“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali ‘Imran: 14)
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (an-Nuur: 30-31)
Tak ada yang istimewa dari undangan – undangan itu. Paling hanya kualitas kertas yang membedakan ‘sedikit’ pengirimnya. Biasanya undangan dengan mutu kertas yang bagus berasal dari kalangan berada. Sedangkan yang biasa, bisa dipastikan dari kalangan sederhana. Isinya juga serupa. Berisi waktu, tempat, mempelainya, pengundang, peta, jika dibutuhkan, dan permohonan doa restu. Kadang juga ada kutipan dari Kitab Suci atau kalimat hikmah lainnya, sebagai pembobot – pengobat rindu bagi pencarinya. Yang paling sering adalah ini;
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”(ar-Ruum: 21)
Atau;
Doa Nabi Muhammad SAW pada pernikahan putrinya Fatimah Azzahra dengan Ali Bin Abi Thalib : “Semoga Allah menghimpun yang terserak dari keduanya, memberkati mereka berdua, meningkatkan kualitas keturunan mereka, menjadikan pembuka pintu-pintu rahmat, sumber ilmu dan hikmah serta pemberi rasa aman bagi umat.”
Benarkah doa tersebut adalah doa Rasulullah SAW? Sampai saat ini saya belum pernah mendapatkan rujukan. Bahkan sebuah catatan kecil, Subhan Nurdin di dalam Kado Pernikahan Buat Generasiku, pada halaman 130 mengomentari doa tersebut sebagai berikut; “Padahal tidak terdapat dalam kitab – kitab hadits. Penulis menemukan makna kalimat di atas pada literatur syi’ah. Dan dalam hadits shohih justru Ali bin Abi Thalib meriwayatkan doa bagi kedua mempelai dengan “Barokallahu laka”. (Sunan At-Tirmidzi III: 400)”
Dari beberapa sumber yang saya temukan, Khutbah dan doa Nabi SAW pada pernikahan Ali dengan Fatimah adalah sebagai berikut;
“Segala puji bagi Allah yang terpuji dengan segala nikmat-Nya, yang disembah dengan ketentuan-Nya, yang ditaati dengan kekuasaan-Nya, yang ditakuti azab dan kekuasaan-Nya, yang meliputi perkara-Nya di langit dan bumi-Nya, yang menciptakan makhluk dengan takdir-Nya, yang mengistimewakan makhluk-Nya dengan hukum-Nya dan memuliakan mereka dengan agama-Nya, yang menjadikan mereka mulia dengan Nabi-Nya Muhammad saw. Sesungguhnya Allah nama-Nya Maha Mulia, Maha Tinggi dan Maha Agung. Ia telah menjadikan mushaharah (hubungan keluarga karena pernikahan) sebagai sebab penerus generasi, perkara yang menjadi sebab penyambung keluarga dan penerus generasi manusia. Allah yang Maha mulia firman-Nya menyatakan: “Dialah yang menciptakan manusia dari air kemudian menjadikan manusia punya keturunan dan mushaharah, dan Tuhanmu Maha Kuasa.” (Al-Furqan: 54). Perkara Allah swt berlaku dalam ketetapan-Nya, ketetapan-Nya berlaku dalam takdir-Nya, setiap ketetapan mempunyai takdir, setiap takdir mempunyai ajal, dan setiap ajal mempunyai kitab, “Allah menghapus apa yang dikehendaki dan menetapkan (apa yang dikehendaki), di sisi-Nya ada Ummul Kitab.” (Ar-Ra’d: 39).
Kemudian Nabi SAW berdoa[1] : “Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.” (Makarimul Akhlaq: 206, Syeikh Ath-Thabrasi)
Mungkin, itu semua tak penting. Pernahkah menemukan keganjilan lain, dari setiap kartu undangan itu? Tentu tidak. Sebab sudah diedit dan diperiksa ulang sebelum naik cetak.
Secara etimologi, nikah berarti adl-dlammu wa al-jam’u (mengumpulkan), al-wath-u (bersetubuh), dan al-aqdu (akad).
Adapun secara terminologi, nikah adalah dilaksanakannya sebuah akad yang dengannya diperbolehkan seorang laki-laki bersenang-senang dengan perempuan, baik untuk melakukan hubungan seksual, bersentuhan, bercumbu – rayu, maupun yang lainnya. Dalam terminologi lain, nikah adalah akad yang disyariatkan untuk memberikan kepemilikan istimta’ (bersenang-senang) laki-laki atas wanita. (Lihat Fathul Qadiir 2/339, ad-Daar al-Mukhtaar 2/355-357, asy-Syarh ash-Shaghiir 2/332, dan Mughni al-Muhtaaj 3/123.
Ibnu Abbas ra. berujar, “Seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW, lalu berkata, ‘Kami mempunyai seorang anak perempuan yatim. Dia telah dipinang oleh dua orang lelaki, yang seorang miskin dan yang lainnya kaya. Akan tetapi dia senang kepada yang miskin, sedangkan kami menyukai yang kaya’, Nabi saw bersabda, ‘Tidak pernah diketahui dua orang yang bercinta, setulus cinta dalam pernikahan.’” (HR. Ibnu Majah, Hakim, dan Baihaqi)
Sungguh indah memahami hadits di atas. Tentu saja semua pernikahan didasari atas cinta. Dan dengan cinta itulah kendaraan menuju bahagia. Sayang banyak yang masih terjebak dalam kubangan cinta itu sendiri dalam menjalani kehidupan berumah tangga. Masih saja banyak orang yang mencintai diri sendiri. Belum sepenuhnya mengerti arti sebuah pernikahan yang sejati. Dalam hal ini, seorang guru pernah bercerita dengan apik mengenai gambaran sederhana sebuah pernikahan.
Seorang wanita muda tergopoh – gopoh menilpun sebuah percetakan. “Apakah anda ingat kartu pernikahan yang saya pesan minggu yang lalu? Saya tidak tahu apakah sekarang sudah terlambat untuk membuat beberapa perubahan?”
“Katakan perubahan-perubahan itu nona, dan saya akan melihatnya; apakah mungkin untuk membuat perubahan itu sebelum dicetak?” kata pemilik percetakan itu.
“Baiklah. Waktunya lain, masjidnya lain, dan calon suami juga lain.”
“Lho, kenapa bisa begitu?” kata pemilik percetakan terheran – heran.
“Ya, karena saya harus menikah dengan orang lain. Bukan dengan diri saya sendiri lagi.”
Nah, sedulur semua, ada satu hal yang perlu dicatat untuk memperoleh kebahagiaan dalam pernikahan kita. Ingatlah, sungguh mustahil dapat bahagia menikah dengan orang lain, kalau ia tidak pertama-tama bercerai dengan dirinya sendiri.
Sudahkah?
Oleh : Faizunal Abdillah