Ini adalah statement yang cukup mengejutkan dari Zainul Arifin, tokoh perbankan syariah dan mantan Dirut Bank Muamalat, dalam salah satu sidang komisi pada Kongres Umat Islam Indonesia VI (KUII-VI) di Yogyakarta, 8-11 Pebruari 2015 yang lalu.
Sebagai ekonom dan mantan komisaris sebuah bank syariah saya tidak terlalu terkejut. Falsafah bank memang membela pemodal atau penabung, dan tidak membela nasabah-peminjam. Anda boleh jadi seorang nasabah peminjam setia yang berkualitas di mata sebuah bank, namun ketika bank tahu anda di ambang kehancuran bisnis atau menderita sakit yang mengancam kelangsungan bisnis Anda, hampir dipastikan bank akan menarik pinjamannya kembali atau berpikir ulang untuk menambah atau memperpanjang pembiayaan yang diberikan bank kepada Anda. Bank dan sistem perbankan kita memang tidak berpihak kepada nasabah peminjam.
Sebaliknya, sistem perbankan yang ada sangat melindungi nasabah penabung atau pemodal. Lihatlah bagaimana berbagai skema proteksi disediakan bagi penabung maupun deposan, sampai blanket guarantee oleh pemerintahpun disediakan dalam sistem perbankan, dan tidak demikian halnya bagi nasabah peminjam.
Statement Zainul sebenarnya dimaksudkan untuk menepis claim kalangan UMKM bahwa perbankan syariah dianggap masih memberlakukan tingkat bagi hasil yang lebih memberatkan UMKM bila dibandingkan dengan bunga bank konvensional. Oleh karena itu KUII ke-VI, sependapat dengan Zainul, mengusulkan agar pemerintah membentuk bank syariah berbasis modal wakaf uang dengan harapan bank itu bisa menekan biaya modal serendah mungkin sehingga bisa memberlakukan bagi hasil yang ringan bagi peminjam UMKM yang mayoritas adalah ummat Islam.
Saya meragukan bahwa langkah diatas bisa menjadi solusi bagi pengusaha UMKM saat ini. Selain menghimpun dana wakaf uang itu sendiri masih terbilang baru dan sulit, dalam sistem mixed economy seperti di Indonesia di mana dominasi sistem perbankan konvensional berbasis suku bunga sangat signifikan, hampir semua perhitungan cost of money dan bagi hasil bagi penabung selalu didasarkan kepada suku bunga yang berlaku pada sistem konvensional. Ini menjadikan bank syariah akan sulit memberlakukan nisbah bagi hasil yang kompetitif dan berpihak kepada UMKM. Lagi pula berapapun besarnya dana wakaf yang bisa dihimpun sebagai modal bank, dana pihak ketiga sebagai sumber dana pembiayaan pasti akan jauh lebih besar dibandingkan dengan dana wakaf. Dana ini menuntut rate of return setara market rate, sehingga kewajiban bank kepada penabung akan tetap tinggi. Berbagai upaya untuk memperbesar aset perbankan syariah hingga kini masih jalan di tempat. Setelah sekian tahun Bank Muamalat berdiri, kapitalisasi dana syariah dalam bank-bank dan lembaga keuangan syariah masih berada kurang dari lima persen dari aset perbankan nasional. Kesimpulannya, seberapa pun besar aset perbankan syariah nampaknya akan sulit bagi perbankan syariah untuk memberlakukan nisbah bagi hasil yang ringan bagi UMKM.
Menurut hemat saya yang perlu dan penting dibenahi dalam penguatan Lembaga-lembaga Keuangan Syariah adalah membentuk mindset umat Islam dalam memandang perlunya bermuamalah secara syar’iyah dan konsekuen. Ketika seorang pengusaha muslim datang ke bank syariah untuk mendapatkan pembiayan bagi usahanya, seharusnya yang menjadi tujuannya adalah untuk menghindari riba dalam melakukan bisnisnya, bukan untuk mendapatkan interest rate atau bagi hasil yang murah. Sebaliknya ketika seorang penabung muslim menabung di bank syariah, seharusnya dia mempunyai niat menghindari riba, mempercayakan penyimpanan uangnya kepada pihak yang amanah, dan mengharap uangnya yang (sementara) menganggur itu bisa memberikan manfaat bagi sesama muslim sehingga menghasilkan pahala. Walapun bagi hasilnya (bagi penabung) lebih rendah dari bunga deposito bank konvensional, atau beban bagi hasilnya (bagi peminjam) lebih berat dari suku bunga pinjaman bank konvensional, namun selisih ini harus bisa diterima sebagai risiko-biaya yang memang harus dibayar untuk mendapatkan kehalalan dalam kehidupan masalahnya.
Analoginya, ini bagaikan kita mau membayar lebih mahal sedikit untuk mendapatkan makanan sehat yang justru sering tidak enak dibandingkan dengan makanan yg murah dan enak tapi mengandung banyak kolesterol. Ridha Allah atas kehidupan muamalah yang halal dan penuh pahala memang bukan barang murah dan gratis. Ini bukan barang baru bagi umat Islam. Lihatlah betapa umat Islam mau membayar lebih mahal untuk “tour” ke tanah suci untuk berumrah atau berhaji dibandingkan dengan sekadar jalan-jalan ke negara lain yang justru lebih murah dan nyaman. Namun mengapa ketika harus membayar sedikit lebih mahal untuk terhindar dari riba dan dosa mereka ada yang berkeluh kesah? Masyarakat muslim yang memiliki kefahaman tinggi terhadap wajibnya bermuamalah secara halal akan sangat membutuhkan jasa lembaga lembaga pembiayaan syariah, sehingga dengan sendirinya akan menyebabkan tumbuhnya lembaga lembaga keuangan syariah itu sendiri. Demand creates its own supply…’
Membentuk mindset ini adalah bagian dari penegakan syariat Islam yang menjadi tugas dari para ulama, ustadz, mubalig, dai, majelis taklim, pondok-pondok pesantren dan ormas-ormas Islam untuk terus menerus mensyiarkannya kepada umat Islam.Tegaknya syariat Islam lebih ditentukan oleh kuatnya pemahaman umat Islam itu sendiri atas keyakinan (dalam hal ini) mewujudkan kehidupan bermuamalah secara syar’iyah, ketimbang menyandarkan harapan kepada para pakar dan pemikir ekonomi muslim yang sejak lama memimpikan bisa menyusun suatu konsep ekonomi Islam di Indonesia, atau kepada pemerintah untuk memfasilitasi kehidupan bermuamalah yang syar’iyah bagi umat Islam.
Pendapat ini bukan hal baru bagi para ulama maupun pakar ekonomi Islam di Indonesia. Saya juga yakin bahwa ekonomi syariah sudah diajarkan dan disosialisasikan di berbagai kampus dan pondok pesantren, maupun di kalangan umat Islam oleh ormas-ormas Islam di Indonesia. Namun gerakan sosialisasi dan pengajaran ekonomi syariah ini masih terasa kurang greget di kalangan umat Islam pada umumnya.
Salah satu yang menarik untuk diamati dan dapat dicontoh barangkali adalah program Dakwah Ekonomi Syariah dan pelaksanaannya di kalangan warga Lembaga Dakwah Islam Indonesia – LDII yang telah digulirkan sejak tahun 1998 pasca krisis moneter di tahun itu. Program gerakan menjauhi riba yang digencarkan melalui dakwah dalam kelompok-kelompok majelis taklimnya, Forum Grup Discussion (FGD), seminar-seminar ekonomi syariah, dan publikasi dakwah melalui majalah NUANSA, telah membuahkan berdirinya puluhan BMT (baitul maal wa tamwil) berbasis masyarakat yang tinggal di sekitar masjid. Beberapa diantaranya, seperti BMT Rukun Abadi, telah beromzetkan puluhan miliar rupiah dan membuka cabang di berbagai kota.
Beberapa tahun terakhir ini LDII berkolaborasi dengan beberapa bank syariah besar dan BPRS Amanah Insani Pondok Gede mendukung gerakan “hijroh” dengan menawarkan take over kredit konvensional menjadi pembiayaan syariah bagi warganya dan masyarakat yang menghendaki bermuamalah secara syar’iyah.
Belakangan, dengan diberlakukannya BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan yang wajib diikuti oleh setiap warga negara Indonesia LDII berkolaborasi dengan MUI, Masyarakat Ekonomi Syariah, ICMI serta beberapa ormas Islam lainnya, mulai menggulirkan isu kemungkinan diwujudkannya BPJS Syariah sebagai alternatif bagi mereka mereka yang ingin bermuamalah secara non-ribawi, dalam forum-forum seminar dan Focus Group Discussion. Usulan LDII agar dibentuknya BPJS Syariah juga telah diterima sebagai salah satu usulan KUII ke-VI di Yogyakarta kepada pemerintah.
Semua kegiatan tersebut adalah upaya-upaya mandiri umat Islam dalam rangka memperluas dan meningkatkan kefahaman dan keyakinan kehidupan bermuamalah secara syar’iyah dan non ribawi. Jika umat Islam bersama-sama berkolaborasi mengobarkan dan menghidupkan-hidupkan prinsip-prinsip ekonomi syariah, aset perbankan syariah dan jumlah lembaga dan sarana keuangan dan bisnis syariah akan tumbuh dengan sendirinya. Insyaallah. (Dr Bambang Kusumanto, Dewan Penasehat DPP LDII)