Kalau ada yang iseng terus bertanya, “Apakah keluarga saya termasuk katagori keluarga yang bahagia?” Terus – terang, saya masih susah untuk menjawabnya. Kalau pun belum, yang pasti arahnya sedang menuju kesana. Tetapi sebelum saya melanjutkan menjawab, perkenankan saya memberikan penjelasan kenapa pertanyaan itu muncul atau dimunculkan.
Terus terang, saya agak risau, apalagi ada ayat kaburo maqtan ‘indallaahi antaquuluuna malaa taf’aluun. Dan banyak pembaca yang tidak kenal secara pribadi dengan saya. Maka sebagai langkah mutawari’, hal seperti ini perlu saya utarakan. Biar sama – sama enak. Saling menjaga. Tujuannya agar bisa melihat sesuatu apa adanya, undhur maa qiila walaa tandhur man qoola. Apalagi yang saya sampaikan lebih banyak pengalaman pribadi yang tentunya tidak dijamin semua benar dan cocok. Wallaahu a’lamu bishowaab.
Menurut ukuran dalil yang termasuk unsur (disebut) kebahagiaan itu bermacam – macam. Namun ada juga dalil yang menerangkan bahwa ada tiga atau empat hal, sebagaimana diterangkan dalam dalil – dalil berikut.
Dari Abdullah bin Amr r.a, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh beruntung/berbahagia orang yang masuk islam, diberi rizki cukup dan Allah menjadikan qona’ah (menerima/merasa cukup) dengan apa yang Allah berikan.” (Rowahu Muslim).
Atau yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Fadholah bin Ubaid r.a, bahwa dia mendengar dari Rasulullah SAW bersabda, “Beruntunglah/berbahagialah orang yang diberi petunjuk kepada islam, dan hidupnya pas-pasan dan dia bersikap qonaah.”
Dari Ismail bin Muhammad bin Sa’ad bin Abi Waqosh, dari ayahnya, dari kakeknya, ia menuturkan, Rasulullah SAW telah bersabda, “Di antara kebahagiaan anak adam itu ada tiga, dan di antara kesengsaraan anak adam itu ada tiga. Di antara kebahagiaan anak adam adalah istri yang sholihah, tempat tinggal yang baik dan kendaraan yang baik pula. Dan di antara kesengsaraan anak adam adalah istri yang jahat, tempat tinggal yang buruk dan kendaraan yang jelek.” (Rowahu Ahmad, ath-Thabrani dan al-Bazzar)
Kemudian Ibnu Hibban di dalam Shahihnya, menyebutkan; “Ada empat perkara yang termasuk kebahagiaan; istri yang sholihah, tempat tinggal yang luas, tetangga yang baik dan kendaraan yang menyenangkan. Dan empat perkara yang termasuk kesengsaraan; tetangga yang jahat, istri yang jelek/nggak sholihah, kendaraan yang buruk dan tempat tinggal yang sempit.”
Kalau Ibnu Asaakir dan Imam Nasa’i meriwayatkan; “Ada empat perkara yang termasuk kebahagiaan, yaitu istri yang sholihah, anak – anak yang baik, lingkungan tempat bergaul yang baik dan rejekinya berada di negeri sendiri.”
Nah, dari komparasi beberapa atsar di atas, saya berani mengatakan – insya allah – kami termasuk salah satu keluarga yang aflah atau sa’adah – beruntung dan berbahagia. Insya Allah apa yang disebutkan sebagai syaratnya telah terpenuhi. Pertama, saya bersyukur telah diberi hidayah oleh Allah, demikian juga dengan istri saya. Kemudian diberi rejeki yang berkecukupan – walau tidak berlebih, sehingga bisa membantu kelancaran ibadah kami. Hidup sederhana, mujhid – muzhid. Dan bisa bersikap nrimo ing pandum atas pemberian itu semua dengan hati yang senang dan lapang dengan menjalankan perintah dan menjauhi laranganNya. Apa lagi?
Menurut saya istri saya juga baik, bahkan amat baik menurut kaca mata saya. Sebab telah bekerja – sama selama 13 tahun dengan empat buah hati yang manis dan lucu. Saling mengingatkan dan saling membantu dalam ibadah. Kemudian telah memiliki tempat tinggal sendiri, walau dipinggiran. Tipe 21 dengan tanah 300 m2. Juga telah memiliki tunggangan sesuai dengan kemampuan keuangan kami. Hidup di tengah lingkungan tetangga yang baik pula. Kurang apa coba? Penghasilan pun berada di negeri sendiri, walau agak jauh di seberang pulau. Jadi lengkap sudah. Alhamdulillah.
Ada dua hal lain yang ingin saya bagi – bagi. Bukan pamer, yang jelas kami menikmatinya. Pertama masalah salaman atau berjabat tangan. Mungkin kami ‘sedikit agak’ modern. Biasanya kalau bersalaman, istri cium tangan suami. Itu sudah umum, tapi kami insya allah lebih dari itu. Di manapun kala berpisah atau bersua kembali, kami cipika – cipiki (cium pipi kanan dan kiri), selesai salaman dan ritual cium tangan. Awalnya malu, seterusnya seperti ketagihan.
Kedua dalam hal berhubungan intim/amal sholih. Sejak awal saya katakan kepada istri, “Kalau kamu pengin silahkan bilang, dan kalau saya pengin saya juga akan bilang. Dan jika tidak siap, juga silahkan bilang, sebab kita tidak hidup di surga yang segala kemauan dan kepenginan kita terlaksana saat itu juga.” Kelihatannya bombastis, tapi begitulah adanya. Kalau ada yang protes silahkan. Lho, bukankah itu bertentangan dengan dalil? Bukankah istri yang menolak ajakan suami akan dilaknat malaikat? Justru menurut saya itu bagian dari pengamalan ayat “Wa ‘aasyiruuhunna bil ma’ruf” – dan gaulilah istri-istrimu dengan baik. Begitu bukan?
Oleh :Ustadz.Faizunal Abdillah
Ajzk materinya