Jakarta (7/10) Gerakan kepandukan atau Pramuka merupakan salah satu alat pembentukan karakter yang sudah diakui dunia. LDII ingin menggali lebih dalam mengenai fungsi Pramuka dalam membentuk karakter. Hal tersebut melandasi kegiatan Focus Group Discussion (FGD) DPP LDII, yang bertemakan “Pembentukan Karakter melalui Gerakan Pramuka Berbasis Empat Fokus Utama Kwarnas”.
Dalam FGD tersebut hadir narasumber Kodrat Pramudho Wakil Ketua Kwarnas Bidang Organisasi dan Hukum serta Folber Sialagan Wartawan Jawa Pos. Hadir pula peserta dari Pramuka Sako SPN dari beberapa wilayah seperti Banten, Lampung, dan beberapa wilayah lain.
Dalam Pembukaan, Edwin Sumiroza Wakil Majelis Pembimbing Sako SPN menjelaskan pentingnya gerakan Pramuka. Menurutnya, anggota organisasi Pramuka merupakan terbanyak di dunia sejak didirikan pertama kali oleh Baden Powell pada tahun 1907 di Inggris.
Menurut Edwin, di Indonesia ada penegasan bahwa kegiatan Pamuka masuk ke dalam kurikulum di sekolah. Namun karena siswa mengikuti Pramuka tidak berdasarkan keinginannya, setelah lulus, mereka tidak aktif lagi. Seiring dengan itu generasi muda mulai krisis karakter. “Jika kita kehilangan harta benda, kita tidak kehilangan apapun, jika kita kehilangan kesehatan, kita kehilangan sesuatu. Jika kehilangan karakter kita kehilangan segalanya,” ujarnya.
Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2010 Tentang Gerakan Pramuka, semua kegiatan komunitas masyarakat bisa mendirikan Pramuka. Pada tahun 2012 LDII sudah mulai merintis Gerakan Pramuka Sako SPN yang diiringi lima provinsi dan menyusul provinsi lain dengan membuat Satuan Komunitas Daerah. “Kami ingin anak anak tak hanya sukses. Anak-anak tapi faqih, alim, dan berakhlaqul karimah. Hal tersebut akan sempurna jika diiringi dengan jiwa kemandirian,” ujarnya.
Meski lewat produk hukum Gerakan Pramuka sudah bisa menjangkau masyarakat luas, namun Gerakan Pramuka masih dirasakan belum membumi. Hal itu diperkuat oleh Kodrat Pramudho. Meski ada Gerakan Pramuka, tawuran antar pelajar, anak-anak yang merokok, dan perilaku negatif lainnya masih kerap terjadi.
“Gerakan Pramuka atau kepanduan bukan hanya ada di negeri kita, tapi juga di luar negeri. Permasalahan kita sejak berdiri sampai saat ini, pembaharuan mengenai Gerakan Pramuka lambat dan tidak mampu menangkal masalah kepemudaan,” ujarnya.
Sejak 2010 Kwartir Nasional Gerakan Pramuka sudah mencanangkan empat fokus revitalisasi kegiatan Pramuka berupa rebranding, Pramuka untuk pengabdian, penataan organisasi, dan penguatan jaringan. Kodrat berharap revitalisasi Gerakan Pramuka tidak hanya berlangsung di tingkat Kwartir dan Kwarda, di Gugus Depan bisa lebih hidup. Ia juga menambahkan revitalisasi gerakan Pramuka perlu melibatkan media massa.
“Revitaliasi Gerakan Pramuka mengembangkan gugus depan yang tak hanya berbasis sekolah. Seperti LDII gudepnya berbasis masjid, saya tidak setuju jika Pramuka berbasis pendidikan formal karena Pramuka diimplementasikan di lapangan. Kegiatan Pramuka memerlukan media massa agar bisa lebih membumi,” ujarnya.
Namun, Gerakan Pramuka di kalangan media masa belum dianggap sesuatu yang wajib diberitakan. Ditegaskan Folber Sialagan, media memiliki karakteristik tertentu dalam pemberitaan seperti seberapa besar pengaruh suatu peristiwa, kedekatan tokoh dalam peristiwa, peristiwa yang menyentuh perasaan, dan beberapa unsur lain yang terkait jurnalistik.
“Pramuka membutuhkan branding agar dilirik media. Pramuka harus tahu apa yang dibutuhkan media berdasarkan nilai berita agar kegiatannya menarik. Misalnya kegiatan pramuka mengundang tokoh yang dekat dengan publik, memecahkan rekor Muri, dan sebagainya,” ia menjelaskan.
Folber menyipulkan, untuk memahami karakteristik media memang tidak instan. Namun dengan memahami karakteristik pemberintaan, semoga kegiatan Pramuka diharapkan akan semakin besar. (Khoir/LINES)