan yang lalu. Mau ?
Semua orang tahu bahwa tujuan akhir orang berpuasa adalah membentuk pribadi yang bertaqwa. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam KitabNya: “Wahai orang – orang yang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana orang – orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang – orang yang bertaqwa.” (Al-Baqarah 183) Nah, yang belum banyak dipahami oleh khalayak dalam hal ini adalah pengertian taqwa secara spesifik kaitannya dengan puasa. Saya yakin semua akan menjawab yang disebut taqwa adalah menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Sebagian lagi ada yang menjawab ringkas saja; taqwa adalah takut. Pengertian ini benar. Tidak salah. Bahkan sesuai dengan penjelasan para imamu salaf seperti Imam Al-Hasan Al-Bashri yang menyatakan bahwa taqwa adalah takut dan menghindari apa yang diharamkan Allah, dan menunaikan apa-apa yang diwajibkan oleh Allah. Lebih jauh gambaran taqwa bisa kita simak dari dialog Sahabat Rasulullah SAW, Umar Bin Khaththab dengan Ubay bin Ka’ab misalnya. Suatu ketika, Umar bin Khaththab bertanya kepada Ubay bin Ka’ab tentang apa itu taqwa. Ubay balik bertanya : “Apakah Anda tidak pernah berjalan di tempat yang penuh duri?” Umar menjawab : “Ya.” Ubay bertanya lagi : “Lalu Anda berbuat apa?” Umar menjawab: “Saya sangat hati-hati dan bersungguh-sungguh menyelamatkan diri dari duri itu.” Ubay menimpali : “Itulah (contoh) taqwa.”
Mari kita kembangkan sedikit pengertian mendasar ini. Agar terbuka cakrawala hati kita. Dan mampu memandang kehidupan ini dengan indahnya. Sebab di sisi lain ada sebuah definisi bagus yang belum banyak diketahui orang masalah taqwa ini dari Sahabat Rasulullah SAW yang lain yaitu Ali bin Abi Thalib ra. Suatu hari, seorang sahabat bertanya kepada Ali bin Abi Thalib ra. tentang apa itu taqwa. Beliau menjelaskan bahwa taqwa itu adalah takut (kepada Allah) yang diiringi rasa cinta, bukan takut karena adanya neraka atau siksa semata.
Tanpa menyalahkan dan menunjuk hidung orang lain, mari tambahkan pengertian taqwa kita dengan sejumput rasa cinta ini. Insya Allah akan lebih manis, lebih indah dan lebih sempurna. Sebagai padanannya coba kita simak kembali hadits riwayat Imam al-Bukhary yang menyebut tentang masalah manisnya iman. Di situ dengan jelas bahwa Rasulullah SAW menyebut kata cinta lebih banyak ketimbang takut/benci. Nabi SAW menyebutkan cinta kepada Allah, Rasul dan mu’min, bukan dengan kata takut. Dari Anas ra., dari Nabi SAW beliau bersabda, “Ada tiga perkara barangsiapa tiga hal itu ada pada dirinya, maka ia menjumpai manisnya iman, yaitu jika Allah dan RasulNya lebih dicintainya ketimbang selain keduanya, dan jika cinta kepada seseorang, dimana tidak mencintainya kecuali karena Allah dan jika benci kembali kepada kekafiran sebagaimana benci apabila dilempar ke dalam api neraka.” (Rowahu al-Bukhary Juz I Bab Halawatul Iman)
Orang yang bertaqwa selalu rindu kepada Allah karena cinta, bukan takut. Dan cinta senantiasa menimbulkan kerinduan. Sementara itu takut lebih sering mendatangkan kebencian. Mari kita bandingkan. Bagaimana perasaan kita pada orang-orang yang kita cintai: pasangan, anak-anak, orang tua, dan sanak – saudara? Kalau kita berhari-hari tak bertemu dengan mereka, bagaimana rasanya? Rindu atau bencikah? Pasti rindu bukan? Sekarang bayangkan orang yang kita takuti (misalnya bos yang galak). Bagaimana rasanya kalau berhari-hari kita tak bertemu dengan bos tersebut? Senang bukan? Jadi jelas, perasaan cinta itu jauh lebih tinggi daripada perasaan takut. Dengan demikian kita bisa mereposisi taqwa menjadi cinta bukan sekedar takut saja.
Nah, secara khusus juga Allah memberikan isyarat lain dari ibadah puasa ini, sebagai penjelas ayat di atas. Apa itu? Yaitu janji Allah bahwa puasa itu untukKu – kata Allah dan Allah yang akan membalasnya. Tak ada amalan yang seistimewa seperti ini, kecuali hanya puasa. Allah ingin mengungkapkan bahwa taqwa bisa ditempuh dengan jalan berpuasa, dimana hamba berhubungan langsung dengan Tuhannya, semakin dekat, dekat dan dekat, sehingga semakin tumbuh rasa cinta. Maka tak ada salahnya, jika dikatakan taqwa terbangun karena cinta. Kita diwajibkan berpuasa supaya bertaqwa yang intinya adalah merasakan bahwa Tuhan itu dekat dan hadir dalam keseharian kita, sehingga tumbuh subur kedekatan itu dalam aroma cinta. Inilah esensi cinta yang tertinggi.
Mari kita dalami lagi dengan contoh yang lebih konkrit dalam masalah cinta ini. Bayangkan saat-saat Anda mencintai seseorang. Anda akan memulainya dengan level cinta yang pertama yaitu percaya. Anda percaya pada kekasih Anda. Anda percaya akan bahagia bila hidup bersamanya. Anda percaya ia tak akan mengkhianati Anda. Dalam konteks Ilahiah, inilah yang disebut iman.
Berbekal kepercayaan ini Anda kemudian memasuki cinta tahap kedua yaitu perbuatan atau tindakan nyata. Anda menikah dengan orang yang Anda cintai. Anda mengucapkan ijab kabul. Dalam agama, ini dapat dianalogikan dengan kalimat syahadat. Kemudian Anda melakukan tindakan-tindakan cinta kepada kekasih Anda. Ini bisa dianalogikan dengan melaksanakan Rukun Islam lainnya.
Cinta yang tertinggi setelah itu (tingkat ketiga) adalah merasakan kehadiran orang yang kita cintai dimana pun kita berada. Walaupun secara fisik Anda berjauhan, spirit Anda selalu bersama-sama. Ada suatu kontak batin yang mendalam yang selalu terjalin. Dengan demikian Anda tak akan mengkhianati pasangan Anda. Bukan karena takut kepadanya, melainkan karena kecintaan Anda yang begitu besar.
Maka secara spesifik kita bisa menyebut taqwa sebagai cinta. Taqwa adalah mencintai Allah dalam tingkatan yang tertinggi, yaitu dengan senantiasa merindukan keasyikan bercengkerama denganNya. Taqwa berarti merasakan kehadiran Allah dalam setiap langkah kita. Allah sungguh dekat. Merasakan bahwa Allah selalu bersama kita sehingga menghindarkan kita dari rasa takut dan cemas, serta akan menumbuhkan rasa percaya diri dan integritas yang tinggi.
Kita semua ingin menjadi manusia bertaqwa. Lewat puasa, lewat sholat sunnahnya, lewat baca qurannya dan mempeng ibadah – ibadah lainnya. Walau begitu, kita jangan sampai terbuai, asyik bercengkerama dengan Allah Yang Esa saja. Sebab cinta yang sebenarnya haruslah diwujudkan dengan memberikan sesuatu kepada orang lain di sekitar kita, khususnya dalam bentuk akhlakul karimah. Lihatlah sabda Rasulullah SAW; “Sungguh seorang mukmin karena akhlak baiknya, akan mendapatkan derajat orang yang puasa dan shalat malam.” (Shahih Sunan Abu Dawud dari riwayat ‘Aisyah).
Kepedulian kita kepada sesama, perhatian kita kepada lingkungan sekitar, cinta kasih kita kepada sekililing – yang terangkum dalam akhlak yang baik, mampu mendahului kegigihan hamba dalam berpuasa dan bangun malam. Dalam hal ini seorang bijak pernah mengingatkan; ”Yang penting bukan seberapa besar yang kita perbuat, melainkan seberapa besar cinta kasih yang kita sertakan dalam perbuatan kita.” Oleh karena itu, setelah tahu kaitan taqwa dengan cinta ini, maka selanjutnya jangan sampai salah dalam mencinta. Mencinta di jalur Allah saja (Hablum minallah) bisa celaka. Memilih mencinta di jalan – jalan manusia dan alam sekitarnya (hablum minannas) juga berbahaya. Cermati gerak – langkah kita. Hablum minallah penting, tapi hablum minannas jangan sampai tertinggal begitu saja. Teruslah berbudi luhur dalam mengawal keimanan kita.
Oleh : Faizunal Abdillah