Oleh: Faizunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.
Di tengah dinamika gelombang kehidupan, konon tercatat dalam sejarah bahwa sering marah-marah alias bludrek, bukanlah pertanda baik. Karena marah dapat menjerumuskan kita ke jurang stres dan kerusakan lainnya. Para dokter bahkan bilang, bludrek – berbahaya bagi kesehatan. Begitu juga cerita kebanyakan orang. Punya orang tua, punya atasan, punya teman yang sering marah-marah tidak karuan, tentu tidak enak selain juga menyebalkan. Demikianlah dunia.
Ada warisan tua yang menyebutkan marah adalah manusiawi. Karena marah adalah bagian dari kehidupan setiap manusia. Tidak ada manusia yang tak memiliki sifat amarah, berapapun kadarnya. Hanya, seberapa jauh, setiap orang memiliki kemampuan menahan dan mengendalikan sifat amarah dalam dirinya, itulah ukuran yang harus diperhatikan dalam proses kepemimpinan yang baik. Imam al-Ghazali dalam Ihya ’Ulumuddin mengatakan, “Barangsiapa tidak marah, maka ia lemah dari melatih diri. Yang baik adalah mereka yang marah namun bisa menahan dirinya.”
Stanley Bing, penulis buku Sun Tzu Was a Sissy mengatakan bahwa marah itu sangat diperlukan dalam kepemimpinan. Kalau seorang pemimpin marah, artinya dia terusik dan gusar oleh sesuatu hal. Sekaligus membuktikan bahwa ia eling atau sadar karena ada yang tidak beres dan perlu dikoreksi. Pemimpin yang tidak pernah marah sama dengan pemimpin acuh tak acuh. Itu menurut Bing.
Dalam suatu riwayat disampaikan teladan indah tentang marah. Berikut narasinya.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَفِي الْبَيْتِ قِرَامٌ فِيهِ صُوَرٌ، فَتَلَوَّنَ وَجْهُهُ، ثُمَّ تَنَاوَلَ السِّتْرَ فَهَتَكَهُ، وَقَالَتْ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُصَوِّرُونَ هَذِهِ الصُّوَرَ “. * رواه البخاري
Dari Aisyah RA. dia berkata; Nabi (ﷺ) masuk kepadaku ketika ada tirai bergambar (binatang) di dalam rumah. Wajahnya menjadi merah karena marah, dan kemudian dia memegang tirai dan merobeknya menjadi beberapa bagian. Nabi (ﷺ) berkata, “Orang-orang seperti melukis gambar-gambar ini akan menerima hukuman yang paling berat pada Hari Kebangkitan.” (HR Bukhari)
Nabi Muhammad SAW juga marah terhadap seorang sahabat yang menjadi imam shalat yang terlalu panjang bacaannya, dan beliau memerintahkan untuk meringankannya. Tetapi Rasulullah SAW tidak pernah marah karena pribadinya.
، عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ ، قَالَ : قَالَ رَجُلٌ : يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَا أَكَادُ أُدْرِكُ الصَّلَاةَ مِمَّا يُطَوِّلُ بِنَا فُلَانٌ، فَمَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَوْعِظَةٍ أَشَدَّ غَضَبًا مِنْ يَوْمِئِذٍ، فَقَالَ : ” أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّكُمْ مُنَفِّرُونَ، فَمَنْ صَلَّى بِالنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ ؛ فَإِنَّ فِيهِمُ الْمَرِيضَ، وَالضَّعِيفَ، وَذَا الْحَاجَةِ “. * رواه البخاري
Dari Abi Mas’ud al-Anshary, dia berkata; Suatu ketika seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah (ﷺ) “Ya Rasulullah (ﷺ)! Saya tidak akan menghadiri shalat (wajib) karena fulan (Imam) memperpanjang shalat ketika dia memimpin kami untuk itu. Perawi menambahkan: “Saya tidak pernah melihat Nabi (ﷺ) lebih marah dalam memberikan nasihat daripada dia pada hari itu. Nabi berkata, “Hai manusia! Beberapa dari kalian membuat yang lain tidak menyukai perbuatan baik (shalat). Jadi siapa pun yang memimpin orang-orang dalam shalat harus mempersingkatnya karena di antara mereka ada yang sakit, yang lemah dan yang mempunyai hajat (memiliki beberapa pekerjaan untuk dilakukan). (HR Bukhari)
Marah membangkitkan energi yang luar biasa. Pemimpin yang marah biasanya segera melakukan perubahan, peremajaan, dan perbaikan. Artinya, pemimpin marah memungkinkan terjadinya perubahan lebih cepat dan berarti. Gambarannya, seperti membuat seekor kuda berlari, dengan cemeti atau hadiah wortel. Menurut Stanley Bing, marah bisa menjadi cemeti yang kreatif. Membakar pendengarnya agar terus bersemangat dan mengadakan perubahan.
Barangkali salah satu pemimpin legendaris dalam hal marah di seputaran kita adalah Bang Ali, mantan Gubernur Jakarta. Pernah ada cerita, beliau sedang naik mobil, dan jalanan macet dan semrawut gara-gara ada tukang becak yang seenaknya mengendarai becaknya. Bang Ali tidak segan-segan turun dan memarahi tukang becak itu. Masih banyak lagi cerita tentang marahnya Bang Ali. Kenyataannya, di bawah kepemimpinan Bang Ali, Jakarta maju pesat. Jadi, teori Stanley Bing ada benarnya juga.
Tulisan ini tentu saja tidak mengajak untuk menjadi tukang marah-marah. Juga bukan pembenaran tindakan marah-marah dalam ranah kepemimpinan. Melainkan sebagai upaya mengasah kepekaan terhadap respon kita atas lingkungan sekitarnya. Marah sebagai bagian dari kepemimpinan memang antibudaya. Budaya kita mengajarkan agar selalu santun dan bersabar seperti memberi wortel. Namun, untuk menerobos sebuah kemapanan yang buntu dan berkarat, marah bisa saja menjadi antibudaya yang dibenarkan. Asal jangan asal marah. Marahlah dengan bijaksana.
Tiga hal yang perlu diperhatikan dalam strategi kepemimpinan adalah: 1) jika marah, kemarahannya tidak memasukkanya ke dalam perkara batil, 2) jika senang maka kesenangannya tidak mengeluarkan dari kebenaran dan 3) jika dia mampu dia tidak melakukan yang tidak semestinya. Maka wajib bagi setiap muslim menempatkan nafsu amarahnya terhadap apa yang dibolehkan oleh Allah, tidak melampaui batas terhadap apa yang dilarang sehingga nafsu amarahnya tidak mengarah kepada kemaksiatan, kemunafikan apalagi sampai kepada kekafiran. Kita harus melatih diri kita agar tidak menjadi orang yang mudah marah dan menahan marah kita agar kemarahan kita tidak berlebihan.
Dr. Stephen Diamond menulis di bukunya yang sangat kontroversial, Anger, Madness, and Daimonic: The Psychological Genesis of Violence, Evil, and Creativity, bahwa marah adalah emosi yang paling bermasalah. Namun ada korelasi sangat kuat antara marah dan kreativitas. Menurut dia, marah dan kreativitas sering bersumber pada hal yang sama. Hanya saja, marah memiliki potensi destruktif lebih besar. Orang-orang berbakat dan genius umumnya memiliki naluri sangat tajam untuk menyalurkan energi ini, agar tidak merusak dan mengubahnya menjadi sebuah upaya yang konstruktif.
Allah berfirman:
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS. Ali Imran :133-134).
Orang yang bertakwa adalah mampu menahan marah dengan tidak melampiaskan kemarahan walaupun sebenarnya ia mampu melakukannya. Kata al-Kazhimiin berarti penuh dan menutupnya dengan rapat, seperti wadah yang penuh dengan air, lalu ditutup rapat agar tidak tumpah. Ini mengisyaratkan bahwa perasaan marah, sakit hati, dan keinginan untuk menuntut balas masih ada, tapi perasaan itu tidak dituruti melainkan ditahan dan ditutup rapat agar tidak keluar perkataan dan tindakan yang tidak baik.
Dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah SAW bersabda:
لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ.
“Orang yang kuat itu bukanlah yang pandai bergulat, tetapi orang yang kuat ialah orang yang dapat mengendalikan nafsunya ketika marah.” (HR. Muslim)
Dari Mu’adz radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَظَمَ غَيْظاً وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنَفِّذهُ
دَعَأهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُؤُوْسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ مِنَ الْحُوْرِ مَا شَاءَ
“Barangsiapa menahan amarahnya padahal mampu meluapkannya, Allah akan memanggilnya di hadapan para makhluk pada hari Kiamat untuk memberinya pilihan bidadari yang ia inginkan.” (HR. Abu Daud)
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَوْصِنِيْ ، قَالَ : (( لَا تَغْضَبْ )). فَرَدَّدَ مِرَارًا ؛ قَالَ : (( لَا تَغْضَبْ )). رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ
Dari Abu Hurairah, bahwa seseorang berkata kepada Rasulullah, “Berwasiatlah kepadaku.” Beliau bersabda, “Jangan menjadi seorang pemarah”. Kemudian diulang-ulang beberapa kali. Dan beliau bersabda, “Janganlah menjadi orang pemarah.” (HR. Bukhari).
Jadi, marah adalah salah satu tool dalam kepemimpinan. Tapi layaknya alat bantu yang lain harus digunakan secara bijaksana. Jangan sering-sering dipakai. Salah-salah menggunakan bisa berbahaya, seperti ungkapan senjata makan tuan. Menahan dan mengubahnya ke bantuk energi positif, itu lebih baik. Oleh karena itu, berhati – hatilah, seperti menghindari apa yang ditulis oleh Aidh bin Abdullah Al-Qarni – penulis La Tahzan. Ia berpesan, “Berhati-hatilah terhadap keributan, karena ia sangat melelahkan. Jauhilah sikap mencerca dan mencela, karena ia sangat menyiksa.” Itulah marah. Untuk itu berdoalah selalu seperti doa Rasulullah SAW ini. Rasulullah SAW bersabda,
أَسْأَلُكَ كَلِمَةَ الْحَقِّ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَى.
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu berbicara yang benar ketika marah dan ridha.” (HR. Nasa’i).
Alhamdulillah, Alhamdulillahi jazza kallohu khoiro, kepada Ustazd Kusmono, atas Tausiahnya “Menahan Marah” detail dan mendalam jadi nasehat diri dan anak turun-temurun