Oleh: Faizunal A. Abdillah
Pemerhati lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.
Saya terkejut, ketika petenis ranking 1 dunia, Novak Djokovic, didiskualifikasi dari US Open beberapa waktu lalu. Gara-garanya sederhana, cuma tak sengaja memukul bola mati yang dipegangnya ke belakang dan mengenai hakim garis wanita tepat di lehernya. Akibat pukulan itu, hakim garis terkejut dan tersungkur sampai mendapatkan pertolongan pertama. Walaupun setelah diperiksa hasilnya baik-baik saja, Djokovic pun harus merelakan kesempatan merebut gelar dan menerima ganjaran akibat ulahnya. Banyak kejadian-kejadian lain di dunia olah raga, yang sering dibilang sportif, ketidaksengajaan berarti pelanggaran. Dan hasilnya bisa ditebak sebuah hukuman sebagai konsekuensinya.
Melihat pelaksanaan peraturan-peraturan yang dibuat manusia untuk disepakati, terkadang terasa kejam, pilih kasih dan kadang tajam ke bawah, tumpul ke atas. Dan tak jarang melupakan intensinya. Dalam satu waktu bisa jadi dimaafkan tanpa hukuman, tapi di lain waktu bisa jadi kena hukuman. Dengan pelanggaran yang sama, masalahnya. Mencederai nurani, katanya. Tidak ada standar yang jelas sebagai ukuran pelaksanaannya. Bahkan ada pasal lalai atau pembiaran. Untuk menunjukkan seperioritasnya. Menarik sekali memang, apalagi jika bisa mengambil hal ini sebagai pembelajaran untuk bertumbuh. Sebab – kalau mau jujur- banyak sekali kita berlindung dengan ketidaksengajaan ini dalam keseharian, termasuk dalam ibadah sekalipun.
Kata tak sengaja, umunya hanya dipakai sebagai alibi saja. Bahkan dengan korban jiwa yang tak terduga sekalipun. Seperti Iran yang minta maaf ke Ukraina, karena tak sengaja menembak jatuh pesawat komersialnya. Apalah arti 176 korban jiwa, ia lebur dengan kata maaf tak sengaja. Atau kasus tabrak lari yang banyak makan korban. Biasanya, jika pelaku ketangkap alasan utama karena tak sengaja menabrak. Tapi, nyawa sudah tidak ada. Bahkan dalam satu kehidupan rumah tangga, biasanya juga bilang tak sengaja, jika punya banyak anak. Bercanda atau sungguhan, jadi tersamarkan.
Tidak usah jauh-jauh, di lingkungan kecil keluarga juga sama. Anak-anak ketika melakukan kesalahan, kebanyakan alasan yang disampaikan juga karena tak sengaja. Waktunya mengaji malah tidur, bilangnya tak sengaja. Shalat terlambat, alasannya gak sengaja. Membuat adiknya menangis, karena terjatuh dan luka di kepala, singkat ceritanya juga tak sengaja. Mematahkan keran air, memecahkan piring, menendang gelas minum, merusak kunci pintu bilangnya juga tak sengaja. Kadang memang ampuh, penggunaan kata-kata ini. Apalagi jika sulit mencari kata-kata pembelaan, tak sengaja menjadi pembenaran.
Ketika saya menceritakan kejadian di atas dan peristiwa-peristiwa serupa yang viral, Sang Guru Bijak menghadiahi saya sebuah riwayat indah berikut. Selain itu, beliau meminta saya untuk merenungkan dalam-dalam agar bisa memahami hikmah dan cahaya dibaliknya.
عَنْ أَبِي ثَعْلَبَةَ الخُشَنِيِّ جُرثُومِ بْنِ نَاشِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنْ رَسُولِ اللهِ ﷺ قَالَ: «إِنَّ اللهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلَا تُضَيِّعُوهَا، وَحَدَّ حُدُوْداً فَلَا تَعْتَدُوهَا وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلَا تَنْتَهِكُوهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلَا تَبْحَثُوا عَنْهَا» حِدِيْثٌ حَسَنٌ رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ وَغَيْرُهُ.
Dari Abu Tsa’labah Al-Khusyaniy Jurtsum bin Nasyir radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban, maka janganlah engkau menyepelekannya, dan Dia telah menentukan batasan-batasan, maka janganlah engkau melanggarnya, dan Dia telah pula mengharamkan beberapa hal, maka janganlah engkau jatuh ke dalamnya. Dia juga mendiamkan beberapa hal, karena kasih sayangnya kepada kalian bukannya lupa, maka janganlah engkau membahasnya.” (Hadits hasan, Rowahu Ad-Daruquthni dan selainnya).
Menyikapi dalil di atas, dan melihat fenomena di tengah masyarakat yang demikian dinamis, rupanya Sang Guru Bijak hanya senyum-senyum saja. Dengan segudang asam –garam kehidupannya, ia menanggapi dengan santainya, seolah-olah, mengisaratkan dengan tangannya, untuk mengalir saja – flowing. Bahkan pada akhirnya Sang Guru Bijak wanti-wanti dengan kalimat sederhana yang padat dan singkat. Pesannya; “Sing penting slamet (Yang penting selamat).”
Pesan singkat itu sangat nyantol dipikiran saya. Tentu yang dimaksud adalah selamat untuk semua; untuk diri, keluarga dan sekitar. Pol-polnya tidak bisa menyelamatkan orang lain, yang paling penting, selamatkan diri sendiri dulu saja. Agak berat memang, namun harus terus dicoba, hingga bisa memahami maksud keluasan hukum Allah sesuai atsar di atas. Nah, seiring waktu datanglah pemahaman dan pencerahan yang ditunggu. Pencerahan itu berasal dari pesan tua berikut ini.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَال: «إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِي عَنْ أُمَّتِي: الخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ» حَدِيْثٌ حَسَنٌ رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ وَالبَيْهَقِيُّ وَغَيْرُهُمَا.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya Allah memaafkan umatku ketika ia keliru/tidak sengaja, lupa, dan dipaksa.” (Hadits hasan, HR. Ibnu Majah Al-Baihaqi, dan selainnya)
Dengannya, ada batasan yang bisa kita buat dan fahami. Memang keliru, tak sengaja, itu dimaafkan. Karena Alalh memperkenankan dan tidak mengurangi sedikitpun keluasanNya. Namun keliru dan tak sengaja, biasanya itu tidaklah terjadi berulang kali.