Suatu ketika Abu Nawas, tokoh jenaka di jaman Dinasti Abbasiyah ini, membikin heboh di pasar – pasar dan pusat – pusat keramaian lainnya dengan sebuah pernyataannya yang kontroversial. Bagaimana tidak, dengan suara khas lagi lantang, dia berseru dan mengabarkan kepada setiap orang bahwa dirinya lebih kaya dari Allah SWT, Tuhan semesta alam. “Aku lebih kaya dari Allah, aku lebih kaya dari Allah.” Demi melihat kelakuannya yang membuat heboh di tengah masyarakat itu, maka seperti biasa sang Khalifah Harun Al- Rasyid tak urung memanggilnya. Tujuannya cuma satu, untuk membuat klarifikasi atas ucapannya tersebut. Jika terbukti bohong, maka penjaralah tempat selanjutnya.
Syahdan akhirnya Abu Nawas dibawa dengan paksa menghadap sang Amirul Mukminin untuk memberikan penjelasan. Di depan sang maharaja itu Abu Nawas berkilah, “ Wahai Amirul Mukminin, bukankah kita semua tahu bahwa Allah itu tidak punya anak barang sebiji pun dan juga tidak punya istri? Sedangkan aku punya anak beberapa orang dari istriku. Maka dalam hal ini apakah salah jika hamba mengatakan bahwa saya lebih kaya dari Allah?”
Sang khalifah pun mangggut – manggut mendengar penjelasan Abu Nawas tanda mengiyakan. Karena penjelasan Abu Nawas mengandung kebenaran. Allah memang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Allah juga tidak punya istri. Abu Nawas memang cerdik. Dan seperti biasa sebelum melepas pulang tak lupa sang khalifah memberi hadiah beberapa ratus dinar atas kecerdikan si Abu Nawas.
Cerita singkat di atas sengaja saya sajikan untuk mengawali tulisan kali ini melengkapi episode sebelumnya, walau agak bombastis ceritanya. Pada episode – episode sebelumnya SKB lebih banyak berkutat dalam hubungan antara suami dan istri saja, kali ini kami bermaksud menyinggung “orang ketiga” dalam rumah tangga yaitu anak. Bangunan sebuah rumah tangga tentu tak lepas dari yang namanya anak. Karena dalam perjalanannya factor anak menjadi krusial dalam lajunya bahtera rumah tangga ke depan. Banyak yang oleng karena anak. Sebagian keluarga ada yang berjuang keras untuk mendapatkan momongan ini. Berusaha sekuat tenaga untuk memperolehnya. Bahkan tak jarang yang kandas dan berakhir dengan perpisahan. Karena anak. Di samping itu umumnya orang sepakat, ada yang kurang dalam sebuah biduk rumah tangga ketika belum ada suara tangis anak sebagai buah perkawinan mereka. Kenapa? Karena ia adalah representasi dari firman Allah dalam menjaga keberlangsungan anak Adam dan cermin sempurnanya rohmat Allah kepada anak manusia.
Allah berfirman: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang (mawaddah wa rohmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS ar-Ruum 21)
Sudah diketahui bersama bahwa tujuan utama menikah adalah untuk menyempurnakan agama, mengikuti aturan Allah dalam menyempurnakan nikmatnya buat makhluknya di dunia ini. Mawaddah warohmah akan lebih terasa dengan cara berkeluarga seperti ini.
Dari Anas ra., bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang dikaruniai Allah istri yang sholihat, maka sungguh Allah telah menolongnya atas separo agamanya, maka hendaklah dia bertakwa kepada Allah dalam separo yang lainnya.” (Rowahu ath – Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath dan al –Hakim)
Rasulullah SAW bersabda, “Nikahilah wanita yang penuh kasih sayang dan yang subur (banyak menghasilkan anak).” (Rowahu Abu Dawud, An- Nasa’i)
Selain itu sudah menjadi kodrat bahwa dalam menjaga keberlangsungan hidup dan kehidupan ini, Allah mengenalkan sebuah sistem yang disebut pernikahan. Lewat jalur inilah Allah berkehendak untuk menjaga keberlangsungan family (rahim), selain untuk menyempurnakan agama, guna berinvestasi dari masa ke masa. Jadi tidak hanya mencari kesenangan dan kenikmatan saja maksud dari pernikahan itu. Tetapi lebih. Kalau hanya itu tentu tak ada bedanya dengan lokalisasi atau seperti apa yang mereka lakukan yang menyebut dirinya beraliran bebas. Pernikahan adalah suci, sakral dimana Arsy dan sifat rahim Allah bergantung di situ.
Allah berfirman; “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan.” (QS Ar-Ra’du 38)
Maka sekarang campurilah/gaulilah mereka dan carilah apa – apa yang telah ditetapkan Allah untukmu. (QS Al- Baqoroh 187)
Inilah telaah lebih jauh dari arti mawaddah warohmah yaitu mendapatkan apa – apa yang telah ditetapkan Allah untuk manusia. Tak lain diantaranya adalah keturunan. Maka dalam hal ini petunjuk dari Rasulullah SAW begitu indah untuk kita cermati bersama.
Rasulullah SAW bersabda, ‘Maukah akau beritahukan kepada kalian, isteri – isteri kalian yang menjadi peghuni surga? Yaitu isteri yang penuh kasih, banyak anak, selalu kembali kepada suaminya jika suaminya marah dia mendatangi kepada suami dan meletakkan tangannya di atas tangan suami seraya berkata, “Aku tak dapat tidur sebelum engkau ridho”.’ (Rowahu an- Nasa’i)
Namun sekarang ada sebagian orang yang “memlesetkan” pemahaman tentang atsar – atsar di atas, seperti misalnya tidak mau punya anak yang penting bahagia. Atau mengatur – atur, menunda – nunda dengan alasan belum siap dan tak mau repot karenanya. Bagaimana hal ini bisa diterima, sedangkan jelas – jelas disebutkan salah satu kebahagiaan dalam berumah tangga adalah jika memiliki anak. Lihatlah pasangan Brad Pit dan Angelina Jolie, mereka tak mau punya anak tetapi akhirnya adopsi anak dari berbagai benua. Dulu pasangan Tom Cruise dan Nicole Kidman juga sama adopsi anak, tak lain agar mereka mendapat kebahagiaan. Maka jadi paradox, jika ada orang mencari kebahagiaan tetapi tidak mau mendapatkan keturunan dari tulung sulbinya sendiri. Bisa dikatakan pasangan yang hanya ingin menikmati hubungan suami istri tetapi tidak mau memiliki anak, seperti orang mau enak saja tetapi tidak mau bahagia. Karena salah satu syarat kebahagiaan adalah menikmati setiap proses tahap demi tahap, baik yang menyenengkan ataupun tidak menyenangkan. Karena semua ini adalah sunnatullah.
“Ada empat perkara yang termasuk kebahagiaan, yaitu istri yang sholihah, anak – anak yang baik, lingkungan tempat bergaul yang baik dan rejekinya berada di negeri sendiri.” (Rowahu Ibnu Asaakir)
Bagi yang sudah punya anak bersyukurlah. Anaknya banyak bergembiralah, walau taraf kehidupan belum sebaik yang diinginkan setidaknya bisa “nyombong” sedikit seperti Abu Nawas. Kalau pun tidak bersyukurlah bahwa anda telah memiliki syarat kebahagiaan yang orang lain banyak yang belum dapatkan. Anda punya ladang berinvestasi menjadikan anak – anak itu anak yang sholih, yang bermanfaat baik bagi yang hidup maupun yang telah mati. Orang semisal Abu Nawas saja bisa memberikan pelintiran arti pentingnya anak sampai menyebut dirinya lebih kaya dari Allah, tentulah sangat istimewa makna anak dalam kehidupan ini. Bukan saja anak sebagai symbol sebuah kebahagiaan keluarga, akan tetapi lebih dari itu semua, sebagai penerus berkembangnya agama yang hak ini ila yaumil qiyamah. Bagi yang belum punya anak jangan berkecil hati berusahalah terus dan pasrahkan semua hasilnya hanya kepada Yang Widhi. Nikmati prosesnya dan tunggulah hasilnya. Sebab ketika kita sudah memiliki anak, maka tersemai kewajiban di pundak kita untuk menjaganya dan menjadikan mereka seperti yang diajarkan oleh agama. Anak adalah amanat. Mari tunaikan dan bergembiralah.
Oleh: Ustadz.Faizunal Abdillah