Kadang orang mati lebih berharga dari orang hidup. Contohnya, kuburan ramai dikunjungi orang, baik yang berniat baik – untuk mengingat mati, atau yang berniat jelek – untuk pemujaan dan sebagainya. Di sisi lain, banyak perkataan – perkataan orang yang mati dijadikan dalil begini dan begitu. Lebih dekat lagi, kadang perkataan orang yang mau mati lebih didengar daripada biasanya. Dituruti apa maunya, setidaknya sebagai penghormatan, begitu logika orang yang hidup. Maka biar tidak kebablasan agama pun mengaturnya dengan apa yang disebut dengan wasiat.
Allah berfirman: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqoroh 180 – 181)
Bagi yang mafhum, ayat di atas memang mansukh dengan ayat – ayat waris, namun ayat ini menunjukkan betapa wasiat menjadi hal yang penting dalam kehidupan ini. Kalau masalah harta sudah ada pakemnya dengan ayat waris, kalaupun mau wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 harta. Tapi kalau wasiat berupa kata – kata bijak, tak ada batasannya berapa pun jumlahnya, kecuali jika menentang aturan Allah dan Rasul. Namun biasanya wasiat itu padat, singkat dan jelas.
Ceritanya, dua hari menjelang ajal, seorang rekan kerja Tono, sebut saja begitu, memberinya ”wasiat” mengenai hidup. Waktu itu, sehabis menjalani penyinaran pada paru-parunya akibat kanker stadium tiga, pria tersebut meminta Tono tidak buru-buru pulang. ”Temani aku dulu,” pintanya.
Oke, Tono tak keberatan. Sahabat karib itu pun menyampaikan tugas-tugasnya yang belum kelar, dan agar Tono membantunya. Ia kontan berpikir: ”Jangan-jangan maut sudah dekat.” Ada semacam peringatan akan datangnya kematian. Apalagi, secara fisik, tubuh pria itu tinggal kulit pembalut tulang, tidak segempal dulu.
Memang, pada umumnya, manusia tidak memahami tanda-tanda alam. Kurang waskita. Setelah kejadian, barulah mata terbelalak: ”Oh, pantas omongannya ngelantur.” Benar saja. Dua hari setelah ”berwasiat”, laki-laki itu meninggal. Pesan akhir yang mudah diingat –tapi memberi makna dalam– pada Tono adalah: ”Jalani hidup ini apa adanya.”
Rekan Tono itu tergolong pekerja tangguh. Semangatnya tak pernah surut. Siang-malam dia kerja, tanpa mengenal lelah. Segala potensi digali agar menjadi orang sukses. Dan, akhirnya sukses betul! Harta terkumpul. Rencananya, kelak, harta itu bisa untuk bekal hidup anak dan istrinya.
Ternyata, skenario Yang Di Atas lain lagi. Dana ratusan juta itu ludes untuk mengobati penyakitnya. Kata bijak sering mengingatkan; waktu muda habis untuk mengejar kekayaan, melupakan kesehatan. Saat tua, kesehatan menghabiskan waktu dan kekayaan yang dikumpulkan. Itulah bagian dari rahasia hidup, kalau mau merenung barang sejenak. ”Kita boleh merencanakan, akan tetapi Allah yang menentukan,” ujar Tono, menyadari keterbatasannya sebagai manusia.
Setelah wasiat itu ia mengalami peristiwa yang sangat menyesakkan hati. ”Kalau saya tidak ingat wasiat itu, tidak kuat-kuat iman, bisa bunuh diri,” ujarnya, terus terang. Rekan seprofesinya, yang duitnya US$ 3 juta amblas dari bursa saham, nekat menyudahi diri dengan cara berlari, lalu menabrak dinding kaca dari lantai 20. Tubuhnya kontan menghunjam ke bawah, remuk dan tewas seketika.
Tono memang bermain valas. Sehari dia bisa untung Rp 5 juta lebih. Rezeki mengalir bak sendang. Hanya dengan menyimak turun-naiknya harga saham, dan menguasai teknik investasi, ia bergelimang uang. Seolah kenikmatan hidup ada dalam genggamannya. Tak akan ke mana – mana. Dengan uang, apa saja bisa dibeli dan dikuasai.
Sampai pada suatu saat, hanya dalam hitungan 30 detik, ”Uang saya Rp 400 juta ludes,” katanya. Nikmat itu hilang, dan berubah jadi penyesalan yang dalam. Juga kekalapan. Kalau saja trader itu ada di depan hidung, ”Pasti saya bunuh,” ujarnya. Ia cenderung membenarkan diri sendiri, dan menyalahkan orang lain.
Menyesal, marah, jengkel, tumplek-blek jadi satu. ”Kulit ini seperti tidak terasa walau ditebas golok,” katanya, menggambarkan kekalutannya. Otaknya kopong, linglung. Soalnya, ”Kalau saja saya menunda mengeksekusi satu menit saja, keuntungan yang saya peroleh Rp 1 milyar,” katanya.
Tono memang bukan ”raja spekulan” layaknya Goerge Soros. Ia juga bukan orang yang mampu menguasai diri untuk tak terhanyut dalam emosi pasar. Jake Bernstein dalam bukunya, Investor’s Quotient, menulis: ”Keberhasilan seorang pemodal jangka panjang lebih dominan dipengaruhi oleh kemampuannya mengendalikan emosi ketimbang tentang investasi.”
Dua kisah hidup itu membuat Tono tergugah, dan seperti lahir kembali. Ia mampu keluar dari kegelapan. Kini, dia lebih peduli pada menabung amal kebajikan ketimbang memburu rezeki dan menumpuk harta. Sebab, rezeki itu urusan Yang Di Atas. Titik! Dengan begitu, hidup pun tidak lagi kemrungsung. Dia pasrah, Lillahi taala.
Rasulullah SAW bersabda; “Sesungguhnya orang yang menjadikan dunia sebagai niatnya, Allah akan menjadikan kefakiran di depan matanya dan Allah akan cerai – beraikan kebutuhannya. Dan dunia tidak akan datang kepadanya, kecuali yang telah ditetapkan baginya. Dan barang siapa yang menjadikan akhirat sebagai niatnya, Allah akan menjadikan kekayaan di dalam hatinya, Allah akan mencukupi kebutuhannya dan dunia datang kepadanya dalam keadaan tunduk.” (Rowahu Ibnu Majah)
Dan, dengan ketenangannya itu, ia bisa menerima ”refleksi” secara jelas. Persis air di kolam, yang jika tak terganggu, bayangan yang muncul menjadi jelas. Ia buang pikiran-pikiran busuk, dan menggantinya dengan yang positif. Ia ingin jadi manusia spiritual yang alami, tanpa neko-neko, tanpa friksi. ”Saya berusaha menghindari bentrokan,” katanya.
Memang, tanpa disadari, Tono telah melakukan penyucian pikiran. Ia membersihkan hati dari akhlak tercela. Ia memandang sesuatu secara simpatik. Ia memperlakukan orang lain seperti diri sendiri. Di dunia yang tak sempurna ini, mencari sesuatu yang baik dan indah memang sulit. Ia tidak melihat sesuatu dari sisi itu.
Tono berusaha mengubah paradigma lama dengan cara melihat kebaikan dari seorang manusia terburuk di dunia. Di balik kekurangan dan kebusukannya, pasti ada sisi baiknya. Dan, cara pandang itu sudah dimulainya, setelah nyaris terseret menuju negeri tipuan.
Allah berfirman : “Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang membujuk.” (QS Ali Imron 185)
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya diantara yang aku khawatirkan atas kalian adalah apa yang dianugerahkan kepada kalian berupa gemerlap dan perhiasan dunia.” (Rowahu Bukhari, Muslim)
Rasulullah SAW bersabda; “Apabila Allah mencintai seorang hamba, maka Dia akan menjaganya dari dunia seperti kalian menjaga orang sakit di antara kalian dari air.” (Rowahu ath-Thabrani dg sanad shahih)
Dan itu semua bermula dari sebuah wasiat.
oleh: Ustadz.Faizunal Abdillah