Sehari sebelum lebaran, saya menerima pesan singkat (sms) dari seorang sahabat lama di tlatah Metro – Lampung sana. Isinya tentang kepergian ibu mertua sahabat lama saya itu, setelah sekian lama menderita stroke. Bersyukur, semua berlangsung dalam keadaan keimanan, sesuai firman Allah; walaa tamuutunna illaa wa antum muslimuun. Suasana duka pun berjalan bersahaja mengiringi hari raya.
Pasca lebaran kemarin, dalam suasana mudik di Mojokerto, anak – anak kakak ipar saya jatuh sakit. Secara bergiliran mereka mengunjungi dokter untuk berobat. Dan ditemukan, dari diagnose dokter, bahwa anak – anak tersebut terkena radang tenggorokan atau sering dikenal dengan ISPA. Tak lama kemudian, anak kedua saya demam juga. Setelah dibawa ke dokter, juga dinyatakan terkena radang tenggorokan.
Ketika saya menonton berita di TV, dilaporkan bahwa di salah satu rumah sakit di Bekasi, pasca lebaran kemarin, kebanjiran pasien dengan keluhan pusing dan demam. Lonjakannya hampir 50 % dari biasanya. Dan didapatkan kenyataan bahwa sebagian besar terancam dengan kolesterol dan radang tenggorokan.
Ketiga peristiwa di atas yang hampir berbarengan dalam rentang waktu yang berdekatan, memberikan perkeling yang kaut buat diri saya. Pada kasus Ibu mertua sahabat saya, saya diberitahu dengan jelas musabab terjadinya stroke itu. Menurut penuturan sang Bapak – si empunya cerita, si Ibu ketika menunaikan ibadah haji tahun 2004, telah diingatkan untuk makan yang selektif. Jangan makan sembarangan, menuruti maunya mulut dan inginnya hawa nafsu. Sebab kondisi kesehatannya yang perlu perhatian serius. Tetapi, perkeling itu tak didengar. Dalam suatu kesempatan si Ibu malahan bilang, “Wong ibadah haji makan kok dilarang – larang. Muthowifnya aja sering bilang, makan apa saja agar kondisi tubuh tetap segar dan ibadah lancar. Apalagi di sini semua makanan tersedia. Dan kita udah bayar itu semua. Sayang kalau dilewatkan.”
Selama di Mekah – Medinah, Allah paring semua aman dan selamat. Petaka datang setelah pulang ke tanah air. Masih dalam suasana menikmati kepulangan haji, serangan stroke itu tiba. Si Ibu jatuh di kamar mandi dan setelah itu harus dipapah tidak bisa berjalan ke mana – mana. Tak lama kemudian harus cuci darah setiap minggu dan kursi roda pun menjadi teman akrabnya. Upaya terus dilakukan, namun situasinya tak kunjung membaik, bahkan setelah itu kena serangan lagi sebanyak dua kali dan akhirnya berpulang ke rahmatullah.
Pada kasus anak dan keponakan saya, juga tak terlepas dari makanan. Semua dokternya bilang, coba asupannya dikontrol. Jangan sering makan yang banyak msg-nya, gorengan atau makanan jajanan yang lain. Di samping udara yang kotor, factor makanan adalah pemicu utama. Setelah saya amati dan perhatikan, memang itulah kelakuan para bocah itu. Seenak udelnya makan selepas sebulan berpuasa. Akhirnya kami pun memberi perhatian ekstra agar bisa menghindari itu semua.
Sedangkan pada kasus ketiga, didapati bahwa sebenarnya para pasien itu tahu kalau dirinya punya potensi kolesterol yang tinggi. Mereka juga tahu bahwa makanan yang dimakan itu berbahaya buat dirinya. Semua makanan berkolesterol tinggi, tak sehat. Tetapi mereka melanggarnya juga, tak kuat menahan diri, karena hari raya. “Masak hari raya nggak boleh nyicipi dikit – dikit saja sih?” Itu pemikiran yang ada di benak mereka. Nanti setelah itu kontrol atau berobat lagi ke dokter. Bereskan. Itu argumentnya. Begitu beraninya mereka bermain dengan kesehatan diri dan penyakit yang membahayakan dengan mempertaruhkan hari depan. Menantang maut.
Perhatikanlah makanan. Kita hidup memang butuh makan. Kita hidup butuh minum. Tetapi jangan sampai terjebak dalam arus hidup untuk makan. Sebab yang benar dan tepat adalah makan untuk hidup. Makanlah secukupnya. Makanlah makanan yang membuat sehat badan kita. Bukan makanan yang membahayakan diri kita, walau halal adanya. Makanlah dengan selalu mengingat bahwa induk segala obat adalah sedikit makan. Terlebih bagi mereka yang kurang berolah raga. Makanan adalah untuk tubuh dan tubuhpun nanti akan ditanya di akhirat. Bagaimana jawabnya kalau tubuh kita ternyata menderita sakit terus, nggak bisa dibuat ibadah, sebab makan makanan sembarangan yang membahayakan?
Rasulullah SAW bersabda; “Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya”. (HR at-Tirmidzi (no. 2417), ad-Daarimi (no. 537), dan Abu Ya’la (no. 7434), dishahihkan oleh at-Tirmidzi.)
Beliau SAW juga memberikan petunjuk bagaimana mengisi perut yang baik. Tidak kudu penuh. Secukupnya. Tak boleh rakus. Rasulullah SAW bersabda; ”Tidak ada pekerjaan anak Adam mengisi penuh suatu bejana yang lebih jelek daripada mengisi penuh perutnya. Cukup kiranya beberapa suap untuk meluruskan punggungnya. Jika tidak boleh tidak harus diisi, isilah sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman dan sepertiga untuk bernafas.” (HR Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah, dan Hakim).
Nah, saya terngiang – ngiang cerita seorang teman pas lebaran beberapa waktu lalu, di sekitaran Jabodetabek dia mendengar pekik bahagia seorang bocah dengan meneriakkan, ”Alhamdulillaah, Ibu nggoreng tempe…..!!!” Dalam rangka mengajak mengatur pola makan dan apa yang baik untuk dimakan, sepenggal cerita ini semoga bermanfaat, walau Anda punya kebebasan untuk menafsirkannya. Yang penting jaga makanan kita.
Oleh: Ustadz Faizunal Abdillah