Jakarta (13/6). Perjudian secara online semakin memprihatinkan. Mereka tidak hanya menyasar orang dewasa, namun anak-anak juga menjadi segmen mereka, dengan memperkenalkan game online atau gim daring.
Hal tersebut ditegaskan Ketua DPP LDII Bidang Ekonomi dan Pemberdayaan Masyarakat Ardito Bhinadi, “Games online bisa menjadi awal seseorang itu bermain judi daring,” tutur Ardito.
“Saat ini anak-anak menggemari permainan yang bisa berinteraksi dengan lawan mainnya dan menyelesaikan misi bersama. Ketika mereka menyelesaikan misi lalu mendapatkan skor. Dalam perkembangannya skor itu bisa ditukar menjadi poin dan kemudian bisa menjadi uang,” ujarnya.
Dosen Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta itu mengatakan, mereka tidak merasa dirinya mengalami ketergantungan pada games tersebut. Semakin tinggi levelnya, semakin sering mereka isi ulang voucher permainan tersebut.
“Yang berbahaya adalah ini sudah merambah ke perjudian, karena telah memenuhi tiga unsur judi antara lain ada harta yang dipertaruhkan, ada permainan yang menentukan kalah dan menang, serta harta yang kalah diambil oleh yang menang,” ungkapnya.
“Mereka ketagihan, karena sudah seperti orang memakai zat adiktif yang menyebabkan seseorang ketergantungan, setelah ketergantungan dan sedang tidak punya uang untuk top up kembali maka larinya ke pinjol,” ujar penulis buku Muamalah Syar’iyyah Hidup Barokah itu.
Dunia pendidikan dan orangtua mempunyai peran vital dalam memberantas judi online ini. Edukasi tentang literasi digital tentang bahayanya judi online, berita hoax, pinjol dan lain sebagainya harus benar-benar tersosialisasikan dengan baik.
“Untuk itu, LDII selalu berupaya meliterasi generasi mudanya melalui literasi ekonomi dan keuangan digital. Melalui literasi digital ini diharapkan mereka mempunyai pengetahuan, baik dari sisi agama, moral maupun teknis. Sehingga mereka tidak mudah terjebak dalam perjudian,” tutupnya.
Efek buruk dari judi daring adalah terciptanya ketergantungan dan sulit lepas dari lingkaran judi. Mereka terus kembali berjudi meskipun kalah dan berbuat apa saja agar bisa kembali bermain judi.
Bahkan, penjudi daring juga dapat menjadi korban pencurian data yang diserahkan saat mendaftar judi daring yang berisiko dijual dan disebarluaskan.
Menurut Ketua DPP LDII Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Kesejahteraan Keluarga Siti Nurannisa Parama Bekti menyebut maraknya judi online memunculkan ketertarikan sebagian orang untuk mencoba, dan tidak sedikit yang berakhir pada kecanduan. Hal itu terjadi karena penggunanya tidak bisa mengontrol dorongan yang tak tertahankan atau kompulsif dan menjadi lepas kendali.
Beberapa faktor yang bisa mempengaruhi seseorang dalam melakukan judi online di antaranya kebutuhan finansial, kondisi internal diri yang terkait dengan kecanduan, dan kerja otak yang mempengaruhi perilaku.
“Kondisi tersebut terjadi karena kemampuan kontrol diri yang rendah, keinginan mencari tantangan untuk memicu adrenalin tinggi atau mencari rasa pleasure effect atau sensasi puas saat menang judi, menyukai kesenangan yang spontan dan keinginan untuk memiliki,” ujarnya saat dikonfirmasi melalui pesan singkat.
Dosen Universitas Tarumanegara itu menyatakan secara eksternal dapat dipengaruhi oleh lingkungan yang kurang melatih batasan dan aturan, atau dukungan sosial yang rendah. Seseorang yang kecanduan akan melakukan lebih banyak perilaku dan berulang terus menerus untuk mendapatkan kesenangan yang sama.
“Langkah preventif yang dapat dilakukan adalah melalui pola asuh dan pendidikan sedini mungkin. Pendidikan yang memberikan pengetahuan tentang internal diri manusia di antaranya kesadaran diri, mengenal kebutuhan diri, penghargaan, rasa aman, kemandirian kognitif dan emosi, sehingga seseorang memiliki kemampuan untuk mengelola dan meregulasi dirinya dalam menghadapi berbagai situasi,” ujarnya.
Secara eksternal lingkungan bisa melatih tentang penggunaan perangkat untuk kegiatan produktif serta membangun batasan, membuat aturan kolaboratif, mengarahkan pengembangan bakat minat, serta edukasi tentang judi online.
Strategi edukasi perlu dilakukan secara holistik, tidak hanya pada tataran pengetahuan atau kognitif, namun juga pada ranah afeksi. Judi berkaitan dengan perilaku tentang moral.
“Jika proses edukasi sudah dilakukan, namun tetap belum berhasil, salah satunya bisa disebabkan karena ranah afeksi yang berfungsi untuk mengenal nilai-nilai kurang dikembangkan. Akibatnya perilaku yang muncul tidak dibimbing dari nilai-nilai moral tersebut,” tegasnya.
Langkah lainnya yaitu memperkuat sistem sosial lingkungan masyarakat, saling bekerjasama menumbuhkan nilai-nilai moral dilingkungan masing-masing. “Mencegah diri sendiri, saling melindungi bersama, untuk keamanan semua,” tutupnya.