Oleh Wilnan Fatahillah
Pemerintah tengah gencar mensosialisasikan program moderasi beragama. Program tersebut dianggap penting, karena sangat sesuai dengan kemajemukan bangsa Indonesia, terutama dari sisi agama. Keberagaman dalam beragama diyakini pemerintah dapat menjadi modal besar, dengan syarat perbedaan tersebut dikelola dengan baik. Terutama mencari titik-titik persamaan berbagai agama, dalam hal nilai-nilai kemanusiaan dan tujuan untuk membangun jiwa masyarakat.
Lantas, apakah sebenarnya moderasi beragama itu? Kata moderasi berasal dari Bahasa Latin “moderâtio”, yang berarti ke-sedang-an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Kata itu juga diartikan “penguasaan diri” (dari sikap sangat kelebihan dan kekurangan). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), moderasi, diartikan sebagai “pengurangan kekerasan” atau “ penghindaran keekstreman”. Dalam bahasa Arab, disebut al wasath yang artinya adalah “tengah”. Dari kata al wasath, muncullah kata yang tang asing yakni wasit – yang merupakan juru pengadil dalam sebuah pertandingan, yang tidak memihak kepada salah satu kelompok atau kontestan. Dari pengertian tersebut, maka moderasi beragama diartikan sebagai sebuah cara pandang, sikap dan perilaku yang selalu mengambil posisi di tengah-tengah, bertindak adil, berimbang, dan tidak ekstrem dalam beragama.
Dari sisi religius, mengambil jalan tengah dalam berbagai hal, termaktub di dalam kitab suci Al Quran, di antaranya surat Al Israa ayat 29. Firman Allah dalam surat itu, memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW agar tidak pelit dan juga tidak berlebihan dalam bersedekah. Begitu juga di dalam surat Al Furqon ayat 67 yang berisikan ciri hamba yang beriman adalah mereka yang tidak berlebihan dan tidak pelit dalam berinfaq. Demikian juga di dalam surat Al Qashas ayat 77 yang berisikan perintah kepada nabi Muhammad, agar mencari akhirat dan tidak melupakan dunia. Di dalam Al Quran juga terdapat kata mizan (Surat Ar Rahman ayat 7-9 dan surat Al Hadid ayat 25) yang menjelaskan timbangan keadilan dan perintah untuk menegakan keseimbangan dan keadilan.
Moderasi beragama menjadi hal yang sangat penting untuk terus dipelihara dan diperkuat, di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebab, fitrah negeri ini yang penuh dengan keberagaman. Indonesia memiliki keragaman budaya, ras, suku bangsa, kepercayaan, agama, dan bahasa yang disimbolkan dalam Bhineka Tunggal Ika. Menurut data BPS pada 2010, di Indonesia terdapat 1.128 suku bangsa. Sementara menurut pemetaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan antara tahun 1991 hingga 2017, di Indonesia terdapat 734 bahasa daerah. Papua adalah wilayah yang paling kaya bahasa yakni tumbuh 384 bahasa.
Indonesia juga memiliki beragam agama, antara lain Islam, Kristen Protestant, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu dan beragam keyakinan serta kepercayaan lainnya. Agama dan keyakinan itu mewarnai kehidupan rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Keragaman ini berimplikasi terhadao karakter masyarakat yang berbeda satu dengan yang lain. Namun demikian esensinya, menurut Al Quran, manusia yang beragam itu diciptakan untuk saling mengenal. Dengan saling mengenal itulah, maka tumbuhlah rasa saling memahami, menghargai, dan saling tolong menolong antar sesama. Hal ini dijelaskan dalam Al Quran, pada Surat Al-Hujurat ayat 13, yang berbunyi, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu”. Keragaman dan perbedaan ini menjadi karunia bagi bangsa Indonesia sekaligus menjadi ujian. Keberagaman itu mendorong bangsa ini, untuk terus bisa memahami perbedaan – khususnya dalam kehidupan beragama – agar tercipta harmoni.
Bila Islam mengakui keberagaman, demikian halnya dengan Pancasila dan UUD 1945. Pengakuan terhadap hak atas kebebasan beragama di Indonesia tercantum dalam Sila pertama Pancasila dan Pasal 29 ayat 2 UUD 1945, yang menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya. Dalam Sila pertama Pancasila, tersirat bahwa negara mengakui ketuhanan dan menegaskan pengakuan terhadap agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia. Dengan demikian, Indonesia bukanlah negara agama yang berorientasi kepada agama tertentu dan bukan juga negara sekuler yang memisahkan urusan agama dan negara. Negara tetap ikut serta atau campur tangan dalam hal memberikan pengakuan dan perlindungan kepada semua agama melalui aturan atau administrasi, yang ditetapkan pemerintah untuk kemashlahatan bersama.
Moderasi Islam secara global terjadi di beberapa negara seperti Yordania dengan mengeluarkan Amman Massages (Risâlat Ammân) pada tahun 2004. Lalu Mesir dan Al-Azhar melalui Al-Wasathiyyah dan Tashîh al-mafâhîm al-maglûthah (upaya meluruskan kesalahpahaman terhadap teks-teks keagamaan). Sedangkan Arab Saudi melalui Al-Amn al-Fikriy al-Wasathiyyah (membangun ketahanan pemikiran keagamaan). Kuwait melalui Al-Markaz al-Alamiy lil Wasathiyyah dan Abu Dhabi dengan Watsîqat al-Ukhuwwah al-Insâniyyah (Dokumen Persaudaraan Kemanusiaan) pada tahun 2019. Dokumen tersebut menyatakan: “Musuh bersama kita saat ini sesungguhnya adalah ekstremisme akut (fanatic extremism), hasrat saling memusnahkan (destruction), perang (war), intoleransi (intolerance), serta rasa benci (hateful attitudes) di antara sesama umat manusia, yang semuanya mengatasnamakan agama”.
Beberapa negara tersebut berupaya menghadirkan sebuah ajaran Islam yang penuh kedamaian dan menghargai keragaman, untuk mewujudkan perdamaian dunia yang lebih berkeadilan.
Pada level nasional, moderasi beragama mulai menyeruak pada Muktamar NU di Jombang pada tahun 2015 melalui Islam Nusantara. Lalu, Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar melalui Islam Berkemajuan dan Munas IX MUI di Surabaya, tahun 2015 yang mengusung Islam al-Wasathiyyah. Diskursus moderasi beragama juga muncul pada Konsultasi Tingkat Tinggi (KTT) Wasathiyyah Islam di Istana Kepresidenan Bogor tahun 2018. Kemudian Tahun Moderasi Beragama untuk Kebersamaan Umat yang dicanangkan oleh Kemenag pada 2019, hingga akhirnya masuk ke dalam RPJMN tahun 2020-2024. Dan akhirnya, moderasi beragama muncul sebagai salah satu dari tujuh agenda pembangunan nasional di antaranya adalah revolusi mental dan pembangunan kebudayaan.
Di antara isu strategis dalam revolusi mental dan pembangunan kebudayaan adalah masih lemahnya pemahaman dan pengamalan nilai agama yang moderat, inklusif, dan toleran untuk memperkuat kerukunan umat berragama. Oleh karena itu pemerintah mempunyai arah kebijakan untuk memperkuat moderasi beragama sebagai pondasi cara pandang, sikap dan praktek beragama jalan tengah untuk meneguhkan toleransi, kerukunan dan harmoni sosial. Alur pengarusutamaan moderasi beragama yang telah direncanakan oleh pemerintah, melalui kegiatan penguatan cara pandang, sikap dan praktek beragama jalan tengah. Upaya yang dilakukan di antaranya meliputi pengembangan penyiaran agama untuk perdamaian dan kemaslahatan umat, pengelolaaan rumah ibadah sebagai pusat syiar agama yang toleransi. Hal tersebut menjadi misi Kemeterian Agama pada 2020-2024, untuk memperkuat moderasi beragama dan kerukunan umat beragama.
Ust. Wilnan Fatahillah, S.H.I, M.M adalah anggota Pendidikan Agama dan Dakwah (PAD) DPP LDII dan pengasuh Pondok Pesantren Darul Huffadz Cibinong, Kabupaten Bogor