Oleh: Faizunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.
Suatu malam, Sang Guru Bijak menerima kabar lewat medsosnya; “Ada sebuah rumah dengan delapan anak yang sudah berhari-hari tidak makan.” Mengetahui berita itu, bergegaslah Sang Guru Bijak membawa makanan untuk mereka. Sesampai di sana, ia melihat wajah anak-anak yang kosong. Tak ada kesedihan ataupun ratapan kepedihan di wajah mereka, hanya derita yang dalam karena kelaparan.
Sang Guru Bijak buru-buru memberikan makanan yang dibawanya pada sang Ibu. Bukannya langsung memberikan ke anak-anaknya, pertama-tama ia membagi makanan menjadi dua bagian. Kalau anda berpikir satu bagian untuk anak-anaknya dan satu bagian lainnya untuk ibunya, anda salah. Karena satu bagian langsung dibawa sang Ibu itu keluar. Ketika ia kembali, Sang Guru Bijak bertanya; “Kau pergi kemana?” Ibu itu menjawab dengan suara lirih;”Ke tetangga-tetanggaku. Mereka juga lapar.”
Sang Guru Bijak tersentuh. Kagum dan takjub. Ia tidak heran kala si Ibu membagi nasi itu dengan tetangga-tetangganya, bahwasanya orang-orang yang sering bergelut dengan penderitaan dan kekurangan mempunyai jiwa pemurah. Yang ia herankan adalah karena si Ibu tahu, bahwa mereka para tetangganya juga lapar. Sebab biasanya kalau orang sedang menderita, mereka begitu terfokus pada diri mereka sendiri, sehingga tak punya waktu untuk memikirkan orang lain.
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوا أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكاةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتالُ إِذا فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللَّهِ أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً وَقالُوا رَبَّنا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتالَ لَوْلا أَخَّرْتَنا إِلى أَجَلٍ قَرِيبٍ قُلْ مَتاعُ الدُّنْيا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقى وَلا تُظْلَمُونَ فَتِيلاً (77)
“Tidakkah kamu perhatikan (Muhammad) orang-orang yang dikatakan kepada mereka, “Tahanlah tangan kalian (dari berperang), dirikanlah salat, dan tunaikanlah zakat!” Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebagian dari mereka takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih (sangat) dari itu takutnya. Mereka berkata, “Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan kepada kami berperang? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami sampai ke beberapa waktu lagi?” Katakanlah, “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar, dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kalian tidak akan dianiaya sedikit pun.” (QS An-Nisaa:77)
Di lain tempat dan waktu, Sang Guru Bijak pun bercerita tentang Bill Gates. Bukan masalah perceraiannya, tetapi sisi lain dari humanismenya. Ada seseorang bertanya kepada Bill Gates: “Adakah orang yang lebih kaya dari dirimu?” Bill Gates menjawab; “Hanya satu orang. Bertahun-tahun yang lalu, waktu aku miskin, aku pergi ke bandara New York, aku membaca surat kabar yang digelar di sana. Aku tertarik pada salah satu surat kabar tersebut, aku ingin membelinya ternyata koinku tidak cukup. Tiba-tiba seorang anak kulit hitam memanggilku dan mengatakan; “Koran ini untuk anda!” Aku berkata; “Tapi, koinku tidak cukup.” Dia berkata; “Tidak masalah, aku memberikan kepada Anda gratis!”
Setelah tiga bulan, aku pergi lagi ke bandara New York. Secara kebetulan cerita itu terjadi lagi, anak yang sama memberikanku koran gratis. Aku bilang aku tidak bisa menerimanya lalu ia berkata; ‘Aku akan memberimu keuntungan dari apa yang telah aku lakukan.’
Setelah lewat 19 tahun, aku sudah kaya dan aku memutuskan untuk menemukan anak itu. Aku menemukannya setelah satu setengah bulan mencarinya. Aku bertanya padanya; “Kau kenal aku?” Dia bilang; “Ya, kau terkenal Bill Gates.” Aku bilang; “Beberapa tahun yang lalu kau memberiku surat kabar gratis dua kali. Sekarang, aku ingin mengimbangimu. Aku akan memberikan semua yang kau inginkan.” Pemuda kulit hitam itu menjawab; “Anda tidak dapat mengimbangiku!” Aku bilang; “Kenapa?” Dia berkata; “Karena saya memberi Anda ketika aku miskin, sedangkan Anda ingin memberi saya ketika anda kaya. Jadi bagaimana anda bisa mengimbangiku?”
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: «جُهْدُ الْمُقِلِّ وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ» . رَوَاهُ أَبُو دَاوُد
Dari Abu Hurairah ra. dia berkata: “Ya Rasulullah, manakah sedekah yang lebih utama?” Rasulullah SAW menjawab; “Sedekah yang paling utama adalah sedekah maksimal (mempersungguhnya) orang yang tidak punya, dan mulailah dari orang yang kamu tanggung.” (HR. Abu Dawud)
Bill Gates bilang; “Kurasa pria kulit hitam itu lebih kaya dari aku. Kita tidak harus menunggu kaya untuk memberi, karena adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima!”
Si Ibu dan Tukang Koran dalam cerita di atas adalah orang-orang yang patut dijadikan teladan bagi jiwa-jiwa yang berorientasi pada kemajuan spiritual. Memang tidak diketahui namanya, tidak bisa ditanya alamatnya ataupun ditemui orangnya. Namun, mereka merupakan contoh orang-orang yang telah dapat melampaui dirinya sendiri. Ada walaupun tidak banyak. Ibrah orang yang dapat melepaskan keterikatannya pada kebutuhan fisik dan secara bersamaan memenuhi kebutuhan spiritualnya yaitu untuk berbagi dengan orang lain. Kurang sih tetap kurang. Namun dalam kekurangannya muncul mentalitas berbagi dan niat tulus ikhlas. Mungkin jumlahnya seribu – satu. Kehadirannya semacam setetes embun di pagi hari. Kualitas semacam ini tentu tak dapat diraih dalam waktu singkat. Ini memerlukan proses pergulatan batin dan perjuangan sekaligus pengorbanan yang cukup panjang. Karena kehidupan manusia memang senantiasa menjadi tempat pergulatan dua kepentingan utama: fisik dan spiritual.
Kepentingan fisik adalah hal-hal yang kita butuhkan untuk bisa hidup saat ini, seperti sandang, pangan dan papan. Ini kebutuhan jangka pendek kita. Sementara, kepentingan spiritual adalah hal-hal yang kita butuhkan untuk hidup di masa sekarang dan masa yang akan datang. Ini adalah kebutuhan jangka pendek sekaligus jangka panjang. Pemenuhan kedua macam kebutuhan ini akan menghasilkan kualitas hidup yang tinggi. Sayang, banyak orang yang belum menyadari hal ini. Mereka menghabiskan hidup mereka hanya untuk mengumpulkan harta benda. Untuk itu mereka juga tak segan-segan menggunakan segala cara untuk meraihnya.
Sang Guru Bijak mengingatkan, bahwa semua kejahatan yang ada di dunia ini berasal dari satu kata: keserakahan. Dan, akar keserakahan tertumpu pada cara pandang kita terhadap hidup ini. Selama kita melihat diri kita semata-mata makhluk fisik belaka, selama itu pula kita tak dapat membendung keinginan kita untuk mengumpulkan harta benda sebanyak-banyaknya. Namun begitu kita sadar bahwa kita bukanlah makhluk fisik tetapi makhluk spiritual, perubahan dramatis akan terjadi. Kita adalah makhluk spiritual untuk selama-lamanya. Sebelum muncul ke dunia, kita adalah makhluk spiritual, ketika hidup sekarang kita juga makhluk spiritual, dan ketika kita meninggal kita tetap menjadi makhluk spiritual. Saat ini saja kita dipinjami bentuk fisik sebagai rumah bagi ruh spiritual kita.
كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (28)
Mengapa kalian kafir kepada Allah, padahal kalian tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kalian, kemudian kalian dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kalian dikembalikan. (QS Al-Baqarah: 28)
Kali ini kita bukan belajar masalah miskin dan kaya, dari si Ibu dan tukang koran itu, tetapi lebih dalam lagi. Tidak masalah ketika kita ditakar dengan ukuran kepemilikan harta sehingga menjadi miskin atau kaya, tetapi sungguh akan bermasalah ketika ternyata jiwa kita benar-benar merana. Jiwa yang miskin sebenar-benarnya dengan tidak mau lagi memperbaiki spiritualitas kita. Semua orang berhak menjadi kaya. Sebab dengan kekayaannya bisa digunakan untuk mempermudah jalan hidupnya. Jadilah orang kaya yang bisa melampaui diri sendiri, sehingga menjadi kaya yang barokah. Namun seandainya takdir berbicara lain, tetap masih ada jalan penuh cahaya yang tersedia, yaitu dengan menjadi kaya sebelum kaya, yakni kaya hati – melampaui diri sendiri. Bukan harta yang menjadi ukurannya, melainkan kemampuan spiritualitas yang ada disebaliknya.
Dalam riwayat Ibnu Hibban, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat berharga kepada sahabat Abu Dzar. Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata:
قَالَ لِي رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَا أَبَا ذَرّ أَتَرَى كَثْرَة الْمَال هُوَ الْغِنَى ؟ قُلْت : نَعَمْ . قَالَ : وَتَرَى قِلَّة الْمَال هُوَ الْفَقْر ؟
قُلْت : نَعَمْ يَا رَسُول اللَّه . قَالَ : إِنَّمَا الْغِنَى غِنَى الْقَلْب ، وَالْفَقْر فَقْر الْقَلْب
“Rasulullah SAW berkata padaku, “Wahai Abu Dzar, apakah engkau memandang bahwa banyaknya harta itulah yang disebut kaya?” “Betul,” jawab Abu Dzar. Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau memandang bahwa sedikitnya harta itu berarti fakir?” “Betul,” Abu Dzar menjawab dengan jawaban serupa. Lantas beliau pun bersabda, “Sesungguhnya yang namanya kaya adalah kayanya hati (hati yang selalu merasa cukup). Sedangkan fakir adalah fakirnya hati (hati yang selalu merasa tidak puas).”
Nah, dalam hal ini Sang Guru Bijak memberikan tip meraihnya. Salah satu jalan spiritual paling efektif untuk menyadari hal itu adalah dengan menjalankan laku berpuasa. Dengan puasa kita akan sadar bahwa kebutuhan (ini berbeda dengan keinginan) kita sebetulnya sangatlah sedikit. Berpuasa juga akan menyadarkan kita bahwa dengan mengurangi kenikmatan fisik kita akan mendapatkan kenikmatan spiritual yang luar biasa. Dengan berpuasa kita keluar melampaui “diri rendah” kita menuju diri kita yang lebih tinggi. Dengan puasa kita lepaskan keterikatan kita pada gravitasi bumi. Kita bergerak melesat mengikuti gravitasi langit sebagai orang yang bertakwa.
Subhaanallooh,mdh mdhan kita selalu menjadi org-org yg bersyukur aamiin
Alhamdulillah memberikan inspirsdi, motivasi untuk selalu berbuat baik kepada siapapun, alhamdulillah jazaa kumullohu khoiro
Bisa untuk intropeksi diri, spy sll mersa cukup dan bersyukur dgn apa yang kita miliki sekarang. Alhamdulillah jazakallohu khoiro
Inspiratif
sangat inspiratif