Oleh A Fajar Yulianto
Tanggal 28 Oktober 1928, tepatnya di Gedung Indonesische Clubgebouw Weltervreden (kini Gedung Sumpah Pemuda, Jalan Kramat 106 Jakarta Pusat) milik pemuda keturunan Tionghoa, Sie Kok Liong. Di gedung itu para putra dan putri dari berbagai suku bangsa di Hindia Belanda bersatu mengikrarkan diri menjadi: “Toempah darah jang satoe tanah air Indonesia, Berbangsa jang satoe bangsa Indonesia, dan berbahasa persatoean bahasa Indonesia”. Tekad tersebut menyuntikkan semangat persatuan untuk mendirikan sebuah bangsa dan negara yang merdeka.
Jika dihitung sejak Sumpah Pemuda diikrarkan telah berusia 92 tahun yang lalu. Saat itu dinamikanya berbeda dengan Indonesia modern. Hindia Belanda awal abad 20 adalah kawah yang bergolak. Peperangan yang dikobarkan para raja-raja di seluruh Nusantara, dapat dipadamkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Teknik adu domba dan mengikat perjanjian dengan para penguasa, ternyata menjadi cara ampuh pihak Belanda membungkam perlawanan para raja dan rakyat di nusantara.
Namun, keinginan merdeka sebagai bangsa dan cita-cita memiliki sebuah negara rupanya sulit diredam. Sehingga awal abad 20 merupakan penyemaian gerakan menuju bangsa yang merdeka. Gerakan perlawanan senjata berubah menjadi gerakan politik dengan pendirian organisasi kemasyarakatan (Ormas) dan partai politik yang duduk dalam Volksraad atau Dewan Rakyat — semacam dewan perwakilan rakyat Hindia Belanda. Dewan ini dibentuk pada tanggal 16 Desember 1916 oleh pemerintahan Hindia Belanda yang diprakarsai oleh Gubernur Jendral J.P. van Limburg Stirum bersama dengan Menteri Urusan Koloni Belanda Thomas Bastiaan Pleyte. Pada awal berdirinya, Dewan ini memiliki 38 anggota, 15 di antaranya adalah orang pribumi. Anggota lainnya adalah orang Belanda (Eropa) dan orang timur asing: Tionghoa, Arab dan India. Pada akhir tahun 1920-an mayoritas anggotanya adalah kaum pribumi.
Cita-cita Sumpah Pemuda terwujud setelah Proklamasi Indonesia pada 17 Agustus 1945. Kemerdekaan Hindia Belanda dan menjadi Indonesia, menjadikan dinamika perjuangan bangsa Indonesia berubah. Kini, bangsa Indonesia berjuang untuk mempertahankan keutuhan dan persatuan bangsa. Namun, persatuan dan kesatuan ini juga tak sepi gangguan. Salah satunya disebabkan Pemilu – yang kini menyatukan antara Pemilu Presiden dan Legislatif. Praktik-praktik kampanye hitam mampu mencabik-cabik rasa persatuan bangsa. Pola-pola ini mengingatkan politik devide et impera. Para aktor gaya politik kelam ini, memainkan isu-isu yang tak dapat dipertanggungjawabkan. Lalu mencari pembenaran dari parapengamat politik yang berpihak kepada mereka. Pemilu 2014 dan 2019, merupakan Pemilu yang nyaris mengantar bangsa Indonesia ke jurang perpecahan, karena kontestasi Pemilu hanya diikuti oleh dua pasang calon. Hal tersebut menyebabkan persaingan keras dan sengit, seolah-olah antara hidup dan mati.
Untungnya para kontestan segera sadar bahaya yang sudah tampak di depan mata. Prabowo dalam sebuah kesempatan, menyampaikan alasan filosofi penerimaannya menjadi pembantu Jokowi sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam). Prabowo menggambarkan bagaimana perang saudara terjadi di Jepang, yang membuat dua panglima perang (Shogun) yang saling berhadapan: Toyotomi Hideyosi dan Tokogawa Oyesu. Mereka berdua sama sangat kuat dan masing masing mempunyai pasukan 70 ribuan prajurit loyal dan militan, namun sesaat sebelum perang dimulai keduanya sepakat satu hari sebelum bertempur bertemu dan berbicara, Hideyosi berkata pada Oyesu:
“Yang mulia saya lihat pasukanmu besar dan kuat, saya lihat pemuda-pemuda di belakangmu juga pemuda-pemuda Jepang yang hebat, tapi tolong yang mulia lihat juga dan petimbangkan di belakang saya ada pasukan yang hebat pula dan di belakang saya juga ada pemuda-pemuda Jepang yang tangguh juga, Yang mulia besok kita akan perang, kita harus ada yang menang atau kalah, Anda menang atau saya yang menang. Coba pikirkan yang mulia, besok siapapun yang menang maka kita sama sama kehilangan pemuda-pemuda yang mati dan cidera cacat, hingga kita sama-sama kehilangan pemuda-pemuda Jepang yang tidak dapat melanjutkan perjuangan bangsa Nihon, banyak ibu-ibu dan ayah-ayah menangis kehilangan anak laki-laki yang dicintainya. Tidak ada lagi yang membantu panen dan tanam, maka mari pikirkan! Kita sama-sama tangguh, kita sama-sama kuat, tapi saya mengerti Anda cinta Jepang, saya juga cinta Jepang, anda cinta Nihon sayapun juga cinta Nihon kenapa kita tidak berpikir untuk kerja sama saja demi cinta bersama kita, Cinta Nihon”.
Sepenggal sejarah itu, konon mendorong Prabowo harus melepaskan egonya, dan harus berjiwa besar untuk kepentingan yang lebih besar, dan menerima sebagai pembantu Jokowi.
Di sisi lain Jokowi terbilang nekad dan berani mengangkat Probowo sang rival sejati dalam dua kali Pilpres menjadi Menhankam. Kebijakan Jokowi tersebut, dipandang sebagian pengamat politik sebagai sebuah blunder bagi pemerintahan Jokowi untuk lima tahun ke depan. Sebaliknya, langkah Jokowi juga banyak yang memuji, karena menunjukkan jiwa kenegarawanan — yang membuang jauh-jauh rasa ego dan dendam politik.
Secara norma Sumpah Pemuda bukan hanya diartikan “Toempah darah jang satoe tanah air Indonesia, Berbangsa jang satoe bangsa Indonesia, dan berbahasa persatoean bahasa Indonesia”, namun lebih dari itu. Sumpah Pemuda merupakan sebuah konsep dasar inspirasi yang membentuk karakter adanya rasa sebagai satu bangsa, dari Sabang sampai Merauke. Rasa sebagai satu bangsa ini pada akhirnya menghilangkan sekat kesukuan, agama, dan ras. Kesadaran itu dibutuhkan untuk menata negara dan membangun demokrasi. Setiap aktor yang menjalankan pemerintahan haruslah saling sepakat melepaskan egosentris kepentingan apapun demi persatuan dan keutuhan NKRI. Persatuan dan kesatuan bangsa hanya bisa direkonstruksi dengan prilaku dasar karakter bangsa yang mengedepankan rukun, kompak, kerjasama yang baik dan berbudi luhur serta bergotong royong. Tidak ada saling menyalahkan dalam berbagai kondisi bangsa. Apalagi saling memfitnah dan menyebar berita hoax.