Jakarta (28/9). DPP LDII menghelat FDG bertema “Peningkatan Sektor Rill Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan Industri Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Syariah Indonesia”. Hadir 50 orang perwakilan dari pengusaha LDII, PNS, dan para pemerhati ekonomi. Acara ini merupakan rangkaian FGD yang dihelat sebelum Munas ke-8 LDII pada November 2016 mendatang.
FGD ini didorong keprihatinan ekonomi Indonesia yang terus mengalami tantangan. Sejak zaman penjajahan, struktur ekonomi pribumi Islam di Indonesia sengaja dirusak karena potensi kewirausahaannya kuat dan militan. Digantikan oleh kalangan pendatang seperti bangsa China, yang didesain penjajah untuk menjadi penyangga perekonomian kolonial. Itulah sebab ekonomi umat Islam Indonesia kurang berkembang.
Dalam FGD tersebut, Eddie M. Boekoesoe Wakil Bidang Kerjasama Industri dan Perdagangan Ikatan Alumni Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) mengajak seluruh umat untuk mengubah mindset. Meski pada masa lalu Islam berjaya, umat Islam harus bangun dari mimpi. Ekonomi umat harus berdaya di tengah terpuruknya ekonomi rill.
“Saya mengimbau kaum muslimin untuk menerapkan system ekonomi syariah dalam umat. Karena agama Islam merupakan agama modern bersandar kepada sunnatullah. Itu bisa diterapkan pada industri, karena Industri Indonesia masih primitif. Kemampuannya masih disandarkan pada kompetensi orang,” ujarnya.
Jika menilik perintah alquran. Banyak sekali perintah terhadap umat islam untuk meramut hartanya dengan baik. Allah telah memerintahkan manusia untuk menjadi khalifah meramut sumber daya di bumi. Bahkan sembilan dari 10 rezeki umat adalah dengan berdagang, di mana saat ini 60 juta masyarakat menengah ke bawah Indonesia bergantung pada UMKM sebagai sektor rill.
Eddie menjelaskan jika saat ini Industri Indonesia tidak modern dan kebanyakan masih bergerak di sektor hulu daripada sektor hilir. Bahkan generasi muda Islam saat ini jika memiliki modal cenderung membuka usaha hanya berkisar pada sektor pangan dan sandang.
Di bidang pangan, mereka sebagian besar membuka cafe dan restoran. Sementara di sektor sandang berupa busana muslim dan untuk sektor jasa lebih banyak kontrakan. Eddie meyayangkan mereka tidak ada pemikiran untuk melayani apa yang benar-benar dibutuhkan masyarakat.
“Indonesia membutuhkan banyak hal yang seharusnya bisa dibuat di dalam negeri. Contohnya garam untuk industri jarang ada yang membuat. Industri rumput laut, kita produksi dan ekspor mentahnya, namun produk barang jadinya kita impor. Ini adalah tantangan umat Islam,” ia menambahkan.
Jika ekonomi umat Islam berdaya, maka penerapan ekonomi syariah akan lebih mudah. Eddie mengakui bahwa UMKM harus dimodernisasi dari primitif menjadi modern. Caranya adalah merubah sistem yang bisa di copy paste dari sistem yang sudah maju.
“Salah satu langkah memodernisasi sistem adalah dengan memanfaatkan teknologi informasi dan memanfaatkan teknologi digital secara syariah. Kami melihat peranan internet sangat signifikan untuk berbisnis,” ujarnya.
Dari segi peraturan, UU No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal dan UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah sudah menjadi cikal bakal ekonomi syariah di Indonesia. Menurut M. Azrul Tanjung Ketua Komisi Pemberdayaan Ekonomi Umat MUI berharap agar ormas Islam bisa bekerja sama. Bila tidak siap, justru lembaga sertifikasi bisa dikuasai nonmuslim.
MUI siap menghadapi hal itu berkat adanya Dewan Syariah Nasional (DSN). Kedepan MUI akan membuat DSN perwakilan yang ada di setiap provinisi. Untuk itu MUI mengajak LDII dan ormas Islam membantu melakukan sertifikasi produk halal.
“Banyak BMT-BMT yang mengajukan sertifikasi namun belum terjamah oleh MUI. Dengan Bantuan ormas Islam kami berharap setiap lembaga mempunyai lembaga sertifikasi halal. Di bawah pengawasan MUI, kami akan melakukan sertifikasi kepada auditor DSN yang memberikan sertifikasi produk halal,” ujar M. Azrul.