Cianjur (25/11). Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Minhaajurroosyidiin (STAIMI), Pondok Gede, Jakarta Timur bersama civitas akademika STAIMI mengunjungi Kelompok Tani Pekebun di daerah Puncak Kahayangan, Desa Sukanagalih, Cianjur. Rombongan sebanyak 170 orang itu melakukan kegiatan pengabdian pada masyarakat (PPM) selama tiga hari dua malam (22-25/11).
Kegiatan PPM ini merupakan yang pertama kali dilakukan oleh STAIMI sejak berdiri September 2017 lalu. Dalam sambutan pembukaan, Ketua STAIMI Prof. DR. IR. H. Sudarsono mengajak mahasiswa meninjau lapangan dan belajar darinya. Untuk itu mahasiswa dituntut berpartisipasi aktif dalam kegiatan PPM ini.
“Dari kegiatan PPM ini diharapkan agar ada manfaat yang bisa dijadikan nilai tambah. Saya harap mahasiswa dapat mengambil apa-apa yang bisa dipelajari dan menjadikannya sebagai nilai tambah. Selain secara fisik kita menjadi lebih segar, secara kompetensi kita mendapat nilai tambah melalui pembelajaran langsung di lapangan,” ujar Ketua STAIMI.
Kelompok Tani Pekebun yang dikunjungi mahasiswa STAIMI, merupakan daerah pertanaman Kopi dan Kakao, dibawah pengarahan Arif Iswanto – yang juga berprofesi sebagai konsultan. Arif Iswanto mengarahkan petani pekebun untuk mengelola kebunnya dengan pendekatan ekologi, yaitu berdasarkan apa yang dicontohkan oleh alam.
“Awalnya sejak tahun 2006 daerah puncak kayangan ini merupakan daerah yang terlantar. Saya arahkan pada para pekebun untuk menghidupkan tanaman dan vegetasi hutan agar ekosistem hutan bisa hidup. Barulah pada tahun 2016 kita menanam tanaman produktif. Petani pekebun di sini tidak menggunakan pupuk kimia. Semua tanaman dipenuhi kebutuhan haranya secara organik,” ujar Iswanto.
Arif Iswanto menjelaskan, di perkebunan itu ada tanaman yang bertugas sebagai tanaman budidaya atau tanaman produktif yang berupa kopi dan kakao, tanaman penaung, tanaman pelindung, tanaman penghasil buah-buahan, dan tanaman penghasil kayu. Saat ini kopi Elang Kahayangan telah mulai menjadi produk unggulan Petani Pekebun di Puncak Kahayangan.
“Di sini disebut kopi Elang Kahayangan, karena dulu burung elang sempat menghilang dari daerah ini. Setelah dihutankan kembali dengan tanaman penaung, akhir-akhir ini kita bisa menjumpai kembali keberadaan burung elang di daerah Puncak Kahayangan. Jadilah kopi yang diproduksi di daerah ini kita beri merek kopi Puncak Kahayangan. Tanaman kopi yang ditanam pekebun di sini sudah mulai berbuah sejak umur 8 bulan karena berasal dari bibit yang diperbanyak secara vegetatif. Pada umur 14 bulan sejak ditanam, kopi sudah bisa dipanen yang pertama kali,” Iswanto menambahkan.
Di lokasi kebun yang ketinggiannya mencapai 900 – 1200 meter diatas permukaan laut itu, mahasiswa STAIMI belajar banyak hal soal kopi. Mulai dari proses penanaman bibit pohon kopi, membuat pupuk organik, memanen buah kopi, hingga memproses biji kopi sampai siap di konsumsi.
Mahasiswa STAIMI juga kagum soal pengelolaan kebun di daerah ini. Berbagai sarana dan prasarana produksi yang diperlukan telah dibuat dan dirakit sendiri oleh para petani pekebun, meskipun pada awalnya mereka belajar dari ahlinya atau melakukan riset sendiri di Internet. Beberapa diantara petani pekebun ternyata ada yang lulusan sarjana pertanian.
“Kehadiran kebun ini memberikan dampak positif bagi warga karena dikelola dengan amanah. Bahkan produk kopi kahayangan sudah mulai diakui keberadaannya. Untuk kalian mahasiswa STAIMI, jangan lah malu dengan profesi yang anda miliki, jadilah sarjana yang mubaligh dan mubaligh yang sarjana,” ujar Arif Iswanto.
Di akhir pertemuan, Prof. Sudarsono dan Arif Iswanto memotivasi mahasiswa STAIMI untuk membawa perubahan di lingkungan Ponpes Minhajurrosyidiin tempat kampus mereka berada. Mereka ditantang untuk membuat pupuk kompos dari sisa-sisa sampah organik yang dihasilkan Ponpes Minhajurrosyidiin. Setelah memperoleh pupuk kompos, kemudian mereka ditantang untuk mengembangkan pertanian perkotaan di lingkungan Ponpes untuk memenuhi sebagian dari kebutuhan sayuran bagi penghuni Pondok Pesantren Minhaajurroosyidiin. Semoga berhasil (khoir/rouf/Lines).