Indonesia sepakat memaksimalkan penggunaan Energi Baru Terbarukan sesuai mandat besar pemerintah. Namun banyak tantangan yang dihadapi. Dijelaskan oleh Ir.Hudoyo Staf Ahli Menteri LHK Bidang Energi, Indonesia sebenarnya sudah mulai meninggalkan energi fosil. Dari 8 persen pemanfaatan EBT, Potensi energi air baru 6,4 persen , bio energi 5,1 persen, panas bumi indonesia 4,1 persen.
“Konsumsi energi paling besar ada di rumah tangga, kedua transportasi, terakhir Industri. Sebagian besar dipasok dari batu bara dan gas. Sementara bio masa masih sedikit pemanfaatannya,” ujar Hudoyo.
Terkait masalah kebijakan, sebagai pihak yang berwenang soal energi, sangat disayangkan pihak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berhalangan hadir memberi pemaparan. Kepada para peserta FGD, Hudoyo sebagai representasi pemerintah pun kewenangan LHK terkait masalah EBT LHK hanya sebatas penyedia ruang di dalam kawasan Hutan.
LHK punya kawasan hutan 126 juta hektar. Indonesia punya 60 persen kawasan hutan. Kawasan hutan konvervasi, cagar alam, hutan lindung, dan hutan produksi. Untuk hutan produksi digunakan untuk pengusahaan bio massa.
“Kita tidak perlu pusing-pusing soal listrik jika bisa memanfaatkan panas bumi, mikrohidro. Semua ada di lahan konservasi. Kebutuhan listrik indonesia jika dipenuhi panas bumi sudah cukup karena ada 331 titik potensi panas bumi sangat besar. Di kita pemanfaatan baru 9,3 persen dari titik yang ada,” ujarnya.
Namun Kadin Bidang EBT Fauzi Imron memberikan pandangan lain. Untuk mencapai 23 persen pemanfaatan EBT, Ada gap 16 persen yang harus dipenuhi. Dijelaskan oleh Fauzi Imron, Untuk mencapai 23 persen target itu Indonesia butuh 36 Ribu Mega watt dari EBT. Jika 1 Mega Watt Geotermal sejumlah 5,5-16 juta dolar, air 2,5 juta dolar per Mega Watt, dibutuhkan investasi 90 milyar Dolar.
“Apakah pemerintah serius dalam hal ini? Kendala dalam EBT, menteri ESDM membuat kebijakan yang tidak konsisten soal EBT. Maksudnya Meski peraturan sudah naik, BUMN tidak mengimplementasi dengan benar,” ujarnya.
Untuk bisa mencapai itu butuh investasi yang besar. Menurutnya dilihat dari kacamata pebisnis, investasi besar tapi kebijakan menteri yang tidak stabil tentu merugikan pengusaha. Harga EBT juga harus berkeadilan dan pemerintah mengadakan subsidi. Hal serupa juga dikeluhkan Peneliti Senior BPPT Suryo Buwono.
“Biaya investasi EBT relatif mahal. Skala kecil namun balik modal lama. Masalah regulasi tidak konsisten dan berubah-ubah alias inkonsistensi peraturan. Satu pemerintahan pun menteri lain kebijakan,” ujarnya.
Ditengah tantangan itu, Suryo Buwono mengajak peserta untuk optimis. Indonesia jangan mau kalah dengan Norwegia . Norwegia Saja sudah memanfaatkan Mikrohidro 98 pesen dari potensinya. Indonesia baru memanfaatkan 1 persen dari potensinya. “Indonesia memiliki potensi yang luar biasa namun perlu mengelaurkan kebijakan yang mendorong pelaku kepentingan memanfaatkan EBT,”ujarnya.
Di akhir perbincangan semua narasumber memuji apa yang telah dilakukan LDII. Tidak hanya pengusaha dan pengembang, LDII juga mengembangkan EBT. Seperti Panel Surya di Ponpes Walibarokah Kediri dan Mikrohidro Perkebunan Teh Jamus. Dengan Jujur, Ketua DPP LDII Prasetyo Sunaryo menjelaskan, pengembangan EBT itu tidak ada unsur bisnis
“Asal usulnya dari shodaqoh warga LDII. Jika kerjasama berbentuk publik-privat maka jatuhnya akan menjadi bisnis, uang shodaqoh investasi ditanggung umat. Ponpes Walibarokah hanya membiayai operasionalnya. Demikian juga perkebunan teh jamus mikrohidro,” ujarnya.
Inilah yang konsep tanggung renteng yang ingin disampaikan Prasetyo Sunaryo. Tidak hanya unsur pemerintah dan pengusaha saja, rakyat juga harus berpartisipasi mewujudkan pemanfaatan EBT. Harapannya fasilitas EBT bisa terjangkau dengan merata dan Indonesia pun mampu mencapai 23 persen perjanjian Paris Agrement.(khoir/lines)