Tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional di Indonesia. Peringatan ini dilakukan untuk mengenang tokoh pejuang pendidikan nasional Raden Mas Soewardi Soerjaningrat yang lahir pada 2 Mei 1889, yang popular disebut Ki Hajar Dewantara. Melihat kondisi pendidikan di tanah air, nampaknya Indonesia masih membutuhkan banyak Soewardi untuk melanjutkan perjuangannya.
Menjadikan Tuhan Yang Maha Esa sebagai dasar negara dalam Pancasila, sudah sepatutnya pendidikan agama menjadi pondasi pengembangan karakter bangsa. Namun banyak kalangan yang menilai pendidikan agama di Indonesia masih terlalu terfokus pada ranah kognitif. Pendidikan agama yang diterapkan di sekolah formal lebih banyak berkutat mengajarkan hafalan beraneka ayat di dalam Al Quran dan hadist. Hal ini amat jauh dari harapan pendidikan agama yang bertujuan membentuk karakter bangsa.
Siswa hanya menjadi mesin penghafalan
Beraneka ragam metode pengajaran hingga tes evaluasi akhir pendidikan agama di sekolah formal dinilai hanya memaksa siswa didik menjadi mesin penghafal. Teks-teks agama seperti ayat suci Al Quran dan hadist-hadist hanya dijadikan fakta tanpa bunyi. Siswa didik tidak diajak untuk menalar dan menganalisis aneka kejadian di lingkungan sekitar dan kaitan dengan kandungan ayat-ayat tersebut.
Pemahaman yang dangkal akan esensi nilai yang diajarkan Islam kerap kali menyebabkan pesan tidak dapat sampai dengan sempurna. Benar salah, baik buruk, halal haram yang diperkenalkan tanpa rasa dan melulu bertujuan mengejar skor akhir guna kelulusan. Tidak heran penanaman nilai-nilai dasar seperti jujur, tenggang rasa, tolong-menolong, toleransi antar sesama tidak tersentuh dengan baik.
Peran afeksi agama di negara multikultural
Keberagaman (diversity) budaya di tanah air merupakan fakta yang tak bisa dihindari. Ironisnya Indonesia masih menjadi negera dengan beragam konflik yang dipicu perbedaan agama dan ideologi. Sudah sepatutnya pendidikan agama menjadi media yang paling efektif digunakan untuk mencegah hal tersebut terjadi. Hal tersebut penting untuk ditanamkan guna menciptakan generasi yang tahan kondisi Indonesia yang majemuk.
Fanatik agama yang sempit dan pemahaman out group yang minim menyebabkan potensi konflik semakin besar. Pendidikan agama tanpa mengurangi esensi nilai ketuhannan, seharusnya juga mengajarkan kecerdasan sosial berupa pengenalan lintas agama. Lewat pemahaman kemanusiaan seperti pemberantasan kemiskinan, kekerasan, serta ketidakadilan paham agama dapat disisipi guna membangun rasa empati antar agama.
Selain itu pengenalan ini tidak melulu harus dilakukan oleh lembaga pendidikan agama, pengenalan agama juga seharusnya diinteraksikan dengan pelajaran lainnya. Seperti pengenalan sikap berbagai agama dalam upaya pelestarian lingkungan, menjaga kebersihan, dan konservasi yang dapat dimasukkan dalam materi pelajaran sains. Selain itu pengenalan agama lain dapat dilakukan lewat pelajaran pendidikan kewarganegaraan dan pancasila, atau melalui pengenalan sejarah perkembangan agama tersebut serta ajaran pokoknya.
Islam sejatinya telah memberikan berbagai contoh teladan yang baik lewat prilaku Nabi Muhammad SAW. Rasulullah dengan Piagam Madinahnya mengajarkan umat tentang sikap Islam di tengah multikultur agama saat itu. Kekerasan bukanlah jalan utama yang dipilih Rasulullah saat itu. Beliau lebih mengedepankan diskusi, toleransi dan tenggang rasa untuk menyelesaikan masalah tanpa mengurangi ketauhidan Islam.
Membangun negara dengan kecerdasan spiritual
Pendidikan afeksi agama tidak hanya membantu dalam menghadapi permasalah multikultural bangsa. Akan tetapi lebih besar dari itu pendidikan agama dapat digunakan untuk meningkatkan kecerdasan spiritual guna membangun etos kerja yang lebih baik. Dewasa ini aspek kecerdasan spiritual mulai menjadi sorotan berbagai kalangan.
Negara maju di barat mungkin dapat menjadi besar dengan mengandalkan kecerdasan intelektual dan emosionalnya. Berbeda dengan negera maju di daerah timur seperti Jepang dan Cina yang maju melalui peningkatan etos kerja dan semangat juang kedua negara itu lebih baik dibandingkan negara barat. Konsep berpikir tentang adanya karma atas perbautan baik dan buruk yang melekat, mempengaruhi nilai yang mengakar di masyarakat.
Dengan nilai-nilai ketuhanan yang diajarkan di pendidikan agama seharusnya dapat mengantarkan Indonesia sebagai negara dengan kecerdasan spiritual tertingginya. Akan tetapi hal tersebut nampaknya masih belum mengakar di masyarakat kita. Konsep berbuat jujur dan taat terhadap hukum karena takut dengan siksaan nampaknya harus kembali diukir dihati setiap pemeluk agama di Indonesia. Dengan demikian penyimpangan hukum seperti korupsi dan pelanggaran lainnya dapat dicegah dengan kecerdasan spiritual yang baik. Hal ini disebabkan mereka menyadari bahwa setiap yang mereka lakukan diperhatikan oleh Allah dan akan dimintai pertanggungjawaban di hari akhir kelak.
Penanaman nilai lewat pendidikan agama yang kaffah ini amat penting untuk dilakukan sehingga konsep agama tidak hanya berkutat dengan penyembahan kepada Allah. Akan tetapi lebih luas dari itu. Agama bisa bermanfaat sebagai pengatur kehidupan manusia yang beradab dengan kecerdasan spiritualnya. (Bahrun/Lines)