Beberapa waktu yang lalu, saya dilanda perasaan kehilangan yang luar biasa. Ada sebuah dalil, yang membuat saya mabok. Saya merasa telah memilikinya bahkan hafal, tetapi tak kunjung mendapatkan rujukannya. Sudah bolak – balik beberapa kitab dan catatan, tapi belum nemu juga. Sudah bertanya kepada kawan dan teman, belum juga ada kepastian. Penasaran sekali rasanya. Begitu sulit. Tetapi akhirnya, dengan sisa – sisa tenaga dan kepasrahan, ketemu juga. Dalil itu adalah ini.
Dari Abi Hurairah, dia berkata Rasulullah SAW bersabda: “Kadang – kadang (banyak) orang yang berpuasa namun tidak mendapatkan dari puasanya kecuali lapar dan kadang – kadang (banyak) orang yang beribadah pada malam hari namun tidak mendapatkan darinya kecuali hanya begadang saja”.1[1]
Terus – terang dalil ini membuat saya takut. Kenapa? Pertama, ketika rubba diberi makna banyak, selain makna pertama yaitu: kadang – kadang. Dengan arti kadang – kadang saja sudah membuat merinding, apalagi dikuatkan dengan makna banyak. Artinya kemungkinan terkena dalil ini semakin besar. Siapapun bisa terimbas. Alhasil, puasa bisa tak berpahala, hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja. Idu bacin. Abab bau. Demikian juga dengan qiyamul lailnya. Naudzubillah.
Kedua, pada kenyataannya hati kecil merasakan kebenaran dalil itu. Bukan pada orang lain, tetapi pada diri ini sendiri. Menjaga role of thumb berpuasa tidaklah mudah. Diri ini seperti sudah terlalu parah terjangkit penyakit kehidupan dunia ini. Mulai dari suka ngrasani, suka bohong, bicara gak baik dan nimbrung ke dalamnya. Walau pakai embel – embel tak sengaja. Semua serasa menjadi perilaku yang jamak dan lumrah. Maka tak pelak, bayangan yang ada hanyalah perasaan berat dan ketakberdayaan. Takut, puasa hanyalah rasa lapar dan dahaga yang menggoda. Tak lebih.
Dari tahun ke tahun belum ada kemajuan yang signifikan. Padahal sudah lebih dari 33 kali diri ini menjalani puasa wajib ini. Kebodohan dan kebodohan, kalau boleh menyebut itu sebagai kebodohan, terulang dan terulang lagi. Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi SAW ia bersabda : ”Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan bohong dan amalan kebohongan serta tindakan bodoh (jahil), maka tidak ada bagi Allah hajat ( untuk menerima ) dalam hal ia meninggalkan makan dan minumnya.” (Rowahu Bukhary). Kesalahan yang sama, terjadi dan terjadi lagi. Ada sesuatu yang salah. Tetapi saya tidak mampu menemukan apa dan bagaimana? Sampai akhirnya muncullah program 5 sukses yang sangat menginspirasi. Dimana setiap diri dipacu untuk bisa meraih 5 hal di dalam bulan puasa ini sebagai katagori suksesnya. Alih – alih memenuhi target 5 sukses ini, jawaban demi jawaban muncul ke permukaan tanpa disangka.
Belenggu pertama yang menghambat kemajuan berpuasa diri ini adalah mind set bahwa bulan puasa adalah bulan mengepolkan amalan. Di satu sisi betul dan baik, gak salah. Dalilnya pun jelas; pintu surge dibuka, pintu neraka ditutup dan setan dibelenggu. Yang berbuat baik diajak mengepolkan dan yang berbuat jahat disuruh berhenti. Sebab kebaikan dan kejelekan sama – sama dilipatgandakan. Tetapi di sebelahnya tersimpan jebakan yang membahayakan. Salah setting bisa cilaka. Nyatanya – menurut saya – banyak yang tercemplung ke ruang sebelah itu. Jika beranggapan seperti ini, biasanya hanya di bulan puasa saja diri itu rajin dan tekun ibadah. Sholat sunah rajin, tarawih tertib, alquran khatam, sedekah gak ketinggalan, datang ke masjid setiap malam. Namun setelah bulan ramadhan, kembali ke habitat semula. Di bulan puasa menjadi hamba yang manis lagi baik. Setelah paripurna, hilang tak berbekas. Kemana perginya perilaku ibadah yang hebat itu?
Kedua, adalah belum adanya niat dan sikap bahwa di bulan puasa ini adalah bulan pelatihan. Ramadhan bulan untuk melatih diri. Bagaimana bisa tertib sholat sunnahnya? Bagaimana bisa tertib baca qurannya? Bagaimana bisa rajin sodaqohnya? Bagaimana mau I’tikaf? Bagaimana bisa taqorrub ilallah dengan laku ibadah – ibadah lain atau setidaknya program 5 sukses tadi? Dalam keterbatasan dan kondisi puasa, dan daily activity yang seperti biasa. Normal, tapi ibadah dimempengi. Ini adalah kondisi yang luar biasa untuk melatih diri. Dengan sikap seperti ini, mengasah diri secara konsisten di tengah keterbatasan, maka setelah bulan puasa terlampaui keberlanjutan amalan tadi terus terjaga dengan baik sampai bertemu puasa tahun depan.
Belenggu berikutnya adalah jangan menganggap/mengukur kesuksesan hanya berlaku lokal di bulan puasa saja. Justru kesuksesan itu apabila mampu menembus batas local menuju program 5 sukses di luar bulan puasa. Setelah puasa, 11 rekaat tetap terjaga. Khataman quran bisa berjalan. Sholat rowatib rajin. Datang ke masjid tak ketinggalan. Sedekah mempeng. Puasa sunah terus berjalan. Inilah yang disebut fastabiqul khairat. Inilah rule of thumb yang seharusnya ketika kita memasuki puasa. Ada kepuasan, ada kegairahan, ada kerinduan sehingga idiom meramadhankan semua bulan akan terasa. Resapilah dua hadits berikut sebagai telaah lebih lanjut.
Dari Abi Salamah bin Abdurrahman bahwasanya ia bertanya pada Aisyah RA tentang shalat Rasulullah SAW di bulan Ramadhan. Maka ia menjawab: “Tidak pernah Rasulullah SAW kerjakan di bulan Ramadhan dan di luar Ramadhan lebih dari 11 rakaat. Ia shalat 4 (rakaat) jangan engkau tanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian ia shalat 4 (rakaat) jangan engkau tanya panjang dan bagusnya, kemudian ia shalat 3 rakaat“. (HR Bukhary).
Ibnu Abbas r.a. berkata, “Rasulullah saw. adalah orang yang paling suka berderma, dan paling berdermanya beliau adalah pada bulan Ramadhan ketika Jibril menjumpai beliau. Ia menjumpai beliau pada setiap malam dari bulan Ramadhan [sampai habis bulan itu], lalu Jibril bertadarus Al-Qur’an dengan beliau. Sungguh Rasulullah SAW adalah [ketika bertemu Jibril ] lebih dermawan dalam kebaikan daripada angin yang dilepas.” (Rowahu Bukhary)
Dengan memandang sedikit jauh ke depan, mudah – mudahan puasa kita lebih bermakna, dari waktu ke waktu. Dan semoga Allah menerima dan meridhoinya. Amin.
Oleh :Ustadz.Faizunal Abdillah