Mencetak generasi profesional religius yang digagas LDII dalam Rakernas 2018 lalu, salah satunya memberi tambahan pengetahuan dan program pembinaan bagi para pengajar serta pendidik. DPP LDII kembali menggelar lokakarya pendidikan kedua.
Bertempat di aula DPP LDII, Senayan, Jakarta Selatan, Minggu (21/07) kemarin, kali ini bertemakan ‘Penguatan Kompetensi Bidang Perkembangan Kepribadian lewat perspektif Erik H. Erikson’, yang diinisiasi oleh Departemen Pendidikan Umum dan Pelatihan DPP LDII.
DPP LDII mengundang Fidelis Waruwu, seorang praktisi dari Education Training & Consulting Jakarta sebagai pengisi materi pertama. Fidelis menjelaskan tentang delapan tahapan perkembangan kepribadian melalui pengembangan psikososial (psychosocial development)menurut Erik H. Erikson, seorang psikolog Freudian yang mengembangkan teori tahap perkembangan manusia yang digagas Sigmund Freud dihadapan Education Clearing HouseTeam (ECH) DPP LDII dan praktisi pendidikan.
Adapun 8 tahapan perkembangan berdasarkan range usia itu dinamakan dengan masa harapan, kekuatan kehendak, tujuan hidup, kompetensi, kesetiaan, cinta kasih, kepedulian, kebijaksanaan.
“Tahapan awal mempengaruhi tahapan selanjutnya. Anak-anak akan merekam setiap perilaku yang dilakukan orang tua maupun lingkungannya seratus persen tanpa filter,” ujar Fidelis Waruwu.
Menurut pemaparannya, setiap anak memiliki waktu perkembangannya masing-masing. Anak-anak mempunyai kreatifitas tersendiri untuk mencapai tujuan hidupnya. Anak-anak yang sering dihukum akan mempunyai perasaan bersalah, rasa bersalah akan menjadi proyeksi pada anak untuk membully atau balas dendam terhadap orang lain.
“Luka-luka batin perlu disembuhkan, dengan cara memberikan banyak apresiasi positif pada hal baik yang telah dilakukan sehingga akan membuat alam bawah sadarnya membangun memori positif,” lanjut Fidelis Waruwu memaparkan.
Senada dengan hal itu Netti Herawati salah satu pembicara yang merupakan profesor pakar pendidikan usia dini mengatakan, bonding seorang ibu pada tahap awal perkembangan manusia sangat penting. Menurutnya anak yang menangis ketika ibunya sedang melakukan suatu pekerjaan sebaiknya jangan dibiarkan, karena menangis merupakan salah satu cara komunikasi seorang anak.
“Jika anak dibiarkan menangis akan terbentuk sifat acuh pada anak dan hilangnya kepercayaan. Sikap yang harus dilakukan seorang ibu adalah mendatangi dan memberikan komunikasi verbal dan non verbal agar tercipta rasa aman untuk si anak,” ujarnya.
Sejatinya semakin tinggi pendidikan, adab dan akhlak seharusnya semakin bertambah. Orang tua menjadi sosok pertama yang mengajarkan adab dan akhlak.Orang tua-lah yang pertama kali membentuk perilaku anak, sedangkan pendidikan formal menguatkan tauhid, akhlak, dan adab.
“Pemahaman teknologi akan diperoleh anak dengan sendirinya sesuai perkembangan zaman, sedangkan akhlak dan adab harus dibentuk sejak dini,” lanjut Netti Herawati.
Terkait hal tersebut LDII yang mengembangkan pendidikan berbasis visi dan misi, kedepannya akan merencanakan implementasi dengan membuat tiga tahapan yaitu membentuk role model, membuat program, dan memberi apresiasi kepada peserta didik.
Selama ini LDII juga telah memiliki pendidikan berbasis visi dan misi untuk menciptakan insan yang profesional religius, yang memiliki tri sukses, dan 6 tabiat budi luhur. Hal tersebut adalah tujuan LDII menggelar serangkaian lokakarya pendidikan di tahun ini. Untuk membentuk sosok generasi yang profesional dan religius tidak hanya dilakukan oleh guru, tapi jadi pekerjaan semua elemen, termaksud orang tua dan lingkungan.(laras/lines)