Dari Aswad ia berkata, ‘Aku bertanya kepada Aisyah ra., “Bagaimana Nabi berbuat – bertindak – tanduk di dalam rumahnya?’ Aisyah ra. menjawab, “Beliau ada dalam kerepotan keluarganya, maksud Aisyah yaitu, melayani keluarganya, maka ketika datang waktu sholat Beliau keluar untuk sholat.” (Rowahu al-Bukhori K. an-Nafaqoot)
Menurut hemat saya, hadits ini begitu penting dalam membangun, membina dan merekonstruksi hubungan yang harmonis dalam rumah tangga. Hadits ini memberikan penjelasan hadits – hadits lain yang terkait dengan masalah ketaatan dalam berumah tangga. Karena hadits ini menunjukkan bagaimana sikap keseharian Nabi SAW di dalam keluarga. Sebuah contoh yang jelas yaitu melayani. Ikut berepot – repot, guyub – rukun, bahu – membahu dalam pekerjaan sehari – hari. Dengan pelayanan yang baik inilah diharapkan ada feed back yang baik pula, berupa ketaatan sang istri dan anak – anaknya. Maka kemudian ada atsar yang menyebutkan pemimpin kaum adalah pelayan mereka. Hadits ini menunjukkan teladan yang sempurna bagaimana menunaikan kewajiban terlebih dahulu sebelum menuntut haknya. Bukan sebaliknya.
Maka terjawab sudah dialog pada SKB – 1, tentang suami yang mencuci baju itu. Tak lain karena sikap melayani, saling pengertian untuk menyelesaikan tugas bersama. Asal kedua belah pihak ridho, dibicarakan bersama, dimusyawarahkan tentu tidak mengapa. Tidak duduk jegrang, ongkang – ongkang, dasar wong lanang – layaknya raja. Tinggal perintah ini dan itu. Dan atau istri seperti babu. Yang pontang – panting ngerjain ini dan itu. Lari ke sana, lari ke sini, mulai matahari terbit sampai mata suami terpejam. Sudah siangnya kerja keras banting “tulang”, malamnya masih harus memikul beban “tulang” suaminya. Alangkah menyedihkannya. Tersadar dengan keadaan seperti ini, muncullah sebuah keluhan walaupun anaknya telah banyak tapi lupa bagaimana menikmati enaknya berhubungan suami istri. Kenapa? Sakdermo taat, katanya. Sebab badan sudah capek, takut dosa menolak ajakan suami, akhirnya menerima saja. Menggugurkan kewajiban, dalihnya. Dan biasanya suami juga tanpa ba bi bu, langsung to the point saja. Paribasane selawe nggeblag dhewe.
Mari kita cermati kembali dalil – dalil ketaatan ini. Kalau mau jujur, dalil yang banyak diaplikasikan, dijadikan hujah oleh para suami terhadap istri adalah dalil ketaatan bagi rukyah dengan ulil amrinya. Dimana disebutkan bahwa seorang muslim itu harus taat di waktu senang, susah, waktu terpaksa dan pilih kasih. Juga kewajiban taat selama tidak ma’siat. Sebenarnya tidak salah menggunakan dalil – dalil ini di dalam rumah tangga, hanya harus tetap diingat bahwa ada kalimat mastatho’na yang juga berlaku di dalamnya. Jangan hanya diambil enaknya saja, harus mengikuti perintah tak boleh nolak, seolah – olah menghilangkan mastatho’na bagi sang istri. Apalagi dibarengi ancaman seperti nanti dilaknat malaikat lho kalau nolak. Bisa dibayangkan situasi seperti ini. Apakah indah? Tentu tidak. Apakah enak? Ya enak bagi suami, tapi penderitaan buat istri. Hidup di bawah bayang – bayang ancaman dan tekanan. Satu dua kali mungkin bisa diterima, kalau yang demikian itu berjalan lama, tentu sesuatu yang tidak diharapkan. Atau berkiblat pada dalil di bawah ini.
Dari Abu Huroiroh ra. ia berkata, “Dikatakan kepada Rasulullah SAW manakah perempuan yang baik?” Beliau menjawab,”Yaitu perempuan yang menyenangkan pada suami ketika dipandang, dan mentaatinya ketika diperintah dan tidak menyelisihi di dalam diri dan hartanya dengan apa – apa yang dibenci oleh suami.” (Rowahu an-Nasaa’i Kitabun Nikah)
Kalau ini yang dijadikan hujah, pertanyaannya adalah seberapa besar peran suami untuk menjadikan perempuan itu baik? Apakah kita sudah merasa memberikan bekal dan pembelajaran yang cukup kepadanya? Atau kita terima jadi tanpa mau tahu bagaimana kondisi istri sebelumnya? Inilah yang sering terjadi. Kita banyak terima jadi, seolah – olah semua istri kita itu sudah paham dan mengerti diri kita. Tanpa bersusah payah melakukan dialog dan membangun komunikasi yang intens sebagai pembelajaran dan meraih kondisi yang lebih baik.
Ketaatan yang baik, tentu dibangun atas dasar – dasar yang baik pula. Nah, dasar itu adalah berupa kesepahaman dari dua belah pihak. Menciptakan komunikasi yang baik. Menyediakan waktu yang cukup dan ada media yang menjembataninya. Yang ngatur seneng dan yang diatur juga seneng, itu tujuan akhirnya, sehingga bisa berjalan langgeng. Memang dalam perjalanan sebuah keluarga tidaklah mulus terus, makanya ada dalil kala susah, terpaksa, senang dan pilih kasih. Itu riaknya, yang berlaku temporer, sewaktu – waktu bukan untuk selama – lamanya. Kalau pilih kasih, terpaksa dan di bawah ancaman berlaku selama – lamanya, berarti proses pembelajaran tidak berjalan alias gatot – gagal total.
Oleh :Ustadz.Faizunal Abdillah