“Sudah di pondokan saja, biar ndak nakal lagi.”
Paling tidak, itu kata-kata yang paling sering terdengar yang ditujukan untuk pemuda atau pemudi yang dinilai nakal dan tidak bisa ditanggulangi. Tapi, yang sering terjadi adalah si anak begitu keluar bukannya akhlaknya semakin baik, malah semakin buruk. Nah, kenapa bisa gitu? Logikanya gini, hampir semua orang berpendapat bahwa jalan keluar dari mengatasi anak ‘nakal’ tersebut dengan memondokan si anak. Akhirnya, anak tersebut kumpulnya dengan sesama anak yang didaulat anak ‘nakal’ dan berakibat pada tidak berubahnya akhlak anak, malah mungkin bisa tambah buruk. Jadi, dengan demikian cara tersebut belum jadi efektif.
Berdasarkan pengamatan saya pribadi, anak-anak yang cenderung nakal dan mudah terpengaruh pada lingkungan disebabkan karena pembangunan diri dari rumahnya sendiri tidak baik. Disini, ada keterkaitan dengan peran orang tua.
Saya pribadi mengakui pernah nakal, apalagi zaman menyentuh remaja atau sekitar antara SMP dan SMA. Saat itu, saya mulai mengenal apa itu lawan jenis, media elektronik seperti Handphone, ataupun sosmed seperti facebook. Belum lagi komentar teman yang sering mengatakan aneh tatkala menggunakan pakaian yang syar’i. Tetapi, sebab peran orang tua sayalah saya tetap kuat dan bahkan mampu mengalahkan hasrat untuk nakal tersebut. Orang tua saya tahu bahwa anak pada masa itu mudah sekali memberontak sebab ego yang sedang tinggi-tingginya . Maka, beliau menempatkan diri sebagai sahabat. Sehingga, jujur saja, ada keterbukaan antara saya dengan orang tua.
Mungkin, peran orang tua sebagai teman ini yang jarang dipraktikkan di lingkungan keluarga jama’ah. Kaitannya dalam hal ini, tidak ada keterbukaan antara orang tua dan anak. Sementara untuk menyelesaikan masalah orang tua lebih mengandalkan emosinya. Anak juga menanggapi dengan egonya sendiri, jadi tidak ada persatuan fikiran yang malah memicu pada keretakan hubungan orang tua dan anak. Dampaknya, anak semakin memberontak dan semakin jadi kelakuan nakalnya.
Peran orang tua sebagai teman yang saya maksudkan ini bisa dilakukan dengan metode sharing. Orang tua juga bisa sedikit menceritakan kisahnya atau permasalahannya pada anak (dalam konteks ini masalah yang dipaparkan tidak terlalu pribadi atau bersifat umum) untuk saling tukar pendapat, sehingga memancing rasa terbuka dari pribadi anak. Sebab, bila orang tua saja mau mendengarkan pendapat anak mengenai solusi dari masalahnya, anak juga jadi tumbuh rasa kepercayaannya terhadap orang tua.
Saya membahas mengenai peran orang tua sebagai teman ini, sebab, fenomena yang ada di sekitar saya adalah tidak adanya hubungan keterbukaan antara orang tua dan anak. Sehingga, saya secara pribadi ingin menyuarakan bahwa anak pada dasarnya butuh orang tua yang bukan hanya sebagai peran utamanya sebagai pengayom, tapi juga sebagai sahabat. Dalam artian kalau mau ‘membenahi’ jangan selalu pakai emosi tapi pakai teori PDKT alias pendekatan.
C.id