Oleh: Dewi Ilma Antawati, S.Psi, M.Psi, Psi – Dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surabaya
Pandemik Covid-19 menuntut kita untuk mengurangi aktivitas di luar rumah. Sebagian pekerja diminta bekerja dari rumah, dan melakukan pekerjaan secara daring. Yang harus bekerja di luar rumah pun jam kerjanya dikurangi. Anak sekolah masih belajar di rumah. Kalaupun masuk sekolah, kemungkinan mereka akan dibatasi masuk sekolah hanya satu atau dua hari dalam seminggu. Sisanya tetap, belajar dari rumah. Begitupun yang mahasiswa, kuliahnya masih diselenggarakan secara daring. Artinya, banyak waktu untuk berkumpul bersama keluarga. Tapi ketika waktunya makan, apakah anda makan bersama keluarga? Atau sekedar ambil makan di meja makan, lalu masuk ruangan masing-masing, kembali ke dunia maya dengan aktivitas daring masing-masing?
Saya melakukan wawancara pada beberapa keluarga besar yang tinggal bersama, temanya tentang pengasuhan anak. Salah satu pertanyaannya adalah tentang aktivitas bersama yang dilakukan keluarga. Mark Ethan Feinberg, seorang peneliti di bidang psikologi keluarga, menyebutnya sebagai joint family management. Istilah ini digunakan untuk menjelaskan aktivitas bersama yang dilakukan keluarga, dan menjadi penanda baik atau buruknya kualitas kerjasama pengasuhan alias co-parenting yang dilakukan orangtua. Sementara co-parenting yang baik, atau disebut juga supportive co-parenting, berdampak pada perkembangan anak yang positif dan keberfungsian keluarga.
Feinberg mengatakan bahwa keluarga yang kualitas co-parenting-nya baik, salah satu indikatornya adalah memiliki rutinitas bersama-sama, seperti bermain bersama, berbincang-bincang, termasuk makan bersama.
Namun sayangnya, dari keluarga-keluarga yang saya wawancarai, hampir semua mengatakan, tidak ada aktivitas rutin yang sengaja dilakukan bersama keluarga, termasuk makan bersama. Mereka hanya berkumpul jika ada perayaan khusus, seperti salah satu anggota keluarga diterima bekerja di tempat tertentu, merayakan prestasi di sekolah, dan perayaan khusus lain semacam itu. Atau mereka berkumpul untuk rekreasi keluarga. Padahal kita tahu kan, betapa banyak kerepotan yang harus kita lakukan saat rekreasi keluarga, sehingga tidak banyak interaksi personal yang intensif di dalamnya.
Memang ini hanya satu indikator, namun ini menjadi penting khususnya bagi keluarga Indonesia yang mengusung nilai kolektivitas. Bagaimana rasa kekeluargaan dibangun, orangtua dapat mengenal masing-masing anggota keluarganya, menjalin relasi yang positif dengan anggota keluarga lain, mentransfer nilai-nilai luhur keluarga yang menjadi dasar karakter baik pada anak-anak, jika aktivitas sesederhana makan bersama saja jarang dilakukan? Apalagi aktivitas lain yang melibatkan interaksi personal yang lebih intens dan mendalam, sepertinya juga tidak.
Sebetulnya jika kita kupas satu per satu, apa saja yang bisa kita dapatkan dari makan bersama, kegiatan itu tidak sesederhana yang terlihat. Banyak hal yang bisa kita dapatkan dari kegiatan makan bersama, baik untuk kondisi fisik maupun psikologis keluarga.
Makan bersama bisa menjadi salah satu strategi untuk menjaga keterpenuhan gizi keluarga dan mengenalkan variasi makanan pada anak. Bahkan sebelum pandemik Covid-19 dimulai, kita sudah sangat akrab dengan jasa pembelian makanan secara daring. Tanpa kita ketahui mungkin kita sendiri atau anak-anak yang usianya sudah lebih besar dan punya ponsel sendiri memesan makanan dengan jumlah kalori yang melebihi kebutuhan, atau malah nilai gizinya kurang.
Dengan makan bersama, kita dapat mengontrol perilaku makan tersebut dengan menjaga keseimbangan gizi yang diasup oleh setiap anggota keluarga, dengan kata lain orangtua dapat memantau asupan gizi semua anggota keluarga. Untuk anak yang usianya lebih kecil, kita bisa mengenalkan berbagai makanan keluarga sejak dini. Hal ini menjadi salah satu cara mencegah kekurangan gizi dikarenakan perilaku picky eater yaitu memilih makanan yang biasanya rasanya sangat gurih, atau makan satu jenis makanan saja terus menerus. Pemenuhan gizi anak tentunya sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan anak. Pola makan yang baik juga dapat mencegah terjadinya stunting, kekurangan gizi kronis yang berdampak pada pertumbuhan fisik dan perkembangan otak yang terhambat. Sebagaimana kita tahu, kasus stunting saat ini masih cukup tinggi di beberapa wilayah di Indonesia.
Makan bersama juga dapat digunakan sebagai strategi untuk membiasakan anak mempraktekkan etika atau adab makan. Saat makan bersama, orangtua dapat memantau bagaimana anak mempraktekkan adab makan yang telah diajarkan orang tua maupun guru di sekolah atau di Taman Pendidikan Alquran. Sebagaimana kita tahu, suatu karakter hanya akan terbentuk jika dilakukan secara berulang-ulang atau dibiasakan. Maka dengan memberikan contoh pada anak-anak bagaimana mempraktikkan adab makan, dan membiasakan anak untuk mempraktikkan adab makan tersebut, entah itu di meja makan atau lesehan di lantai, diharapkan karakter-karakter yang terkandung dalam adab makan tersebut dapat bertumbuh dalam diri anak. Ketika sudah terbentuk, akan ia bawa dalam interaksinya dengan orang lain. Pada akhirnya kebiasaan tersebut juga dapat membantu anak dalam menjalin interaksi sosial dengan orang lain.
Dalam aktivitas makan bersama, orangtua dapat sesekali menyelipkan kegiatan family meeting atau musyawarah keluarga untuk berdialog tentang keseharian anak, mengetahui perasaan anak, keluhan-keluhan yang ia miliki, kekhawatiran yang dihadapi, atau juga harapan-harapan yang dimiliki orangtua satu sama lain. Jika ini dilakukan secara rutin, anggota keluarga akan terbiasa dan tidak merasa canggung untuk berbicara dari hati ke hati. Namun musyawarah keluarga ini sebaiknya dilakukan dengan bentuk komunikasi dua arah, bukan hanya digunakan sebagai kesempatan orang tua memberikan nasehat pada anak. Orangtua juga perlu menerima pikiran, perasaan, dan pengalaman anak tanpa melakukan penilaian terlebih dahulu, yang seringkali justru dapat membuat anak enggan menghadiri musyawarah keluarga berikutnya, terutama pada anak berusia remaja. Sebagaimana ungkapan “arek saiki gak isok diomongi, tapi isok e dijak ngomong” (anak zaman sekarang tidak mempan jika hanya diberi pitutur, namun juga perlu diajak bicara). Musyawarah keluarga ini juga bukan sebagai arena untuk membandingkan pencapaian anggota keluarga satu dengan yang lain. Boleh-boleh saja memberikan apresiasi, namun perlu sensitif terhadap kebutuhan semua anggota keluarga.
Melakukan kebiasaan baru atau mengembalikan kebiasaan lama yang sudah jarang dilakukan seringkali diawali dengan rasa tidak nyaman, atau bahkan penolakan dengan berbagai alasan yang pada akhirnya membuat kita enggan untuk mencoba. Namun jika melihat manfaat positif yang begitu besar, maka aktivitas makan bersama keluarga layak untuk dirutinkan. Dengan semangat Hari Keluarga Nasional, mari kita kembali merutinkan aktivitas makan bersama di keluarga masing-masing.