Lembaga Dakwah Islam Indonesia
  • HOME
  • ORGANISASI
    • Tentang LDII
    • AD / ART LDII
    • 8 Pokok Pikiran LDII
    • Susunan Pengurus DPP LDII 2021-2026
    • Fatwa MUI
    • Daftar Website LDII
    • Video LDII
    • Contact
  • RUBRIK
    • Artikel
    • Iptek
    • Kesehatan
    • Lintas Daerah
    • Organisasi
    • Opini
    • Nasehat
    • Nasional
    • Seputar LDII
    • Tahukah Anda
  • LAIN LAIN
    • Kirim Berita
    • Hitung Zakat
    • Jadwal Shalat
No Result
View All Result
  • HOME
  • ORGANISASI
    • Tentang LDII
    • AD / ART LDII
    • 8 Pokok Pikiran LDII
    • Susunan Pengurus DPP LDII 2021-2026
    • Fatwa MUI
    • Daftar Website LDII
    • Video LDII
    • Contact
  • RUBRIK
    • Artikel
    • Iptek
    • Kesehatan
    • Lintas Daerah
    • Organisasi
    • Opini
    • Nasehat
    • Nasional
    • Seputar LDII
    • Tahukah Anda
  • LAIN LAIN
    • Kirim Berita
    • Hitung Zakat
    • Jadwal Shalat
No Result
View All Result
Lembaga Dakwah Islam Indonesia
No Result
View All Result
Home Dari Kami Nasehat

Yang terserak dari Idul Adha — Sayur Bening

2011/11/21
in Nasehat
0
Yg terserak dari idul adha
Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsApp

engalaman kedua di hari Adha kemarin adalah sayur bening. Benar – benar membuat kesan yang berbeda. Bening sesuai kuah sayurnya.Terasa aneh (di lidah), terasa asing (di hati). Tidak ngedumel, walau terasa nyesek, tetapi menjadi jalan untuk mensyukuri – fathibuu bihaa nafsan. Sembari mendalami makna ayat, yang mungkin dengan jalan itulah Allah berkenan memberi pencerahan. Yang saya maksud adalah  ayat di Surat Al-Hajji yaitu “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Hajj 27).
Pas prasmanan siang, terbayang sajian makanan enak nan lezat seperti menu kegemaran berupa tongseng dan sop iga. Seperti yang sudah – sudah, biasanya dimasak agak banyak biar bisa tambah – tambah dan memuaskan nafsu kuliner. Mubru jumlahnya. Maklum, gratis lagi. Dan ini adalah acara tahunan. Cocok. Idealnya obral – obral dikit gak apa – apa lah.  Loma. Wenang milih. Hura – hura di hari raya. Ditambah habis amal sholih yang menguras tenaga. Melihat makanan tersaji pasti menggiurkan. Ngulu idu, saking ngebetnya. Tapi apa yang terjadi. Baru sekarang – di acara hari kurban – hanya makan  setengah centong nasi, satu potong sop tulang dan 5 iris tong seng. Ditambah 2 potong buah semangka. Bukan karena diet, bukan? Atau pantangan, tidak? Namun, stock memang terbatas. Sekembali ngantar anak yang nangis, mbanyaki minta pulang, ternyata makanan sudah diberesi. Selesai sudah. Asa pun tergantung.
Namun masih terlintas setitik harapan. Seperti biasanya, pas hari kurban begini ini, panitia membuat bungkusan masakan yang siap dibawa pulang setiap keluarga. Isinya biasanya sama dengan menu siang tadi. Alasannya, boleh juga, biar di rumah tak perlu masak lagi. Sebab sudah capek gotong – royong seharian. Maka, saya pun tetap berlapang dada, Insya Allah nanti di rumah keinginan bisa diteruskan, mengulangi lagi episode yang tertinggal di siang hari makan sop iga dan tongseng di rumah. Sorenya, selesai beres – beres saya minta istri menyiapkan kudapan makan malam. Asa pun memuncak. Begitu menengok meja makan, yang disuguhkan ternyata menu tumis kacang panjang (sisa sarapan pagi tadi), sayur bayam dan semur tahu. Klepek.
“Kok tidak seperti biasanya ya?,” tanya saya setengah kaget, namun tetap dibuat agak datar.
“Itulah adanya,” sahut istri nggak mau kalah – datar juga.
“Nggak dapat bungkusan?”, suaraku agak tinggi.
“Nggak,” jawabnya singkat.
Blurr…pikiran pun terbang. Saya tersadar. Sebuah kesadaran baru tiba. Alhamdulillah, sebuah pemahaman yang begitu terasa. Antara bertahan mengusir rasa capek, menghayati fathibuu bihaa nafsan – dan menerima situasi yang ada, sayur bening hadir mengaduk bayangan lezatnya sop dan tongseng. Menggantinya dengan keindahan rupa. Bentuk sebuah penghayatan, model perilaku baik yang perlu diketengahkan.
Sesuai ayatnya, bukan masalah daging dan darah kurban yang dipentingkan, akan tetapi ketaqwaan kita semua yang perlu dipertanyakan dalam pelaksanaan ibadah kurban dari tahun ke tahun selama ini. Dan mungkin ini sentilan Allah dalam perjalanan keimanan saya. Sudah tua tapi masih bandel dan dedel – belum faham – faham. Sudah lama, namun masih di situ – situ juga jalan fikirannya. Orang bilang gak maju – maju.  Bahwa hal – hal yang menjadi rutinitas bisa saja hilang dan berganti dengan yang lain, tetapi yang masih tetap dan terus dijaga adalah dinamika ketaqwaan itu sendiri. Siap atau tidak dengan dinamika baru yang disebut perubahan. Dalam prakteknya, apakah ia (ketaqwaan) bertambah baik, ada peningkatan atau malah menurun. Dan dalam acara rutin tahunan ini bisa kita bedah salah satunya dengan cara bagaimana kita menyikapi permasalahan ‘daging dan asesorisnya’ ini. Bagi Allah acara qurban telah selesai begitu hewan roboh diterjang tajamnya pisau sang jagal dan darah mengucur ke bumi. Allah tak butuh dagingnya. Allah hanya butuh bagaimana kamu siapkan hatimu dalam berqurban ini. Apakah ia ikhlas? Dipenuhi kesungguhan? Dipenuhi kesakdermoan? Siap berbagi? Atau malah membuat masalah dengannya?
Sedulur, banyak cerita yang timbul dari penanganan “limbah Allah” berupa daging – daging kurban ini. Cerita saya di atas bisa menjadi salah satunya. Dan rasanya tidak mungkin tidak timbul masalah setiap acara kurban ini. Pasti ada masalah, baik yang besar maupun yang kecil. Ada saja. Yang prinsip maupun cepil. Tulisan ini tidak bermaksud menghilangkan masalah, sebab itu mustahil. Sekali lagi tidak. Lebih hanya kepada perkeling seperti apa kita bersikap dalam setiap hari kurban. Ketika terjerumus ke dalam hal – hal yang tidak semestinya, cepatlah sadar. Sebab pastilah itu di luar kontek dasar dalam berkurban yaitu masalah ketaqwaan. Ada yang kecewa tidak kebagian daging. Ada yang kecewa pesenannya terlewatkan. Ada yang kecewa pembagiannya cuma sedikit. Ada yang kurang berkenan dengan panitianya. Ada yang acuh tak acuh. Ada yang kemaruk alias rakus. Ada yang malu – malu, padahal pengin. Dan lain – lainnya. Tengoklah, semua itu bukan esensi yang dimaksud. Itu kembangan saja.
Nah, akhirnya saya bisa berharap. Dengan tulisan ini, setiap pribadi bisa mengendalikan diri. Jangan mencontoh saya. Ketika timbul hal – hal yang mengecewakan, segera sadar dan tidak meneruskannya menjadi lebih besar, sehingga bisa merusak esensi lain dalam kontek yang lebih luas yaitu: kerukunan dan kekompakan. Atau mungkin malah ada yang bilang bodoh, dengan semisal apa yang saya sampaikan ini. Tak mengapa. Sebab saya sendiri juga mentertawakan diri ini dengan kebodohan itu. Tetapi coba di masa yang akan datang, pas hari kurban masaklah sayur bening. Jangan bikin sate, tongseng, gulai atau sop. Dan jika sudah mempraktekkan, sudilah kiranya menceritakan apa yang Anda rasakan kepada saya.
Terus terang banyak kita yang belum siap. Entah alasan praktis maupun karena masalah hukum. Seperti menyerahkan kurban kita bulat- bulat kepada yang membutuhkan. Tidak harus ke orang luar, cobalah kirim ke saudara kita di daerah lain yang membutuhkan. Bawaannya selalu berat dengan berprasangka  yang bukan – bukan. Sebelah hati bilang tidak amanah, bisiknya. Dan sebelahnya lagi curiga saja adanya. Selanjutnya, misal tidak makan daging kurban saat hari H-nya, walau tidak dilarang memakannya. Ada saja alasan butuh dan butuh. Maklum faham dalil al-qooni’a wal mu’tar. Pengin ini dan itu. Itu semua tidak dilarang. Padahal kita semua tahu esensi sebenarnya berkurban adalah cinta dan ketaqwaan kita kepada Allah. Itu saja. Simpel saja. Mana yang lebih besar; daging apa ketaqwaan? Dan jika hal ini bisa disadari oleh setiap jiwa, tentu kesenangan melebihi segalanya. Melebihi dunia dan seisinya. Dan mencampakkan kebodohan seperti yang saya alami selama ini.
Itulah dinamika. Kadang datangnya seperti banyolan. Tak disangka. Tak dikira. Saat – saat begini, tak diduga anak saya bertanya pada Ibunya yang pernah tinggal di Jepang. “Kalau good morning, Jepangnya kan Ohaiyo gozaimas. Nah, kalau orang hamil bahasa Jepangnya apa Ma? “
“Ahh, dah lupa. Malas mikirnya …!”
“Nggak tahu ya? Goro – goromu Mas.”
Sambil menikmati sayur bening, saya pun cekikikan mendengarnya. Melupakan hal – hal yang sedang melanda.

Pengalaman kedua di hari Adha kemarin adalah sayur bening. Benar – benar membuat kesan yang berbeda. Bening sesuai kuah sayurnya.Terasa aneh (di lidah), terasa asing (di hati). Tidak ngedumel, walau terasa nyesek, tetapi menjadi jalan untuk mensyukuri – fathibuu bihaa nafsan. Sembari mendalami makna ayat, yang mungkin dengan jalan itulah Allah berkenan memberi pencerahan. Yang saya maksud adalah  ayat di Surat Al-Hajji yaitu “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Hajj 27).

Pas prasmanan siang, terbayang sajian makanan enak nan lezat seperti menu kegemaran berupa tongseng dan sop iga. Seperti yang sudah – sudah, biasanya dimasak agak banyak biar bisa tambah – tambah dan memuaskan nafsu kuliner. Mubru jumlahnya. Maklum, gratis lagi. Dan ini adalah acara tahunan. Cocok. Idealnya obral – obral dikit gak apa – apa lah.  Loma. Wenang milih. Hura – hura di hari raya. Ditambah habis amal sholih yang menguras tenaga. Melihat makanan tersaji pasti menggiurkan. Ngulu idu, saking ngebetnya. Tapi apa yang terjadi. Baru sekarang – di acara hari kurban – hanya makan  setengah centong nasi, satu potong sop tulang dan 5 iris tong seng. Ditambah 2 potong buah semangka. Bukan karena diet, bukan? Atau pantangan, tidak? Namun, stock memang terbatas. Sekembali ngantar anak yang nangis, mbanyaki minta pulang, ternyata makanan sudah diberesi. Selesai sudah. Asa pun tergantung.

Namun masih terlintas setitik harapan. Seperti biasanya, pas hari kurban begini ini, panitia membuat bungkusan masakan yang siap dibawa pulang setiap keluarga. Isinya biasanya sama dengan menu siang tadi. Alasannya, boleh juga, biar di rumah tak perlu masak lagi. Sebab sudah capek gotong – royong seharian. Maka, saya pun tetap berlapang dada, Insya Allah nanti di rumah keinginan bisa diteruskan, mengulangi lagi episode yang tertinggal di siang hari makan sop iga dan tongseng di rumah. Sorenya, selesai beres – beres saya minta istri menyiapkan kudapan makan malam. Asa pun memuncak. Begitu menengok meja makan, yang disuguhkan ternyata menu tumis kacang panjang (sisa sarapan pagi tadi), sayur bayam dan semur tahu. Klepek.

“Kok tidak seperti biasanya ya?,” tanya saya setengah kaget, namun tetap dibuat agak datar.

“Itulah adanya,” sahut istri nggak mau kalah – datar juga.

“Nggak dapat bungkusan?”, suaraku agak tinggi.

“Nggak,” jawabnya singkat.

Blurr…pikiran pun terbang. Saya tersadar. Sebuah kesadaran baru tiba. Alhamdulillah, sebuah pemahaman yang begitu terasa. Antara bertahan mengusir rasa capek, menghayati fathibuu bihaa nafsan – dan menerima situasi yang ada, sayur bening hadir mengaduk bayangan lezatnya sop dan tongseng. Menggantinya dengan keindahan rupa. Bentuk sebuah penghayatan, model perilaku baik yang perlu diketengahkan.

Sesuai ayatnya, bukan masalah daging dan darah kurban yang dipentingkan, akan tetapi ketaqwaan kita semua yang perlu dipertanyakan dalam pelaksanaan ibadah kurban dari tahun ke tahun selama ini. Dan mungkin ini sentilan Allah dalam perjalanan keimanan saya. Sudah tua tapi masih bandel dan dedel – belum faham – faham. Sudah lama, namun masih di situ – situ juga jalan fikirannya. Orang bilang gak maju – maju.  Bahwa hal – hal yang menjadi rutinitas bisa saja hilang dan berganti dengan yang lain, tetapi yang masih tetap dan terus dijaga adalah dinamika ketaqwaan itu sendiri. Siap atau tidak dengan dinamika baru yang disebut perubahan. Dalam prakteknya, apakah ia (ketaqwaan) bertambah baik, ada peningkatan atau malah menurun. Dan dalam acara rutin tahunan ini bisa kita bedah salah satunya dengan cara bagaimana kita menyikapi permasalahan ‘daging dan asesorisnya’ ini. Bagi Allah acara qurban telah selesai begitu hewan roboh diterjang tajamnya pisau sang jagal dan darah mengucur ke bumi. Allah tak butuh dagingnya. Allah hanya butuh bagaimana kamu siapkan hatimu dalam berqurban ini. Apakah ia ikhlas? Dipenuhi kesungguhan? Dipenuhi kesakdermoan? Siap berbagi? Atau malah membuat masalah dengannya?

Sedulur, banyak cerita yang timbul dari penanganan “limbah Allah” berupa daging – daging kurban ini. Cerita saya di atas bisa menjadi salah satunya. Dan rasanya tidak mungkin tidak timbul masalah setiap acara kurban ini. Pasti ada masalah, baik yang besar maupun yang kecil. Ada saja. Yang prinsip maupun cepil. Tulisan ini tidak bermaksud menghilangkan masalah, sebab itu mustahil. Sekali lagi tidak. Lebih hanya kepada perkeling seperti apa kita bersikap dalam setiap hari kurban. Ketika terjerumus ke dalam hal – hal yang tidak semestinya, cepatlah sadar. Sebab pastilah itu di luar kontek dasar dalam berkurban yaitu masalah ketaqwaan. Ada yang kecewa tidak kebagian daging. Ada yang kecewa pesenannya terlewatkan. Ada yang kecewa pembagiannya cuma sedikit. Ada yang kurang berkenan dengan panitianya. Ada yang acuh tak acuh. Ada yang kemaruk alias rakus. Ada yang malu – malu, padahal pengin. Dan lain – lainnya. Tengoklah, semua itu bukan esensi yang dimaksud. Itu kembangan saja.

Nah, akhirnya saya bisa berharap. Dengan tulisan ini, setiap pribadi bisa mengendalikan diri. Jangan mencontoh saya. Ketika timbul hal – hal yang mengecewakan, segera sadar dan tidak meneruskannya menjadi lebih besar, sehingga bisa merusak esensi lain dalam kontek yang lebih luas yaitu: kerukunan dan kekompakan. Atau mungkin malah ada yang bilang bodoh, dengan semisal apa yang saya sampaikan ini. Tak mengapa. Sebab saya sendiri juga mentertawakan diri ini dengan kebodohan itu. Tetapi coba di masa yang akan datang, pas hari kurban masaklah sayur bening. Jangan bikin sate, tongseng, gulai atau sop. Dan jika sudah mempraktekkan, sudilah kiranya menceritakan apa yang Anda rasakan kepada saya.

Terus terang banyak kita yang belum siap. Entah alasan praktis maupun karena masalah hukum. Seperti menyerahkan kurban kita bulat- bulat kepada yang membutuhkan. Tidak harus ke orang luar, cobalah kirim ke saudara kita di daerah lain yang membutuhkan. Bawaannya selalu berat dengan berprasangka  yang bukan – bukan. Sebelah hati bilang tidak amanah, bisiknya. Dan sebelahnya lagi curiga saja adanya. Selanjutnya, misal tidak makan daging kurban saat hari H-nya, walau tidak dilarang memakannya. Ada saja alasan butuh dan butuh. Maklum faham dalil al-qooni’a wal mu’tar. Pengin ini dan itu. Itu semua tidak dilarang. Padahal kita semua tahu esensi sebenarnya berkurban adalah cinta dan ketaqwaan kita kepada Allah. Itu saja. Simpel saja. Mana yang lebih besar; daging apa ketaqwaan? Dan jika hal ini bisa disadari oleh setiap jiwa, tentu kesenangan melebihi segalanya. Melebihi dunia dan seisinya. Dan mencampakkan kebodohan seperti yang saya alami selama ini.

Itulah dinamika. Kadang datangnya seperti banyolan. Tak disangka. Tak dikira. Saat – saat begini, tak diduga anak saya bertanya pada Ibunya yang pernah tinggal di Jepang. “Kalau good morning, Jepangnya kan Ohaiyo gozaimas. Nah, kalau orang hamil bahasa Jepangnya apa Ma? “

“Ahh, dah lupa. Malas mikirnya …!”

“Nggak tahu ya? Goro – goromu Mas.”

Sambil menikmati sayur bening, saya pun cekikikan mendengarnya. Melupakan hal – hal yang sedang melanda.

Oleh : Faizunal Abdillah

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

KOMENTAR TERKINI

  • Gathot Wardoyo on Menyisipkan Pembelajaran Karakter dalam Dongeng Sebelum Tidur
  • Sudarmanto on DPP LDII Hadiri Doa Bersama Lintas Agama Sambut HUT Bhayangkara ke-79
  • Yudi Kisworo on LDII DIY Tawarkan Ramuan Pakan Lokal di Final PFmuda
  • Rubiyo on Fokus Bina Generus, LDII Gunungkidul Rumuskan Strategi Pembinaan
  • Rubiyo on Tinjau Capaian Kurikulum, LDII Lamasi Evaluasi Metode Pembelajaran KBM
  • Trending
  • Comments
  • Latest
Buka Permata CAI ke-46, Gubernur Khofifah Tekankan Pentingnya Investasi Mental dan Akhlakul Karimah

Buka Permata CAI ke-46, Gubernur Khofifah Tekankan Pentingnya Investasi Mental dan Akhlakul Karimah

June 30, 2025
Indonesia Kantongi Pembayaran Emisi 61,5 Juta Ton, LDII Dorong Transparansi dan Manfaat untuk Masyarakat

Indonesia Kantongi Pembayaran Emisi 61,5 Juta Ton, LDII Dorong Transparansi dan Manfaat untuk Masyarakat

June 27, 2025
Ketum DPP LDII Ajak Jadikan Tahun Baru Islam Refleksi Tingkatkan Moralitas Bangsa

Ketum DPP LDII Ajak Jadikan Tahun Baru Islam Refleksi Tingkatkan Moralitas Bangsa

June 26, 2025
Perkuat Harmoni Keluarga, LDII Gelar Pengajian Khusus Pasutri

Perkuat Harmoni Keluarga, LDII Gelar Pengajian Khusus Pasutri

June 24, 2025
Ketum DPP LDII Ajak Jadikan Tahun Baru Islam Refleksi Tingkatkan Moralitas Bangsa

Ketum DPP LDII Ajak Jadikan Tahun Baru Islam Refleksi Tingkatkan Moralitas Bangsa

30
Buka Permata CAI ke-46, Gubernur Khofifah Tekankan Pentingnya Investasi Mental dan Akhlakul Karimah

Buka Permata CAI ke-46, Gubernur Khofifah Tekankan Pentingnya Investasi Mental dan Akhlakul Karimah

6
Ketum DPP LDII: Rakyat dan Polri Harus Saling Dekat dan Percaya

Ketum DPP LDII: Rakyat dan Polri Harus Saling Dekat dan Percaya

6
Tingkatkan Keterampilan, Dai Muda LDII Gunungkidul Belajar Memasak Batagor

Tingkatkan Keterampilan, Dai Muda LDII Gunungkidul Belajar Memasak Batagor

5
Menyisipkan Pembelajaran Karakter dalam Dongeng Sebelum Tidur

Menyisipkan Pembelajaran Karakter dalam Dongeng Sebelum Tidur

July 3, 2025
Gaya Hidup Sehat dan Kesehatan Reproduksi Jadi Sorotan di Seminar LDII Salatiga

Gaya Hidup Sehat dan Kesehatan Reproduksi Jadi Sorotan di Seminar LDII Salatiga

July 3, 2025
Habib Ubaidillah: Hidayah adalah Nikmat Tertinggi, Harus Dijaga hingga Akhir Hayat

Habib Ubaidillah: Hidayah adalah Nikmat Tertinggi, Harus Dijaga hingga Akhir Hayat

July 3, 2025
KH Aceng Karimullah: Allah Dekat, Berdoalah Tanpa Perantara

KH Aceng Karimullah: Allah Dekat, Berdoalah Tanpa Perantara

July 3, 2025

DPP LDII

Jl. Tentara Pelajar No. 28 Patal Senayan 12210 - Jakarta Selatan.
Telepon: 021-57992547 / 0811-8604544

SEKRETARIAT
sekretariat[at]ldii.or.id
KIRIM BERITA
berita[at]ldii.or.id

BERITA TERKINI

  • Menyisipkan Pembelajaran Karakter dalam Dongeng Sebelum Tidur July 3, 2025
  • Gaya Hidup Sehat dan Kesehatan Reproduksi Jadi Sorotan di Seminar LDII Salatiga July 3, 2025
  • Habib Ubaidillah: Hidayah adalah Nikmat Tertinggi, Harus Dijaga hingga Akhir Hayat July 3, 2025

NAVIGASI

  • Home
  • Contact
  • Jadwal Shalat
  • Hitung Zakat
  • Privacy Policy
  • NUANSA PERSADA

KATEGORI

Kirim Berita via Telegram

klik tautan berikut:
https://t.me/ldiibot

  • Home
  • Contact
  • Jadwal Shalat
  • Hitung Zakat
  • Privacy Policy
  • NUANSA PERSADA

© 2020 DPP LDII - Managed by KIM & IT Division.

No Result
View All Result
  • HOME
  • ORGANISASI
    • Tentang LDII
    • AD / ART LDII
    • 8 Pokok Pikiran LDII
    • Susunan Pengurus DPP LDII 2021-2026
    • Fatwa MUI
    • Daftar Website LDII
    • Video LDII
    • Contact
  • RUBRIK
    • Artikel
    • Iptek
    • Kesehatan
    • Lintas Daerah
    • Organisasi
    • Opini
    • Nasehat
    • Nasional
    • Seputar LDII
    • Tahukah Anda
  • LAIN LAIN
    • Kirim Berita
    • Hitung Zakat
    • Jadwal Shalat

© 2020 DPP LDII - Managed by KIM & IT Division.