oleh Prasetyo Sunaryo
Legitimasi dalam praktik demokrasi banyak menghadapi penurunan nilai. Bagaimana tidak, banyak sekali pemberitaan negatif yang muncul dari produk demokrasi. Mulai dari kecurangan pemilu, ketidakpuasan hasil pemilu, hingga Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Agar nilai legitimasi tersebut dapat dinilai dan diukur, setidaknya ada dua syarat umum yang harus dipenuhi dalam praktik demokrasi. Pertama harus ada prosedur yang berbasis penalaran umum. Kedua, adanya dimensi etis dalam praktik demokrasi.
Persepsi Terhadap Demokrasi
Berbagai statement keraguan terhadap keberhasilan demokrasi kerap kali muncul, seperti enam persepsi berikut ini. Pertama adalah pernyataan Stephen Leahy (2013), climate inaction a clear failure of democracy. Stephen mengungkapkan bahwa masalah iklim yang terjadi saat ini merupakan dampak dari kegagalan demokrasi. Apabila nilai demokrasi sudah berjalan baik maka sudah sepantasnya dapat memberdayakan warganya untuk mengatasi persoalan lingkungan.
Kedua, terjadinya disfunctional democracy, dimana berbagai kasus yang masih terjadi saat ini merupakan limbah perjalanan demokrasi.
Selanjutnya, coba saja kita tilik begitu besar produk demokrasi terjerumus dalam proses pengadilan. Menurut data yang dipaparkan oleh Tribunnews dari Karyono Wibowo, peneliti senior Indonesia Public Institue (IPI), hingga juli 2013 sebanyak 298 kepala daerah dari 524 kepala daerah telah tersangkut masalah korupsi. Lubang-lubang tersebut berarti telah menjadikan medan politik dan demokrasi menjadi “kuburan masal” bagi orang-orang saleh (Masdar Hilmy, November 2013).
Kemudian, kita juga meyaksikan masyarakat mengalamai kegalauan dan apatisme. Hal ini terjadi karena begitu senjangnya representasi publik dan artikulasi kepentingan publik. Kegalauan ini mencerminkan krisis demokrasi sedang berlangsung (Lambang Trijono, November 2013). Misalnya saja, coba kita lihat dari UU yang dilahirkan DPR ternyata banyak yang tidak sesuai dengan kepentingan publik.
Kelima, telah terjadi kesenjangan (discrepancy) antara harapan pemilih dan produk politik (J.E. Stiglitz, 2012). Terakhir, terjadinya inersia dan kinerja yang tidak memadai dari lembaga demokrasi secara terus menerus, dikhawatirkan bahwa demokrasi Indonesia sedang stagnan. Jika situasi ini berlarut cukup lama, apa yang dipertanyakan adalah bukan soal pelayanan umum, kebijakan yang adil, atau politik lebih akuntabel. Tapi nilai demokrasi itu sendiri (Abdul Malik Gismar, 2013).
Pengawasan Publik (Public Surveillence)
Agar legitimasi demokrasi semakin baik, maka perlu adanya public surveillance (pengawasan publik). Adapun bentuk pengawasan publik tersebut adalah legitimasi prosedural kuantitatif, legitimasi kualitas etis dan output dan outcome dari praktik demokrasi.
Legitimasi prosedural kuantitatif menjabarkan bagaimana publik harus mengawal proses lahirnya berbagai prosedur. Baik pada tingkatan UU maupun peraturan pelaksanaannya, sejauh mana asas-asas konsistensi dan koherensi terhadap peraturan perundangan lainnya dapat terjaga serta disertai azas kepatutan.
Contohnya saja, metoda dan “timing” penghitungan suara pada berbagai tingkatan. Sudahkan memenuhi azas kejujuran/keterbukaan/transparansi?
Paling sederhana, ternyata KPU tidak menyediakan data C1 hasil pemilu. Padahal, jika azas keterbukaan dan transparansi itu ada, maka sudah sepatutnya data-data surat suara tersebut terdokumentasikan dengan baik.
Kedua, legitimasi kualitatif etis. Dimana publik harus mengawasi tingkat kelayakan untuk menjadi seorang pejabat publik. Tidak hanya berdasarkan tujuan keterpilihan saja, tetapi juga harus ada syarat kompetensi yang harus dipenuhi.
Maka sudah sepatutnya kader partai politik memiliki nilai political credential. Dimana kader memiliki profesionalisme terkait bidang yang akan diatur plus catatan baik pada bidang tersebut. Maka selanjutnya standar moral adalah hal mutlak, sehingga seluruh proses panjang praktik demokrasi telah bebas dari tekanan-tekanan siapapun, termasuk black campaign.
Pada akhirnya sebuah praktik demokrasi harus menghasilkan output dan income yang jelas. Output yang dihasilkan dapat berupa keamanan dan ketertiban serta transparansi berbagai rangkaian praktik demokrasi. Misalnya saja dalam proses pelaksanaan pemilu, apabila jumlah sengketa yang muncul di MK itu besar, bagaimana dapat dikatakan output itu telah berhasil? Sehingga sudah sepatutnya publik dapat terus menjaga keberhasilan output demokrasi.
Maka selanjutnya, obyektifitas outcome praktik demokrasi perlu jelas terukur. Diantaranya, ukuran kesejahteraan para pemilih, apakah tingkat kesenjangan ekonomi menurun dan bagaimana dengan hutang negara. Ini harus ada konsensus nasional terlebih dahulu.
Jika ukuran output dan outcome telah jelas, maka kita baru dapat menyatakan bahwa era demokratis saat ini lebih baik dari era sebelumnya.
Tujuan Demokrasi
Berbicara praktik demokrasi tentunya semua tetap kita kembalikan pada hal dasar tujuan demokrasi. Secara konstitusional, tujuan demokrasi Indonesia telah tertuang pada pembukaan UUD ’45. Karena itu evaluasi dari hasil praktik demokrasi harus kembali apakah tujuan yang tertuang pada UUD ’45 itu sudah semakin tercapai atau tidak?
Suatu hal yang tentu akan debatable, tetapi ini masih lebih baik dari pada hanya demokrasi demi demokrasi itu sendiri.
High Cost Politics
Design sistim politik Indonesia telah menjadikan keadaan yang “high cost politik”, yang akhirnya menghasilkan ”high lost opportunity”. Suatu sistim politik yang hanya dapat diperoleh dengan biaya tinggi. Indikatornya cukup sederhana saja, bahwa biaya mencapai suatu status tertentu dalam sistim politik ini lebih besar dari gaji selama menduduki jabatan yang diperoleh.
Peran Media Sosial
Dalam upaya mendukung peningkatan public serveillance terhadap praktik demokrasi maka peran media sosial merupakan hal vital. Media sosial adalah sebuah media online, dengan para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wikipedia, forum dan dunia virtual.
Andreas Kaplan dan Michale Haenlein mendefinisikan media sosial sebagai “sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas ideologi dan teknologi Web 2.0, dan yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content”.
Kembali pada peran nya, pada tataran filosofis, media sosial dapat mendeseminasikan pemikiran siapapun untuk memberikan penilaian, apakah penegakan nilai-nilai demokrasi telah meningkatkan sumberdaya yang dapat digunakan (usable resources)?
Apabila waste resources terlalu besar maka akan ada proses regenerasi yang artinya ada proses lain yang perlu ditambahkan. Media sosial perlu mendorong terjadinya transformasi kultural, agar terwujud masyarakat yang mempunyai standard moral yang tinggi dalam proses mencapai sesuatu.
Transformasi kultural adalah agar masyarakat mempunyai performance character dan moral character. Kedual character tersebut merupakan suatu implementasi masyarakat yang selalu berupaya untuk mencapai kinerja maksimal dengan kaidah etika dan standar moral tinggi.
Kesimpulan
Era demokrasi saat ini sedang dihadapkan oleh fakta-fakta adanya ketidak berhasilan praktik demokrasi dalam mencapai tujuan demokrasi. Maka diperlukan peningkatan public surveillence terhadap rangkaian agenda praktik demokrasi dan transformasi kultural yang dipercepat, bila dianggap merubah praktik demokrasi yang ada menghadapi kendala “kemampuan”. Untuk itu diperlukan peran media sosial. (Frediansyah Firdaus)