Sepanjang pengetahuan saya, semua agama mengenalkan Sang Pencipta Kehidupan ini sebagai dzat Yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Mungkin dalam bentuk dan bahasa yang berbeda, tetapi ujung – ujungnya sama; welas – asih.. Dua sifat inilah yang lebih dominan dan lebih dikenal mengalahkan sifat – sifat lainnya. Dalam islam pun sama, lihatlah kalimat bismillaahir rohmaanir rohiim. Siapa yang tak mengenalnya? Dia ada di setiap awal surat, sebagai kalimat pembuka. Mau ditafsirkan bagaimana pun, sifat inilah yang menonjol. Paling menonjol. Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Bahkan di atsar lain Allah menerangkan Kataba ’ala nafsihi rohmah (Al-An’am 12) Allah menulis dirinya sendiri sebagai pemberi rohmat. Sehingga tak salah, jika banyak orang yang ”hanya mau” mengenal Allah sebagai Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Lebih tegas lagi diterangkan bahwa Rohmati gholabat ghodhobi – rohmatKu mengalahkan murkaKu. Jadilah seolah – olah sebuah paten yang melegenda di setiap pemikiran; Allah Maha Pengasih dan Penyayang, thok. Jangan kebablasen, sampai – sampai kalau ada mushibah, sontak berpikir kalau Allah tidak sayang lagi. Kesimpulan yang terlalu cepat. Padahal sejatinya itu adalah tanda sayang. Namun, banyak yang lupa.
Seorang teman kantor bercerita, suatu ketika ada seorang Ibu merasa kehilangan sebuah benda simpanannya. Benda yang menjadi kesukaan dan favoritnya. Padahal benda itu akan diberikan sebagai hadiah spesial – suguhan buat tamu istimewanya. Ia sudah mempersiapkan berhari – hari untuk itu. Mencari ke sana – kemari untuk berburu dan mengumpulkannya. Ketika saatnya tiba, ternyata benda itu tidak utuh lagi. Ada yang mengambilnya. Hal inilah yang membuatnya sewot. Kemudian dia pun bertanya kepada putranya, sebab tak ada orang lain di rumah itu selain dia.
”Hey Arie, apakah kamu yang mencuri permen coklatnya Mama?
Arie dengan jujur menjawab, ”Ya, Ma.”
”Kenapa kamu mencurinya? Apakah kamu tidak melihat Tuhan ketika mencuri? Bukankah Dia mengawasi dan melihatmu?”, kata si Ibu dengan nada jengkel.
”Lihat Ma,” jawab si bocah.
”Terus apa yang dikatakan kepadamu?”, sahut Ibu yang mengharapkan bahwa anaknya takut kepada Allah.
”Katanya, boleh ambil dua,” kata Arie dengan polos.
Mendengar jawaban itu bertambah marahlah si Ibu tadi. Mencuri adalah perbuatan jelek.. Walau dalam tata bahasa bisa saja ia tidak berarti jelek, seperti mencuri perhatian. Namun, dalam kamus umum mencuri adalah mengambil milik orang lain tanpa ijin pemiliknya. Biasanya, kalau mencuri barang yang diambil itu tidak besar. Kalau besar disebut ngrampok, sedang kalau ngambil yang kecil – kecil namanya ngutil. Oleh karena itu, kita kenal istilah ngupil.
Jujur saja, cerita di atas saya ambil dari teman non muslim, namun tak ada salahnya menjadi bahan pembelajaran buat kita semua, bukan? Namanya juga cerita, jadi terbuka dari penafsiran yang berbeda – beda. Ada yang memandang lelucon yang tidak lucu, boleh. Ada lagi yang memandang contoh jelek mencuri, boleh. Ada lagi yang mengaitkan dengan pendidikan anak, juga boleh. Semua sah – sah saja. Namun yang lebih penting dari itu semua adalah bagaimana mempresentasikan Allah dalam menghadapi setiap kejadian dalam kehidupan keseharian kita. Cermatilah kembali cerita ringan di atas.
Si Ibu dengan latar belakang yang mengikutinya, – karena merasa kehilangan -memandang bahwa Allah itu Maha Penghukum bagi orang yang berbuat jelek. Allah marah ketika terjadi pelanggaran. Si Ibu lupa dengan sifat kasihNya karena ada kepentingan lain. Hatinya tertutup. Tercemar, tidak memandang secara seksama. Sedangkan di mata si bocah, Arie, Allah adalah Maha Pemurah dan Pemaaf. Karena itu yang baru dia kenal atau ingat. Ia sering mendengarnya. Ia sering diajarkan kalau Allah adalah Maha Pengasih, Maha Pemaaf, tidak suka menghukum. Dua kutub pemahaman ini tidak akan bisa ketemu, tanpa dibarengi kesepahaman dengan dasar kejernihan hati dan beningnya batin. Sebetulnya semuanya benar. Allah adalah Maha Pengasih dan Penyayang. Allah juga Maha Penghukum, yang mempunyai siksa yang pedih.
Bertolak dari sudut pandang inilah perlu dijadikan pembelajaran. Bahwa dalam kehidupan, sejatinya pemahaman dasar seperti si bocah itulah yang sangat diperlukan dan dimiliki agar bisa menikmati indahnya kehidupan ini sebagai karya Sang Maha Pengasih dan Penyayang. Allah adalah Maha Pengasih dan Penyayang. Bagaimanapun sifat itu yang paling dominan dan menonjol. Sayangnya, setelah orang beranjak dewasa, pemahaman itu semakin pudar. Perjalanan hidup tidak malah mampu mendekatkan diri akan kasih dan sayangNya, justru menggerogotinya. Bertambahnya ilmu terkadang malah menjadi sekat yang memisahkan dan mengkotak – kotakkan nikmat Allah yang luas. Bukan membabarkanya. Dan dengan kembali kepada jalan yang benar, diharapkan manusia mampu menemukan kembali sifat Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang itu untuk diterapkan dalam setiap aspek kehidupan. Tanpa terkecuali. Tidak cepat menghukum. Pemaaf. Santun. Senang berbuat kebajikan. Amar ma’ruf. Dan keluhuran budi lainnya. Dalam scope yang luas.
Jangan dilihat permen coklatnya yang hilang, lihatlah kesadaran dan pemahaman pokok akan kasih dan sayang yang justru melayang berganti kemarahan dan kecongkakan, seiring berjalannya waktu. Padahal, setiap hari kita sebut Arrohmaanir rohiim minimal 34 kali. Apakah belum cukup (untuk mengingatkan)? Allah memberi stempel islam sebagai agama rohmatal lil alamin. Dan pada jaman Rasulullah pun ada Kafir Dhimmi. Cermin Arrohman dan Arrohimnya Allah yang Maha Tinggi.
Oleh:Ustadz.Faizunal Abdillah