Di tengah bulan puasa lalu, istri saya sempat curhat. Curhat yang saya tanggapi dengan gaya khas, nyantai plus cengengesan. Biasanya langsung bikin istri sewot. Kalau sudah sewot, ada perasaan puas tersendiri, lantaran membayangkan merah – padam muka istri. Contoh yang tak baik memang, tapi itu salah satu trik untuk menjaga kemesraan hubungan kami. Menggoda. Ada perasaan pura – pura acuh, tapi butuh. Butuh, tapi sok acuh. Dasar..!
Konon, Mas Mubalighnya pernah memberikan perkeling di sela – sela acara tadarusan, yang membuat hati para pendengarnya mangkel. Terutama ibu – ibunya. Bagaimana tidak nggondok, katanya, “Tadarusannya orang di kelompok ini, nggak ada yang bener.” Udah gitu ditambahi lagi dengan kalimat penutup yang ringkas dan tegas, “Semuanya salah.” Walaupun diucapkan dengan nada yang datar dan pelan. Dia seperti pukulan hook dikombinasi dengan upper cut. Pleng..! Langsung bikin kunang – kunang.
Tak urung, kabar singkat itu membuat heboh. Banyak hati yang tertonjok. Banyak diri yang tersinggung. Marah. Petugas – petugas tadarusannya pun merespon dengan ogah-ogahan. Setengah mogok. “Ngapain tadarus kalau salah. Biar dia saja yang tadarus, biar bener sendiri,” begitu pikirnya. Suasana jadi tidak indah. Maksud baik, tapi tidak nyambung. Kurang papan, empan, adepan. Hasilnya, bikin banyak kemunduran.
Maklum darah muda. Sang mubaligh baru tugas, umur 20 tahunan, walau sudah beristri. Usia dimana keakuannya masih tinggi. Katanya, secara psikologi usia seperti itu adalah usia mencari jati diri, “Siapa aku?” Mungkin hal itu yang kurang di sadari oleh teman – teman. Akibatnya, khataman yang biasanya 20 hari, molor sampai hari ke 28. Alhamdulillah masih bisa khatam.
Saya sendiri, dalam menanggapi hal ini, tidak menyalahkan siapa – siapa. Mas mubalighnya tidak salah, respon yang timbul di kalangan teman – teman juga hal yang wajar. Semua sesuai dengan tingkat ilmu dan kepahamannya masing – masing. Karena sebenarnya hal semacam ini sudah pernah muncul beberapa tahun yang lalu dengan pelaku yang berbeda, di tempat yang sama. Yang akhirnya pada waktu itu saya terpaksa turun gunung, mengeluarkan “ilmu simpanan” untuk memberikan penjelasan dalam masalah ini. Kenapa saya katakan ilmu simpanan, sebab ilmu itu saya dapatkan dari ustadz di kampung saya dulu, jauh sebelum saya mulai aktif mengaji. Akar permasalahan semua ini adalah adanya pendangkalan pemahaman tentang arti tartil dalam membaca al – quran, sebagaimana Allah firmankan dalam Kitabnya: “Dan bacalah Al_Qur’an itu dengan tartil.” (QS. Al-Muzammil: 4) atau surat al-Furqon ayat 32; Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil.
Banyak diantara kita dan teman – teman penyampai hanya mengartikan tartil dengan perlahan – lahan dan tidak terburu – buru saja. Kurang mau bersusah – payah mendalaminya lebih jauh. Pengertian ini tidak salah. Benar adanya, akan tetapi perlu dibumbui dan ditambahi dengan pengertian tambahan terhadapnya. Ia adalah pengertian dasar. Sebab pengertian perlahan dan tidak tergesa-gesa mempunyai relativitas yang tinggi. Perlahan – lahannya saya, tidak sama dengan perlahan – lahannya istri saya. Cepatnya saya tidak sama dengan cepatnya istri saya, dalam membaca quran. Tidak bisa langsung dihukumi bacaan tartil itu kalau 1 juz dibaca 1 ½ jam, 1 jam atau ½ jam. Ia terkait erat dengan apa yang disebut dengan ilmu tajwid. Makanya saya sering mendengar kelucuan – kelucuan pendapat teman – teman yang menyatakan bahwa bacaan Imam Masjidil Harom yang beredar rekamannya di seluruh pelosok negeri itu – as-Sudais dan Shuraim – tidak benar, sebab nggak tartil. Dimana Baqoroh hanya dibaca dalam waktu antara 45 – 50 menit. Panjang pendeknya nggak pas. Tajwidnya kurang. Benarkah?
Atau bacaan tartil itu seperti para qori dan qoriah yang sedang bermusabaqoh tilawatil qur’an? Dimana satu ruku’ atau makra’ yang terdiri dari 5 – 10 ayat dibaca dalam waktu 10 menit dengan lagu yang mendayu – dayu menggetarkan hati? Panjangnya sungguh panjang, ghunnahnya sungguh terdengar dan tajwidnya sempurna. Sebab dia dinilai oleh para dewan juri untuk menentukan pemenangnya. Begitukah?
Kadang untuk memberikan ilustrasi dan membuka wawasan teman – teman saya sering memberi gambaran sholat malamnya Nabi SAW dan para sahabat tempo dulu. Ketika qiyamul lail, Nabi membaca surat al-baqoroh sampai khatam dalam rekaat yang pertama saja. Bahkan riwayat lain menyebutkan Nabi SAW pernah membaca al-Baqoroh, Ali Imron dan an – Nisaa dalam satu rekaat. Terus ruku’ dan sujudnya Nabi SAW hampir sama dengan berdirinya ketika baca ayat quran tersebut. Dalam semalam Nabi mengerjakan 11 rekaat. Taruhlah Beliau merampungkan baqoroh 50 menit seperti bacaannya as-Sudais, ditambah ruku’ dan sujudnya berapa waktu yang dibutuhkan untuk 10 rekaat? 500 menit? Berarti tidak tidur? Padahal praktiknya Nabi tidur setelah isya’ dan bangun 1/3 malam yang akhir (kurang lebih 3 jam-an). Atau kehidupan para sahabat yang membagi qur’an menjadi 7 bagian, sehingga 7 hari khatam. Dalam semalam kurang lebih harus membaca 4 juz yang dikerjakan dengan cara sholat malam juga. Apakah bacaan mereka juga tidak tartil? Padahal dari merekalah sumber ilmu yang kita kaji sekarang ini.
Nah, darinya kita bisa memetik hikmah dan pelajaran yang berguna bahwa tartil itu erat juga hubungannya dengan kemahiran. Orang yang mahir atau bahkan hafal quran, bisa membaca dengan tartil lagi cepat. Namun bagi yang kurang mahir, tentu tidak bisa membaca dengan tartil dan cepat. Satu yang menjadi kekhawatiran saya yakni jangan – jangan karena kita tidak bisa membaca quran dengan cepat, terus menyalahkan orang lain yang membaca cepat, dengan dalih tartil. Seharusnya, tinggal mengingatkan apa yang kurang dari kemampuan bacaannya itu, sehingga sempurna. Sebab tidak ada yang bisa baca quran cepat, kecuali sering berlatih dan sering membacanya.
oleh: ust. Fahmi