“MBAH WARNO”, demikian almarhum kerap dipanggil. “Si Baju Merah”, adalah nama panggilan yang lain. Karena kemana-mana dan dalam acara apa saja, selalu mengenakan baju merah. Bukan mengenakan baju partai, tapi pencerminan dari warna darah, simbol keberanian dan semangat yang luar biasa.
Suaranya lantang, bahkan ketika sudah sulit dimengerti. Matanya tetap beringas, bahkan ketika langkahnya sudah digusur. Kondisi seperti demikian itu karena almarhum pernah beberapa kali kena stroke. Tapi dengan semangat merah darahnya itu, bahkan beberapa minggu sebelum menghadap Sang Khaliq, almarhum masih sempat hadir di sebuah acara nasional, lalu naik mimbar dengan suara menggelegar sambil mengacungkan 5 jari, tetapi 1 jari jempol dilipat. Bagi sebagian hadirin mungkin ada yang bertanya apa maksudnya.
Dalam kondisi fisik yang sudah demikian udzur, almarhum sebenarnya diberi keringanan dengan tidak pernah diundang didalam acara-acara organisasi. Namun siapa yang dapat mengalahkan semangat juangnya? Bayangkan, dalam kondisi demikian, almarhum kemana-mana masih menyetir mobil sendiri.
“Saya ingin mati syahid”, demikian selalu jawabannya setiap ditanya mengapa almarhum harus memaksakan diri hadir di acara-acara organisasi baik di Ibukota maupun di Provinsi lainnya.
Di usianya yang ke 68, Kamis malam Jum’at 19 September 2013 kemarin, Pak Ahmad Suarno meninggal dunia. Di dalam ajaran Islam, itu sudah masuk hari Jum’at. Ya, Mbah Warno wafat di hari Jum’at, hari kematian yang dirindukan setiap orang, karena barangsiapa yang meninggal di hari Jum’at akan dibebaskan dari siksa kubur.
Mati syahid tidak harus pergi perang. Walau maata ‘ala firosyihi – walaupun mati diatas tempat tidur, atas kehendak Allah, bisa ditetapkan sebagai mati syahid. Oleh karena itu, walaupun wafat di atas tempat tidur di ruang ICU, semoga keinginan almarhum untuk mati syahid dikabulkan Allah. Amin.
Mesjid bertingkat di Cengkareng itu mbludak dengan pelayat sampai berkali-kali MC mengingatkan untuk naik ke lantai atas. Solat jenazah yang dipimpin Dewan Penasehat Pusat KH Edy Suparto S.Ag itu berjalan dengan khusyuk. Almarhum yang begitu gagah penuh semangat semasa hidupnya, saat itu berbaring didalam keranda. Seorang teman berbisik, mengapa kain penutup kerandanya tidak berwarna merah. Tentu saja canda pertanda sayang kepada almarhum “Si Baju Merah”. Apa boleh buat, dimana-mana di seluruh dunia penutup kain keranda warnanya hijau.
Konvoi mobil pengantar ke TPU Tegal Alur luar biasa panjangnya. Termasuk motor yang membawa bendera kertas pertanda rombongan jenazah lewat. SMS dan BBM berseliweran mengapa benderanya tidak berwarna merah. Kembali canda sayang pertanda mereka concern dengan warna kesayangan almarhum. Tapi tentu saja bendera pertanda ada kematian dimana-mana di seluruh Indonesia warnanya kuning.
Sebagai salah satu kader tempaan langsung Soekarno, almarhum adalah organisatoris sejati. Plus seorang orator. Ketika tampil di mimbar, benar-benar selalu menguasai publik karena baik topik, retorika maupun intonasi suaranya selalu memukau.
Sikapnya sangat mewarnai berbagai organisasi yang dibidaninya. Kecintaannya kepada Indonesia memunculkan gagasan untuk menyelenggarakan bergelombang-gelombang pendidikan kaderisasi Wawasan Kebangsaan baik di pusat maupun di daerah, sehingga semangat hubbul wathon minal iman – cinta negara merupakan bagian dari iman, merasuk ke seluruh anggota organisasi, bahwa NKRI adalah harga mati.
Namun sehebat apapun kepakaran dalam berorganisasi, almarhum bukanlah malaikat yang tidak pernah berbuat salah. Pernah dalam sebuah Munas, seorang Ketua DPP yang mendapat dukungan suara untuk maju menjadi Ketua Umum tetapi mengundurkan diri, kemudian oleh formatur dimana almarhum termasuk diantara unsur pimpinannya, Ketua DPP itu malah ditetapkan sebagai Wakil Sekjen.
Sebetulnya sah-sah saja, dan Ketua DPP tadi sudah “sami’naa wa atho’naa”, apalagi susunan kepengurusan baru sudah pula dimuat di media. Tetapi peristiwa itu menimbulkan reaksi negatip dari sebagian peserta Munas karena itu nyata-nyata adalah sebuah demosi. Kebetulan saja dalam hitungan hari ada Ketua terpilih lain yang tiba-tiba berhalangan tetap, sehingga dari Wakil Sekjen bisa dikembalikan menjadi Ketua.
Salah satu peristiwa heroik yang pernah ditorehkan almarhum yang akan dikenang sepanjang masa adalah ketika menyelamatkan pasal AD/ART tentang syarat untuk menjadi Ketua Umum sesuai dengan Tata-Tertib dalam Mubes 1990. Demikian gentingnya situasi Mubes saat itu sehingga almarhum jatuh sakit dan harus dibawa ke rumah sakit.
Sekian puluh tahun kemudian, beberapa organisasi dimana almarhum berperan besar turut membidaninya, semua sudah menjadi organisasi besar. Benar-benar besar dan menjadi “bayi-bayi ajaib” yang cepat besar. Organisasi-organisasi yang ujug-ujug berada di seluruh Provinsi di Indonesia. Semua akan menjadikannya sebagai amal jariah, mengalirkan pahala buat almarhum.
Bagi murid-muridnya dalam organisasi, almarhum adalah seorang “Juggernaut”, bulldozer atau tank baja yang unstoppable – yang tidak punya rem dan persneling mundur. Organisasi maju terus! Menjalankan tugas pokok fungsinya!
Selamat jalan Pak Warno, guru organisasi kita semua. Selamat beristirahat dengan damai. Nam sholihan – tidurlah yang indah, bagaikan tidurnya pengantin baru.
Mari teruskan perjuangan Mbah Juggernaut melestarikan instrumen-instrumen perjuangan ilaa yaumil qiyaamah.
Bil khusus kepada sebagian dari kita yang masih saja menyepelekan dan mengecilkan arti dan kepentingan dari organisasi; kepada yang masih mengatakan “Untuk apa organisasi?”; kepada yang masih berpendapat “Tanpa organisasi bisa hidup”: Fa aina tadzhabuun?
Oleh : Ir. H. Teddy Suratmadji, M.Sc.