Lines (02/08) – Salah satu syair (gandangan) dari para pendahulu – salafus shalih – tentang Quran terangkum dalam selarik bait yang begitu indah. Sering dilantunkan dengan merdu oleh para alim faqih, hingga hati bergetar. Dan saya pun mencoba meresapinya dengan pelan, namun tertatih.
Kurang lebih begini artinya; “Sebaik-baik teman duduk adalah Quran, yang tidak pernah membosankan ceritanya – Ketika mengulang-ulangnya, maka akan bertambah keindahannya.” Inilah benchmark – tolok ukur yang dituju.
Entah bagaimana pengalaman Anda, namun perjalanan kehidupan saya bertutur bahwa ada kesulitan besar untuk bisa mengikuti ajakan ajaran indah di atas. Ketika Quran dibaca dengan lagu tidak indah misalnya, langsung gelisah, seolah mengurangi keindahannya. Kesannya, nggak bagus. Baru kalau dibaca oleh qori atau yang berlagu syahdu, terasa bertambah lagi indahnya.
Padahal, keindahan Quran tidak tergantung dengan cengkok lagunya. Tetapi memang tata bahasa dan isinya yang sungguh indah. Belum sampai ke sana memang dan belum ketemu setelan kuping ini untuk menangkap frekuensi keindahannya kapan saja.
Jujur, bukan Quran yang menjadi teman duduk terbaik selama ini. Karena ia bukan pilihan utama. Bahkan dapat waktu yang gak banyak juga, kalau gak sisa. Masih didominasi hal lain, terutama gadget dan kotak bergambar. Ditambah pengetahuan bahasa arab yang terbatas, literasi yang sedikit, juga hafalan yang minim, lengkap sudah kendala untuk bisa serasi dengan syair di atas.
Apalagi menemukan keindahan yang sebenarnya. Dan ada satu alasan yang sering dipakai berlindung dalam kasus ini; kita memang bukan orang Arab. Jadi harap maklum.
Mungkin kita bisa berkaca dari kisah Walid bin Al-Mughirah, penyair sezaman dengan Nabi Muhammad SAW yang mengakui keindahan dan kebenaran Quran karena Walid mengerti, paham dan menemukan bahwa Quran bukan karya manusia.
Namun, karena Allah tidak berkenan memberi hidayah, justru menjadi musuh islam. Misal, ketika turun Q.S. Al-Qalam: 10-15; “Dan janganlah engkau patuhi setiap orang yang suka bersumpah dan suka menghina; suka mencela, yang kian ke mari menyebarkan fitnah, yang merintangi segala yang baik, yang melampaui batas dan banyak dosa yang bertabiat kasar, selain itu juga zanim, karena dia kaya dan banyak anak.”
Walid faham, menerima keindahan dan membenarkan ayat-ayat ini. Muhammad tidak pernah berdusta dan yang disampaikan benar adanya. Dari 10 sifat ini Walid mengakuinya, tapi ada satu sifat yang dia tidak mengerti bahkan baru tahu dari quran yaitu Az-zanim. Salah satu makna az-zaniim yaitu orang-orang yang bergabung dengan suatu kaum, sedang dia tidak memiliki ikatan keturunan dengan mereka.
Ada makna lain yaitu orang yang terkenal dan populer di kalangan masyarakat karena keburukan dan kejahatannya yang banyak. Walid pun naik pitam, bukan ke Muhammad tetapi ke keluarganya. Dengan menghunus pedang, dia mendatangi ibunya, “Muhammad menyifatiku dengan sepuluh sifat. Hanya sembilan sifat yang saya temukan dalam diriku. Yang satunya “zanim”, tidak aku ketahui maksudnya. Mohon jelaskan maknanya, atau pedang ini akan menebas lehermu.”
Ibunya pun menjelaskan; “Bapakmu kaya raya, namun lemah syahwat (impoten). Takut hartanya tidak ada yang warisi, saya pun terpaksa minta digauli oleh seorang penggembala. Engkau anak si penggembala itu.” Pengakuan ibunya yang jujur, membuka tabir jati diri Walid yang sebenarnya sebagai anak zina hingga turunnya ayat ini.
Walid tahu indahnya Quran, mengerti maknanya, tahu kebenarannya, tetapi tidak diberi kemampuan untuk melaksanakan isinya. Kita sebaliknya, sudah dimaknai saja masih belum faham, belum menemukan keindahan dan merasakannya, tetapi kita bisa menerimanya dan melaksanakan sepenuhnya. Luar biasa. Subhanallah! Kewalahan syukur.
Harapannya, maksud gandangan di atas menjadi pekerjaan rumah kita selanjutnya guna menyempurnakan nikmat dan memperbanyak pahala. Kenapa tidak? Jangan sampai nikmat itu dicabut karenanya. Mari menuju generasi qurani; yang bersahabat dan selalu berteman dengan Quran.
Faizunal A. Abdillah
Pemerhati lingkungan – Warga LDII Kabupaten Tangerang.